Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghormatan tertinggi negara atas jasa luar biasa seorang individu. Namun, ketika gelar ini disematkan kepada figur yang memiliki warisan sejarah kompleks, seperti Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia, kontroversi pun tak terhindarkan. Polemik ini bukan hanya sekadar perdebatan moral, melainkan cerminan dari pergulatan bangsa Indonesia dalam menafsirkan dan mendamaikan masa lalunya yang terluka.
Kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto berakar pada dualitas warisannya. Di satu sisi, pendukungnya menyoroti perannya sebagai “Bapak Pembangunan” yang membawa stabilitas ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang masif selama 32 tahun masa Orde Baru (Orba). Mereka juga mengingat jasanya dalam pertempuran kemerdekaan dan kontribusinya dalam mengatasi krisis politik di akhir masa Orde Lama.
Di sisi lain, penolakan keras datang dari kelompok masyarakat sipil, aktivis hak asasi manusia (HAM), dan korban Orba. Bagi mereka, gelar pahlawan bagi Soeharto adalah pengkhianatan terhadap keadilan sejarah. Mereka menudingnya bertanggung jawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terstruktur, serta pembungkaman kebebasan berpendapat. Menyandingkan jasa pembangunan dengan cacat moral dan etika kekuasaan ini menciptakan dilema etis yang mendalam.
Wacana ini menjadi semakin relevan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, yang memiliki ikatan personal sebagai menantu Soeharto. Penetapan gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto di masa kepemimpinan Prabowo menimbulkan spekulasi dan tafsir politik yang beragam. Bagi sebagian pengamat, keputusan ini dipandang sebagai upaya rekonsiliasi politik, atau bahkan penguatan narasi Orba yang telah lama diupayakan oleh loyalisnya.
Hal ini secara implisit terkait dengan popularitas jargon “Piye le, sik penak jamanku to?” (Bagaimana nak, masih enak zaman saya kan?) yang disertai gambar Soeharto di berbagai tempat, seperti stiker truk dan media sosial. Jargon ini melambangkan nostalgia Orba di sebagian masyarakat yang merasa kecewa dengan kondisi sosial ekonomi era reformasi, terutama terkait harga kebutuhan pokok, keamanan, atau stabilitas. Pemberian gelar pahlawan di tengah popularitas nostalgia ini dapat dipandang sebagai validasi politik terhadap kerinduan akan masa lalu, seolah mengamini bahwa “zaman Soeharto memang lebih baik”, terlepas dari sisi kelamnya.
Untuk memahami kompleksitas ini, penting untuk membandingkannya dengan pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden lainnya, K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur, Presiden ke-4 RI, dikenal sebagai tokoh pluralis, pembela minoritas, dan peletak fondasi reformasi demokratis serta kebebasan beragama. Pemberian gelar pahlawan kepadanya umumnya diterima secara luas tanpa kontroversi signifikan, mengingat kontribusi moralnya yang besar terhadap persatuan dan kemanusiaan, serta minimnya catatan hitam pelanggaran HAM atau korupsi.
Perbedaan penerimaan publik antara Gus Dur dan Soeharto menunjukkan bahwa kriteria kepahlawanan yang paling dihargai oleh masyarakat pasca reformasi adalah kepemimpinan moral dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM, bukan semata-mata pembangunan fisik atau kekuasaan politik.
Dilema moral dan politik dalam menentukan kepahlawanan seorang pemimpin bukanlah fenomena yang unik di Indonesia. Kontroversi serupa, yang melibatkan upaya rekonsiliasi sejarah dan ingatan kolektif, juga terjadi di negara lain.
Di Filipina, kontroversi ini mencapai puncaknya pada kasus pemakaman mantan diktator Ferdinand Marcos di Makam Pahlawan pada tahun 2016. Keputusan tersebut, yang didukung oleh Presiden Rodrigo Duterte dan Mahkamah Agung, menuai protes keras dari ribuan aktivis HAM dan korban rezim Marcos. Seperti halnya Soeharto, Marcos dicopot dari kekuasaan melalui revolusi rakyat.
Marcos berusaha membangun narasi dirinya sebagai pahlawan perang, sementara banyak sejarawan membantah klaim tersebut. Keputusan untuk memakamkannya di Makam Pahlawan oleh pemerintah Duterte dipandang sebagai upaya pemulihan citra yang menyakitkan bagi para korban, sama seperti anggapan bahwa gelar pahlawan bagi Soeharto adalah upaya untuk memutihkan dosa-dosa rezim Orde Baru.
Sementara di Amerika Serikat (AS), meskipun tidak ada gelar Pahlawan Nasional formal yang diberikan oleh negara kepada mantan Presiden, wacana mengenai warisan moral mereka sering menjadi sumber perdebatan sengit. Kasus mantan Presiden Andrew Jackson adalah contohnya. Jackson (Presiden ke-7 AS) dipuji karena peranannya dalam mempromosikan demokrasi dan mempertahankan persatuan AS, namun ia dikritik keras karena perannya dalam pemindahan paksa suku Indian, yang menyebabkan ribuan kematian.
Kasus Soeharto, Marcos, dan Jackson menunjukkan bahwa kepahlawanan adalah konsep yang terus dinegosiasikan. Gelar pahlawan yang diberikan oleh negara tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan legitimasi moral dari rakyat. Polemik ini adalah pengingat bahwa bangsa yang demokratis seharusnya berani menghadapi masa lalunya dengan jujur. Secara keseluruhan, kontroversi gelar Pahlawan Nasional di Indonesia menunjukkan bahwa simbol kepahlawanan tidak hanya ditentukan oleh jasa, tetapi juga oleh kekuatan politik dan narasi sejarah yang dominan di suatu era.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya