Mau Memecat Gub...?

Rabu, 12 Januari 2011

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sodjuangon Situmorang saat menghadiri rapat koordinasi kepala daerah di Padang, mengatakan aturan pemerintahan yang baru memberikan kewenangan lebih pada gubernur untuk memberhentikan wali kota dan bupati. Kewenangan itu muncul setelah PP Nomor 19 Tahun 2010 diterapkan. “Sangat memungkinkan bila gubernur memberhentikan wali kota atau bupati karena sesuai dengan peraturan pemerintah yang segera diterapkan,” katanya. Menurut Sodjuangon, aturan itu dilahirkan untuk memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengefisiensikan pelaksanaan roda pemerintahan daerah. Sebelum PP itu diterbitkan, gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menegur, bahkan memberhentikan kepala daerah setingkat bupati dan wali kota. “Sanksi ini bisa dijatuhkan pada bupati dan wali kota yang tidak loyal pada keppres maupun peraturan daerah (perda),” kata Sodjuangon.

PP Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta
Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Provinsi memang mengatur peran Gubernur. Dalam Pasal 4 huruf c disebutkan bahwa Gubernur berwenang memberikan penghargaan atau sanksi kepada bupati/walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah/janji. Inilah yang barangkali dimaksud oleh pejabat Kemendagri di atas bahwa Bupati/Walikota yang tidak loyal dapat diberhentikan oleh Gubernur.

Jelas pernyataan tersebut membuka peluang untuk diperdebatkan. Misalnya wujud tidak loyalnya itu seperti apa. Di beberapa media diberitakan adanya keluhan Gubernur yang merasa Bupati/Walikota di daerahnya tidak mau hadir jika diundang rapat olehnya. Tentu saja Sang Gubernur merasa tersinggung. Sebaliknya Bupati/Walikota tidak merasa ada kewajiban untuk mematuhi perintah Gubernur. Sudah jamak diketahui di masa sekarang sebagai imbas pilkada langsung antara Gubernur dan Bupati/Walikota tidak berasal dari partai politik yang sama. Kedua pihak merasa mendapatkan pembenaran (legitimasi) sebagai penguasa politik di daerah sehingga tidak mau diperintah-perintah. Peraturan baru di atas membuka peluang Gubernur merasa di atas angin. Siap-siap saja Bupati/Walikota mendapatkan sanksi jika tidak patuh, bisa jadi pemberhentian alias pemecatan.

Seharusnya kita harus merujuk peraturan yang ada di atasnya, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian prosedur pemberhentian harus merujuk pada UU tersebut (lex superior degorat legi inferior). Di era otonomi daerah, kini Bupati/Walikota memang bukanlah bawahan dari Gubernur. Bupati/Walikota merupakan jabatan politik yang diperoleh dengan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat di masing-masing kabupaten/kota setempat. Pun Gubernur, yang dipilih langsung oleh rakyat di provinsi.

Terus terang saya masih belum tahu pasti bentuk sanksi seperti apa yang bisa dikenakan kepada Bupati/Walikota dari Gubernur. Apakah sekedar peringatan atau berwujud ancaman tidak dicairkannya anggaran pusat ke daerah atau memang benar-benar dipecat. Kalau menurut saya kewenangan Gubernur untuk memberhentikan Bupati/Walikota bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah. Demikian.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)