Lagi-lagi Pungli

Senin, 19 September 2011

Di Surabaya guru-guru memprotes adanya tarikan setelah mereka mendapatkan tunjangan. Protesnya pun diam-diam karena takutnya dimarahi oleh pejabat Dinas Pendidikan. Ditengarai tarikan ini adalah pungutan liar (pungli) karena tidak ada aturan jelas pelaksanaannya. Besarannya pun beragam, namanya juga bermacam. Ada yang menyebut uang lelah, tasyakuran (biaya syukuran), dana untuk keadilan (maksudnya diberikan kepada guru/pegawai yang belum mendapatkan), dan lain-lain. Setali tiga uang, di lingkungan Depag pungli sering kali menghias berita. Siapa lagi korbannya kalau bukan guru. Guru tak lagi orang yang (mestinya) digugu dan ditiru, tapi diperas uangnya. Kasihan.

Hampir saban pekan berita di koran menceritakan kasus pungli di lingkungan pemerintah. Kalau tak masyarakat umum, biasanya ya para guru-lah yang menjadi sasaran. Tak habis pikir (bagi saya) salah satu institusi selalu menjadi sorotan di berita media massa. Padahal institusi tersebut berlabelkan agama, tentu orang-orang dan pejabat-pejabatnya amat menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tapi mudah-mudahan itu hanyalah perbuatan oknum. Oknum, suatu kata yang gampang diucapkan untuk menutupi kelemahan institusi.

Dari berita-berita di koran itu saya menemukan pola yang hampir sama dalam setiap kasus yang muncul akibat pungli. Pertama, berita tentang pungli karena ada korban yang merasa kecewa atau tidak senang. Wartawan pun, yang memang mempunyai insting memburu berita, segera menuliskannya dalam media.

Kedua, tiap kali dikonfirmasi kepada pihak yang melakukan pungli atau pejabat tempat terjadinya pungli, maka semuanya akan kompak membantah. Kadang-kadang pejabat yang bersangkutan mengatakan belum mengetahuinya dan akan berjanji menyelidiki. Jika ada anak buahnya yang salah akan diberi sanksi. Ini adalah jawaban klise dan terkesan mencari aman.

Ketiga, jika akhirnya ketahuan atau terbukti benar adanya pungli maka pelaku akan mengatakan bahwa perbuatan itu dilakukan secara sukarela. Maksudnya orang-orang yang memberikan sejumlah uang itu karena kesadaran sendiri, bukan dengan paksaan. Ini adalah jawaban orang yang sudah kepepet.

Keempat, seringkali berita ini sekedar hangat-hangat tahi ayam. Jarang terdengar penanganan terhadap oknum yang melakukan pungli. Itu masih mending jika telah ketahuan ada oknum yang melakukan pungli. Tidak jarang kasus pungli hanya sekedar berita belaka. Pejabat berwenang menolak keberadaannya atau hanya berjanji akan menelusurinya. Setelah itu, wes hewes-hewes...bablas angine. Lenyap, kabur seiring lewatnya angin, dan seiring lupanya masyarakat.

Dan kelima, kasus pungli akan terus muncul dalam berita di media, begitu terus hingga polanya akan berputar seperti siklus. Terima kasih wartawan yang sudi menuliskannya. Terima kasih media yang telah memberitakannya. Terima kasih korban yang berani menceritakannya. Terima kasih pejabat atas janji-janjinya. Terima kasih oknum yang mengajarkan kami untuk bersabar.

2 komentar:

Sucipto mengatakan...

mungkin sudah melekat jadi budaya indonesia kali??

wurianto saksomo mengatakan...

mudah-mudahan bukan menjadi budaya, hanya oknum atau orang iseng saja.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)