Mungkin Hanya Oknum

Rabu, 21 September 2011

indonetwork.or.id
Men sana in corporin sano, demikian pepatah tua mengatakan. Artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Lepas dari perdebatan benar tidaknya pepatah itu di jaman sekarang (karena kini maling dan garong pun meski tubuhnya sehat ternyata jiwanya sedang sakit) agar badan menjadi sehat diperlukan makanan yang sehat. Empat sehat lima sempurna, istilahnya. Itu terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur mayur, dan buah-buahan, serta ditambah dengan susu agar sempurna.

Dalam dunia kewartawanan ternyata juga dibutuhkan makanan sehat agar para kuli tinta tidak ”sakit-sakitan”. Pak Karni Ilyas menuliskannya dalam kolom Resonansi di Harian Republika sekitar 15 tahun yang lalu. Wartawan harus memiliki otot, otak, duit, perasaan, dan iman, demikian ungkap wartawan senior kelahiran Madiun ini. Otot, karena kerja wartawan tidak mengenal waktu sehingga fisiknya harus terus prima. Otak, karena harus mengolah peristiwa menjadi berita yang menarik. Duit, karena biar tak gampang disuap. Perasaan, karena harus bisa mengambil empati pembaca. Iman, karena godaan amat besar untuk menyeleweng.

Profesi menjadi wartawan memang berbeda dengan profesi-profesi lain. Untuk menjadi wartawan orang tak perlu menempuh pendidikan formal tertentu semisal dokter, pengacara, dan dosen. Bahkan tak punya selembar ijazah pun orang bisa menjadi wartawan asal bisa baca tulis. Bandingkan dengan dokter yang harus menjadi Sarjana Kedokteran lalu menempuh ko-as dulu, atau profesi dosen yang kini minimal harus bergelar Master, atau pengacara yang harus bergelar Sarjana Hukum dan magang di kantor pengacara serta lulus ujian dulu.

Membuat media massa, terutama media cetak pun kini mudah, paling tidak dibandingkan di jaman Orla dan Orba. SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan) sudah tak berlaku, apalagi Departemen Penerangan telah dibubarkan. Jangan heran pasca lahirnya reformasi muncul banyak media massa. Namun sayangnya sebagian di antaranya berisikan cerita-cerita mistis, fitnah, dan seks. Seiring berjalannya waktu banyak media yang berguguran, sebagian karena kekurangan modal.

Di daerah saya beberapa media cetak lokal masih eksis (tapi saya tak tahu sejak kapan mereka terbit karena saya hanyalah pendatang sehingga kurang tahu sejarahnya). Anehnya jarang sekali saya temui media-media ini di agen koran, lapak, maupun loper. Ternyata media-media ini dijualnya di kantor-kantor, terutama instansi pemerintah dan sekolah. Tentunya sumber pemasukan utama mereka berasal dari iklan yang kebanyakan juga berasal dari instansi pemerintah, yakni berupa ucapan selamat. Untung saja setiap bulan ada hari peringatan, entah itu hari jadi daerah, hari besar nasional, hari besar keagamaan, pelantikan pejabat, dan sebagainya. Entah apa jadinya jika tidak ada hari-hari itu, mungkin iklannya sekedar ucapan selamat pagi atau selamat malam dari pejabat.

Sulit membayangkan mendatangkan pemasukan dari pelanggan. Malah saya pesimis ada banyak pelanggan perorangan. Masalahnya, mohon maaf, kualitas isi maupun penampilan masih kalah jauh dengan koran nasional. Apalagi jika dibandingkan dengan harga yang kelewat mahal untuk per eksemplarnya. Malah lebih seringnya harga resmi di koran tak tercantum. Seringnya saya melihat seonggok koran, majalah, maupun tabloid yang tak terbaca di bawah meja kantor. Banyak yang enggan, bahkan untuk sekedar meliriknya. Teman-teman lebih sering membaca koran nasional serupa Kompas, Republika, dan Jawa Pos. Ini menjadi cambuk buat rekan-rekan wartawan agar medianya menarik dibaca sehingga keberadaannya eksis, tidak semata menggantungkan pada ”belas kasihan” instansi pemerintah dan sekolah.

Ada lagi sedikit kerisihan di kalangan pegawai jika melihat adanya wartawan yang ”bergentayangan” di area tempat kerja mereka. Bukan karena rasa takut dengan berita yang akan dimuat oleh para wartawan. Tapi lebih karena rasa sebal dengan sebagian (sekali lagi sebagian, bisa sebagian kecil maupun sebagian besar) orang yang mengaku wartawan yang ternyata minta uang saku. Tapi sayangnya jarang sekali yang mau melaporkan (mungkin uangnya tak seberapa toh juga bukan pemerasan, dianggap sedekah). Orang menyebut mereka itu oknum. Wartawan sejati tak pernah meminta-minta uang, bahkan sesuai kode etik diberi pun semestinya ditolak.

Profesi wartawan adalah profesi yang mulia. Ia mengobarkan semangat dengan tulisan-tulisannya kepada para pembaca. Ia memberikan informasi yang berguna kepada segenab lapisan masyarakat. Ia menjadi pengontrol kekuasaan agar tak menyeleweng. Bukankah kini pers menjadi salah satu pilar demokrasi.

Saya pernah membaca buku tentang Udin, wartawan Bernas yang dibunuh karena menyoroti penyelewengan pemerintah daerah. Pembunuhannya pun direkayasa. Saya juga pernah membaca tulisan-tulisan Rosihan Anwar, wartawan kawakan negeri ini, tentang sejarah perjuangan bangsa hingga beliau maju ke garis terdepan pertempuran. Saya juga pernah membaca buku CM Rien Kuntari, wartawan Kompas, yang berjudul Timor Timur Satu Menit Terakhir (Catatan Seorang Wartawan), tentang petualangan hidup mati pada detik-detik menjelang berpisahnya provinsi termuda dari republik ini. Saya juga pernah membaca kisah seru Hendro Subroto dari TVRI dalam buku Perjalanan Seorang Wartawan Perang, yang meliput peperangan di berbagai tempat dan negara. Saya juga sempat membaca sekilas buku Muthia Hafidz, wartawan Metro yang sempat disekap beberapa minggu di Iraq di tengah kecamuk pertempuran. Nyawa mereka menjadi taruhannya, untuk sekedar mendapatkan berita.

Maka tatkala saya bertanya pada seorang teman di suatu hari di kantor,”Siapa mereka?”
”Wartawan”, jawabnya.
”Mau wawancara sama pimpinan?” tanya saya lagi.
”Enggak, minta jatah duit.”
”Semoga hanya oknum”, harap saya dalam hati.

2 komentar:

Tanto mengatakan...

Loh aku baru tahu ada wartawan minta jatah duit. Kalau itu sih oknum, mas. Gak mungkin ada wartawan kayak gitu.

wurianto saksomo mengatakan...

@tanto: iya sy jg berharap itu oknum

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)