Kurang Timbangan

Jumat, 09 September 2011

Alkisah ada seseorang, sebut saja Bu Juju membeli beras. Ia membeli beras pada pedagang di pasar yang bernama Bu Cicik. Beras yang dibelinya seberat 5 kg. Setelah ditimbang berasnya dan mengangsurkan uang, beras pun diterima oleh Bu Juju. Pulanglah Bu Juju ke rumah. Ditaruhnya beras dan ia pun kembali beraktivitas seperti biasa karena kebetulan ia juga berjualan di rumahnya.

Tak berapa lama Bu Cicik yang kebetulan rumahnya berdekatan dengannya mampir. Rupanya ia hendak membeli terigu sebagai bahan membuat roti. Kebetulan Bu Juju berjualan terigu. Maka transaksi pun terjadi, terigu yang dibeli Bu Cicik seberat 5 kg.

Saat perjalanan pulang Bu Cicik yang bertahun-tahun berpengalaman menjadi pedagang merasa bahwa terigu yang ia bawa itu terasa ringan. Sepertinya tak sampai 5 kg, pikir Bu Cicik curiga. Sesampai di rumah cepat-cepat ia mengecek dengan timbangan, dan benar ternyata terigu tidak seberat 5 kg namun 4,5 kg.

Merasa ditipu segera ia melapor ke Ketua RT. Bu Juju pun dipanggil untuk dimintai keterangan. Orang-orang sekampung pun berduyun-duyun datang ingin tahu apa yang sedang terjadi..

”Benar engkau telah menjual terigu kepada Bu Cicik?” tanya Ketua RT. ”Benar, Pak”, jawab Bu Juju.
”Kenapa engkau mengurangi timbangan”.
”Saya tidak mengurangi timbangan”.
Seketika juga Bu Cicik yang juga mendengar dialog itu langsung menyela. ”Engkau jangan berbohong, Bu Juju. Saya membeli terigu darimu 5 kg, tapi setelah saya timbang di rumah ternyata terigu yang saya beli itu hanya 4,5 kg. Jelas kan jika engkau telah berbuat curang”. Orang-orang yang hadir tampaknya menyokong perkataan Bu Cicik dan menyalahkan Bu Juju.

Bu Juju tersenyum,”Sungguh saya tidak berbuat curang”, lalu lanjutnya dengan tetap tenang,”bahkan saya pun tak tahu kalau ternyata terigu yang saya jual itu hanya seberat 4,5 kg”.

”Lho apa maksudnya?” tanya orang-orang dengan nada heran.
”Sebelumnya tadi saya membeli beras pada Bu Cicik seberat 5 kg. Beras itu belum saya apa-apakan, belum saya ambil sebutir pun. Nah, saat Bu Cicik membeli terigu kepada saya dengan berat 5 kg, maka saya pikir tak ada salahnya saya menimbangnya dengan beras yang telah saya beli darinya. Semestinya beratnya sama. Maka jika kemudian Bu Cicik merasa terigunya kurang berat, seharusnya ia bertanya pada dirinya sendiri berapa sebenarnya beras yang telah ia jual kepada saya. Apa 5 kg? Apa 4,5 kg? Pertanyaan ini sekaligus menjawab tuduhan Bu Cicik kepada saya”.

Seketika itu juga kecurangan Bu Cicik terbongkar. Tragisnya terbongkarnya gara-gara ulah dirinya sendiri. Seolah cermin, apa yang kita lihat adalah bayangan kita sendiri. Demikian juga, ketika kita mencoba untuk menipu orang, pada hakekatnya kita telah menipu diri sendiri, menipu nurani sebagai manusia. Bisa jadi saat itu kita bisa menghindar, tapi siapa tahu Allah suatu saat akan membuka aib kita, bahkan tak tanggung-tanggung, di hadapan khalayak ramai.

Pelajaran apa yang bisa kita dapat dari cerita di atas. Satu, jangan curang. Dua, jangan menipu. Tiga, jangan berbohong.

1 komentar:

Tanto mengatakan...

Tulisan yang inspiratif. Oleh karena itu jangan suka mengumbar aib orang lain, sebelum kita mengkoreksi diri kita sendiri.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)