Di negeri kita, kisah tentang jimat—benda bertuah yang dipercaya memiliki kekuatan gaib—bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah sepotong mozaik sejarah, perpaduan antara spiritualitas, harapan, dan siasat bertahan hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Dari medan perang yang berlumur darah hingga meja perundingan yang penuh intrik, jimat hadir sebagai simbol, penguat mental, bahkan—dalam beberapa kasus—sebagai ujian filosofis.
Ketika Indonesia merdeka pada 1945, perjuangan tak berhenti. Peluru Belanda berseliweran, sementara senjata di tangan para pejuang seringkali hanya berupa bambu runcing. Dalam kondisi serba terbatas ini, harapan tak jarang disandarkan pada hal-hal yang melampaui logika. Mayoritas masyarakat grass-root yang ikut berjuang kala itu sangat percaya pada hal-hal mistik.
Letnan Jenderal (Purn.) Soegih Arto, dalam otobiografinya, mengakui fenomena ini. Banyak pemuda pejuang di masa revolusi yang getol mencari jimat—benda bertuah yang diikatkan di leher, kepala, atau dijadikan sabuk—dengan harapan dapat menjadi kebal dari tembakan peluru atau sabetan bayonet. Mereka berusaha bertahan dengan cara apa pun, termasuk cara yang berbau klenik, dan Soegih Arto menilai, “Dapatkah mereka dipersalahkan? Saya rasa tidak. Mereka berjuang dengan kemampuan dan keyakinan mereka sendiri”.
Pusat “amunisi” spiritual terkenal pada masa itu salah satunya adalah Kyai Haji Subkhi dari Parakan, Temanggung, yang masyhur dengan julukan Kyai Bambu Runcing. Kyai kharismatik ini, yang usianya sudah lebih dari 80 tahun saat revolusi, menjadi tumpuan harapan. Ia tidak hanya mengajar agama, tetapi juga memperkuat mental para pejuang dengan cara yang unik.
Bambu runcing yang dibawa para pemuda akan disembur oleh Kyai Subkhi dengan doa-doa, memberinya tuah yang dipercaya dapat menahan musuh. Selain itu, mantra-mantra Islam, bahkan ayat-ayat Al-Qur'an, sering ditulis pada panji kecil kain putih lalu diikatkan di ujung bambu—sebuah praktik yang mengubah senjata sederhana menjadi senjata revolusi istimewa yang berbalut spiritualitas. Jimat di sini bukan lagi sekadar benda, melainkan personifikasi dari semangat perlawanan yang diembuskan oleh para ulama.
Namun, kisah jimat dan kekebalan ternyata memiliki lapisan makna yang lebih dalam. Soegih Arto sendiri pernah ditawari ilmu kebal oleh seorang orang pintar bernama Pak Denda. Syarat awalnya berat: puasa tujuh hari. Setelah menunaikannya, Soegih Arto diminta memilih: kebal kasar (tahan ditembak/dibacok) atau kebal halus (orang yang berniat jahat hanya mentok di niat saja). Soegih Arto yang ambisius memilih yang halus.
Apa wasiat lanjutannya? Jauh dari mantra atau benda pusaka, Pak Denda hanya berujar, kuncinya adalah “berlaku sopan santun dan berbudi luhur terhadap sesama manusia.”
Soegih Arto sempat kecewa berat, merasa tujuh hari puasanya berakhir nol besar. Namun, setelah merenung, ia tercerahkan. Jika seseorang hidup luhur dan bersopan santun, siapa yang akan memusuhinya? Jika semua orang senang, tidak akan ada musuh yang berniat jahat. Inilah hakikat “kekebalan halus”: menciptakan kedamaian melalui amal dan budi pekerti. Jimat dalam versi ini adalah perilaku baik itu sendiri—sebuah pelajaran filosofis yang dibungkus rapi dalam ritual mistis.
Menariknya, kepercayaan pada jimat ini merambah hingga ke lapisan elite diplomat. Pada 1948, setelah Perjanjian Renville, perundingan antara Indonesia dan Belanda berjalan sangat alot. Presiden Sukarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman, merasa delegasi Indonesia harus diperkuat jiwanya. Siapa yang diperkuat? Ketua delegasi, Mohamad Roem.
Di tengah situasi tegang itu, Soedirman lantas menyerahkan sebuah jimat kepada Roem: lipatan kertas yang diikat dengan benang putih, yang konon berasal dari seorang dukun sakti. Tujuannya, bukan untuk menangkis peluru, melainkan untuk memperkuat nyali dan kemampuan diplomasi Roem menghadapi Belanda yang tangguh.
Roem, yang memiliki latar belakang pendidikan modern Islam dan Barat, berada dalam dilema. Ia tidak percaya jimat, tetapi ia sangat menghormati Bung Karno dan Pak Dirman. Berbekal pengalaman masa kecil menghadapi neneknya yang memberikan jimat, Roem mengambil jalan tengah: ia menerima jimat itu dengan hormat, berjanji menjaganya, tetapi menyimpannya di saku celana agar tak seorang pun tahu. Ia mempertahankan pendiriannya, sembari menjaga perasaan para pemimpin.
Akhir kisah jimat sang diplomat ini pun unik. Suatu hari, celana Roem dicuci istrinya, dan jimat kertas itu hancur menjadi serpihan. Roem merasa lega. Baginya, jimat itu belum sempat membuktikan keampuhannya, dan kejadian itu dianggapnya sebagai takdir Tuhan yang membebaskannya. Roem tetap berdiplomasi dengan gigih, membuktikan bahwa kekuatan sejati ada pada keyakinan dan kemampuannya sendiri.
Fenomena jimat ini bukanlah praktik yang muncul tiba-tiba; ia tertanam kuat dalam budaya tulis Nusantara. Jejaknya bahkan dapat ditemukan berdampingan dengan catatan pengobatan tradisional. Misalnya, dalam manuskrip kuno seperti Serat Kawruh yang disusun atas perintah Pakubuwono V pada 1831.
Meskipun naskah ini mayoritas berisi resep jamu dan ramuan obat alam, bagian Jampi-Jampi Jawi di dalamnya tak hanya memuat obat, tetapi juga rajah dan jimat sebanyak 244 resep, lengkap dengan gambar-gambar doa, rapal, dan mantra. Ini menunjukkan betapa terintegrasinya upaya penyembuhan fisik (jamu) dengan perlindungan spiritual (jimat) dalam khazanah budaya Jawa kuno. Keduanya dilihat sebagai satu kesatuan ikhtiar menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa raga.
Pada akhirnya, jimat dalam sejarah Indonesia adalah kebiasaan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Ia bisa berupa filosofi luhur, senjata yang didoakan, atau kertas kecil yang berfungsi sebagai tameng mental bagi seorang diplomat. Namun sejatinya yang terpenting adalah keyakinan dan harapan karena kekuatan sejati tetaplah pada semangat, amal, dan budi luhur. Itulah ilmu kebal sejati yang tak lekang dimakan waktu. Intinya, jangan percaya jimat. Percayalah pada Allah Yang Maha Kuasa.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya