Skandal di Pusaran Kekuasaan

Rabu, 24 Desember 2025

Skandal perselingkuhan, terutama yang melibatkan pejabat publik, adalah item berita yang tak pernah basi. Ia memiliki daya pikat yang kuat. Ia perpaduan antara kekuasaan, moralitas yang dipertanyakan, dan kisah cinta terlarang yang selalu menarik untuk dikupas. Di balik citra formal, jas rapi, dan jabatan tinggi, tersembunyi drama-drama pribadi. Entah itu terjadi di istana Mataram kuno, di markas Nazi Jerman, atau di gedung pemerintahan modern Indonesia.


Skandal ini bukan sekadar urusan ranjang. Melainkan cerminan dari kompleksitas kekuasaan, yang seringkali menjadi pemicu utama timbulnya rasa. Rasa bahwa status tinggi membebaskan seseorang dari aturan moral biasa.


Jika kita mundur jauh ke belakang, skandal perselingkuhan di lingkungan pejabat atau bangsawan bukanlah hal baru. Di Kesultanan Mataram, kisah-kisah asmara terlarang seringkali berujung tragis, bahkan memicu konflik internal. Salah satu kisah yang paling menggemparkan adalah yang melibatkan Putra Mahkota Mataram, yaitu Pangeran Adipati Anom (kelak menjadi Amangkurat II) di masa pemerintahan ayahnya (Amangkurat I), sekitar tahun 1671. Ia dikenal sebagai sosok yang sering tergila-gila pada wanita.


Suatu malam yang berdarah, terjadi insiden yang menimpa Raden Dobras, salah satu kerabat keraton. Konon, Raden Dobras dibunuh dan mayatnya ditemukan di sumur. Dalam persidangan yang digelar, Pangeran Adipati Anom menuduh adiknya, Pangeran Singasari, sebagai pembunuh. Pangeran Singasari membantah. Ia mengaku hanya membunuh seorang pencuri yang masuk rumahnya tanpa mengenal pencuri tersebut.


Intrik sebenarnya adalah persaingan kekuasaan. Akan tetapi, di balik semua itu, beberapa sumber sejarah menunjukkan adanya keterkaitan dengan isu perselingkuhan atau perebutan wanita. Amangkurat I akhirnya mengambil keputusan yang aneh. Ia menghukum 34 abdi Pangeran Singasari dengan dalih mereka tidak membunyikan tanda bahaya saat ada pencuri. Tindakan ini, yang diyakini bukan berdasarkan hukum pengadilan, menunjukkan betapa rumitnya urusan pribadi dan kekuasaan di istana. 


Dalam Babad Tanah Jawi: JavaanseRijkroniek karya J.J. Meinsma, disebutkan bahwa pembunuhan terhadap Raden Dobras memang benar dilakukan oleh Pangeran Singasari. Pemicunya adalah Raden Dobras melakukan serong dengan istri Pangeran Singasari, Raden Ayu Singasari. Tidak hanya itu, sang istri juga memiliki kekasih lain, yakni Pangeran Adipati Anom.


Beralih ke era kolonial Hindia Belanda, perilaku pejabat asing pun tak kalah hebohnya. Sejarawan mencatat bahwa sejak awal kedatangan orang Eropa, terutama di Jawa, moralitas para ambtenaar (pegawai negeri kolonial) sering tercemar oleh skandal asmara dan penyalahgunaan kekuasaan, yang dikenal sebagai zaman “baroe datang”.


Pejabat-pejabat kolonial sering kali terlibat dalam hubungan gelap dengan perempuan lokal. Bahkan, ada kisah di Yogyakarta yang menyebutkan Residen Nahuys van Burgst terlibat hubungan asmara dengan Anna Luisa, istri dari Asisten-Residen R.C.N. d'Abo. Lebih parah lagi, beberapa pejabat kolonial dijuluki predator seksual karena kerap meniduri banyak perempuan Jawa, termasuk selir Pangeran Diponegoro.


Skandal ini bukan hanya sekadar gosip remeh, melainkan isu politik yang krusial. Pelecehan martabat bangsawan Jawa akibat perilaku pejabat kolonial tersebut diyakini menjadi salah satu pemicu yang memperlebar jurang konflik, yang pada akhirnya meletus menjadi Perang Diponegoro. Di sini, skandal asmara adalah katalisator perang. Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk mengatur justru dipakai untuk memuaskan hawa nafsu.


Skandal perselingkuhan juga bisa menghancurkan citra ideal yang dibangun mati-matian, bahkan dalam rezim yang paling dikontrol sekalipun. Ambil contoh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi Jerman, yang dikenal sebagai tangan kanan Adolf Hitler.


Pernikahan Goebbels dengan Magda dipandang oleh Nazi sebagai representasi ideal dari kemurnian keluarga Arya. Sebuah citra sempurna yang mereka jual kepada publik Jerman. Namun, di balik panggung propaganda yang megah, Goebbels asyik menjalin hubungan gelap dengan seorang aktris Ceko, Lida Baarová. Mereka sering bertemu rahasia di paviliun pribadi Goebbels dengan menggunakan aktris lain sebagai alibi.


Skandal ini akhirnya bocor. Meskipun Goebbels adalah propagandis ulung, ia tidak bisa mempropaganda dirinya sendiri keluar dari masalah. Perselingkuhannya merusak citra keluarga Arya ideal yang ia ciptakan. Konon, hubungan Goebbels dengan Hitler sempat merenggang gara-gara skandal ini. Meskipun Goebbels akhirnya kembali pada istrinya, Magda, kerusakan citra sudah terjadi. Kisah ini mengajarkan bahwa sekeras apa pun sebuah rezim berusaha mengontrol narasi publik, integritas personal seorang pejabat adalah fondasi yang rapuh dan mudah retak.


Di Indonesia modern, skandal perselingkuhan dan penyalahgunaan kekuasaan terus berulang. Pola yang terlihat adalah penggunaan relasi kuasa dan fasilitas negara demi memuluskan hubungan terlarang.


Contoh klasik terjadi pada Menteri Urusan Bank Sentral era Soekarno, Jusuf Muda Dalam, di tahun 1960-an. Sang menteri terseret kasus korupsi yang dibarengi dengan skandal seks yang heboh. Ia menggunakan uang negara untuk memuaskan hasrat, memberikan uang, rumah, hingga mobil kepada sekitar 25 perempuan. Beberapa di antaranya kemudian ia nikahi. Ia diketahui mempunyai enam istri. Meskipun membantah mengambil uang negara, sang menteri mengakui memiliki banyak istri. Skandal ini menjadi simbol bagaimana kekuasaan di lahan basah dapat membuka pintu bagi perilaku amoral sekaligus korupsi.


Dalam kasus yang lebih baru, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada Juli 2024 memecat Ketua Komisi Pemilihan Umum karena terbukti melakukan skandal pelecehan seksual. Pejabat tersebut dituduh menggunakan kedudukan dan relasi kuasanya untuk memaksa berhubungan badan dengan stafnya. Bahkan menjanjikan pernikahan. Kasus ini menegaskan bahwa skandal bukan hanya terjadi karena godaan semata, tetapi juga karena penyalahgunaan kekuasaan. Pejabat menggunakan jabatan tingginya untuk menekan dan mengambil keuntungan dari pihak yang secara struktural lebih lemah.


Skandal pejabat, dari Mataram hingga Jakarta, dari pangeran hingga menteri, adalah kisah abadi yang berulang. Ia bukan sekadar kisah perselingkuhan biasa. Ia melibatkan pengkhianatan ganda, yaitu pengkhianatan terhadap pasangan sekaligus pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.


Pola umumnya selalu sama. Jabatan tinggi sering memberikan rasa impunitas dan kemudahan akses, yang pada akhirnya memicu pejabat untuk melanggar batas-batas etika dan moral. Ketika ini terjadi, skandal tersebut tidak lagi menjadi urusan pribadi, melainkan menjadi urusan publik yang merusak integritas institusi dan mengikis kepercayaan rakyat. Sebab, jika seorang pejabat tidak jujur pada janjinya yang paling pribadi (sumpah pernikahan), bagaimana ia bisa diharapkan jujur pada janjinya yang paling publik (sumpah jabatan)?

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (173) coretan (163) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) hukum (62) pustaka (62) keluarga (59) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)