Absurditas Keadilan

Minggu, 23 November 2025

Indonesia adalah negeri yang penuh dengan paradoks. Ia adalah jantung yang berdetak paling keras, namun sekaligus labirin terhebat. Di tengah hiruk-pikuknya, kita dapat menemukan segalanya. Dari kekayaan yang tak terperikan hingga kemiskinan yang menyayat hati. Dari kekuasaan yang absolut hingga kerentanan yang fatal. Dan kini, kita mendapati satu lagi keanehan yang nyaris mustahil. Seorang terpidana yang hilang entah ke mana, padahal pengacaranya sendiri bersaksi bahwa ia, sang terpidana, tak ke mana-mana, masih tenang di Indonesia.


Ia seorang aktivis sekaligus pemimpin organisasi relawan presiden, baik Presiden Jokowi maupun Presiden Prabowo. Sering tampil di media untuk membela keras kebijakan pemerintah, area perjuangannya pun berbuah manis. Ganjaran jabatan sebagai komisaris independen perusahaan BUMN bidang pangan pun diraihnya. Itu pada tahun 2025, di era pemerintahan yang baru terbentuk. Berselang lima tahun sejak vonis bersalah dari hakim diputuskan. 


Kasus sang terpidana, yang divonis satu tahun enam bulan penjara atas fitnah terhadap mantan Wakil Presiden pada September 2019, adalah drama surealis tentang keberadaan. Bertahun-tahun sejak vonis itu dijatuhkan oleh Mahkamah Agung, dan kejaksaan masih terus mendalilkan satu alasan yang sama: posisi sang terpidana belum ditemukan.


Kita, sebagai masyarakat awam, tentu bisa merasakan geli sekaligus miris atas tontonan ini. Sang terpidana bukanlah dajjal yang bersembunyi di balik dimensi. Ia adalah figur publik, yang kuasa hukumnya dengan santainya bisa berujar, “Klien saya tidak ke mana-mana, masih di Jakarta.” Oiya, saya perlu mengatakan bahwa Jakarta itu juga masih di Indonesia, bahkan menjadi ibukotanya.


Kontradiksi antara pernyataan sang pengacara dan kegagalan institusi negara untuk mengeksekusi vonis ini melahirkan pertanyaan fundamental. Seberapa seriuskah negara dalam menegakkan putusannya? Hukuman penjara satu setengah tahun itu, yang secara matematis seharusnya sudah tuntas dijalani, kini hanya menjadi anomali hukum yang menggelikan.


Pihak kejaksaan merespons situasi ini dengan melontarkan tantangan balik. Ia meminta sang pengacara untuk menghadirkan kliennya sendiri agar dapat dieksekusi. Tunggu sebentar. Bukankah tugas menghadirkan terpidana adalah mandat kejaksaan, sebagai eksekutor putusan pengadilan?


Sejak kapan penegak hukum meminta bantuan lawan di meja hijau untuk menjalankan tugasnya yang paling dasar? Permintaan kejagung kepada pengacara ini bukan menunjukkan ketegasan, melainkan sebuah pengakuan yang elegan. Ini seolah berkata, “Kami punya otoritas, tapi kami tak punya kuasa.”


Yang lebih aneh, nama sang terpidana tidak dimasukkan ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Jika seseorang dinyatakan tidak ditemukan selama bertahun-tahun pasca vonis, logikanya ia adalah buronan. Dengan tidak memasukkan namanya ke DPO, kejaksaan seolah menghilangkan status buronan sang terpidana, menempatkannya dalam wilayah kelabu—tidak dicari secara resmi, tapi juga belum dieksekusi. Ini menciptakan semacam zona aman yurisprudensial di mana terpidana dapat menikmati kebebasannya tanpa harus menjadi incaran resmi.


Bayangkan jika yang divonis 1,5 tahun adalah seorang pencuri singkong, pencuri sendal, atau pelaku tindak pidana ringan lainnya. Niscaya, dalam hitungan jam, eksekusi akan berjalan mulus, mungkin bahkan didampingi dengan pertunjukan yang memadai. Aparat penegak hukum kita dikenal memiliki ketangguhan luar biasa saat berhadapan dengan rakyat jelata yang tak memiliki koneksi. Namun, ketika berhadapan dengan seseorang yang perkaranya memiliki aroma politik atau melibatkan tokoh besar, tiba-tiba seluruh jajaran menjadi pelupa.


Sang terpidana tidak hilang. Hukuman 1,5 tahun itu pun tidak hilang. Yang sesungguhnya hilang dalam drama yang penuh sandiwara ini adalah kemauan negara untuk berdiri tegak di atas putusan hukumnya sendiri, tanpa pandang bulu, tanpa pertimbangan elektabilitas, dan tanpa rasa sungkan.


Keadilan yang tidak dieksekusi adalah lelucon yang mahal. Dan selagi kita menertawakan absurditas ini, kita harus menyadari bahwa di ruang yang kosong, di antara celah vonis dan eksekusi, wibawa hukum perlahan-lahan menguap, tersesat di tengah hingar bingar negeri khatulistiwa yang ironis. 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (137) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (55) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)