Modul Edukasi Gizi

Sabtu, 06 Desember 2025

Sejarah pendidikan Indonesia pasca-kemerdekaan adalah sejarah tentang ambisi yang berulang, proyek-proyek pembangunan nasional, dan “bongkar pasang” kurikulum. Kurikulum sebagai jantung sistem pendidikan secara inheren mencerminkan kebutuhan politik, ekonomi, dan ideologis sebuah bangsa pada masa tertentu. Namun, frekuensi dan sifat perubahan kurikulum yang seringkali bersifat ad-hoc telah menciptakan pola ketidakstabilan. Pola historis inilah yang kini kembali terlihat dalam polemik seputar peluncuran modul edukasi gizi sebagai komponen wajib pendamping program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dianggap berpotensi mengacaukan kurikulum dan menambah beban guru.


Sejak Kurikulum Rencana Pelajaran 1947, yang berfokus pada pembentukan karakter manusia merdeka, hingga Kurikulum Merdeka saat ini, setiap pergantian selalu membawa mandat baru. Di era Orde Lama, kurikulum diarahkan untuk mendukung semangat revolusi. Kemudian, pada masa Orde Baru kurikulum berubah menjadi alat pembangunan, menekankan keterampilan praktis, dan pendidikan moral Pancasila. Kurikulum 1975, 1984, dan 1994, misalnya, terus-menerus menyesuaikan diri dengan arah pembangunan jangka panjang. Setiap perubahan menuntut guru untuk beradaptasi dengan konsep, materi, dan metodologi baru.


Siklus ini menunjukkan bahwa kurikulum di Indonesia sering kali berfungsi sebagai wadah untuk menyuntikkan kebijakan eksternal, bukan sekadar kerangka pedagogis murni. Ketika pemerintah memiliki visi atau program prioritas—seperti wajib belajar, penanaman ideologi, atau kini, perbaikan gizi—sistem pendidikan menjadi saluran implementasi paling efektif. Namun, ini menciptakan dua masalah utama, yaitu pertama, beban guru yang bertambah dan kedua, integritas kurikulum yang tergerus.


Polemik modul edukasi gizi MBG mencerminkan dengan tepat masalah kedua. Modul tersebut, yang disusun oleh Kemendikdasmen dan diluncurkan oleh Wamen Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq, bertujuan mulia untuk mengintegrasikan pemahaman gizi. Namun, kritik keras datang dari pihak profesional. Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Imam Zanatul Haeri, secara fundamental menyoroti bahwa materi modul tersebut tidak memiliki landasan hukum dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Capaian Pembelajaran. Capaian Pembelajaran adalah rujukan kurikulum nasional utnuk menjamin konsistensi materi ajar. Ketika sebuah materi dipaksakan masuk tanpa fondasi Capaian Pembelajaran, ia menjadi intervensi kebijakan yang tidak memiliki landasan pedagogis maupun relevansi struktural dengan tujuan belajar yang sudah ditetapkan. Ini secara langsung mengganggu stabilitas kurikulum yang telah diperjuangkan.


Secara historis, program-program sosial berskala besar—termasuk di bidang gizi—memiliki mekanisme implementasi yang berbeda. Pada era Orde Baru, misalnya, pemerintah menjalankan berbagai rupa program perbaikan gizi.  Program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) atau Operasi Timbang dan Kukur (OTK) bertujuan untuk memberantas buta huruf gizi dan mempromosikan pola makan sehat. Meskipun pendidikan adalah bagian integral dari program-program ini, penyuluhan gizi sering kali dilakukan di luar jam pelajaran formal, seperti melalui Posyandu dan gerakan PKK, yang merupakan saluran kesehatan masyarakat. Sekolah berfungsi sebagai mitra, bukan sebagai institusi yang wajib menyerap mata pelajaran baru secara mendadak.


Konteks historis ini memperkuat argumen P2G. Jika program gizi sebelumnya dapat berjalan masif melalui sistem di luar sekolah, pemaksaan modul edukasi gizi MBG ke dalam materi ajar formal menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk menggunakan guru sebagai pelaksana kebijakan tanpa melalui revisi kurikulum yang semestinya. Dampaknya, guru harus “mengacaukan” kurikulum yang ada, misalnya memotong waktu pelajaran inti, menyisipkan materi tanpa standar asesmen yang jelas, dan pada akhirnya menambah beban kerja yang tidak diakui secara profesional.


Modul ini dapat dilihat sebagai manifestasi terbaru dari “kurikulum bayangan”, yaitu materi atau tujuan yang diajarkan di kelas tetapi tidak terstruktur secara resmi dalam kerangka kurikulum yang sah. Dalam jangka panjang, fenomena ini tidak hanya melelahkan guru tetapi juga menggangu fokus pembelajaran siswa. Pesan inti dari sejarah bongkar pasang kurikulum adalah bahwa kebijakan yang cepat saji hampir selalu menghasilkan implementasi yang tidak berkelanjutan.


Untuk mencapai tujuan mulia MBG, yaitu menyehatkan generasi sekaligus mendidik mereka, pemerintah perlu keluar dari pola historis “bongkar pasang” dan menghormati proses pedagogis. Integrasi edukasi gizi seharusnya dilakukan melalui peninjauan ulang Capaian Pembelajaran yang memungkinkan materi gizi diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang sudah ada (misalnya Biologi atau Pendidikan Jasmani) atau sebagai tema lintas disiplin dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila.


Kesimpulannya, sejarah pendidikan Indonesia adalah pengingat konstan bahwa intervensi kebijakan yang terburu-buru dan bersifat ad-hoc akan selalu menciptakan ketegangan. Modul edukasi gizi MBG, meskipun dilandasi niat baik untuk meningkatkan nutrisi, berisiko mengulangi kesalahan masa lalu: memaksakan konten tanpa landasan pedagogis dan menambah beban guru. Untuk menjamin keberlanjutan dan keberhasilan program, pemerintah harus memilih jalur yang lebih lambat namun pasti: menghormati integritas kurikulum nasional dan memastikan bahwa guru berfungsi sebagai pendidik profesional, bukan sekadar perpanjangan tangan birokrasi program pembangunan. Hanya dengan demikian, tujuan mulia perbaikan gizi dapat sejalan dengan pemantapan kualitas pendidikan. 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (153) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) hukum (58) keluarga (58) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)