Berebut Kursi Pegawai Negeri

Selasa, 07 Desember 2010

Menjadi PNS daerah bukan merupakan prioritas utama saya dalam mencari pekerjaan. Cita-cita saya awalnya adalah menjadi dosen sekaligus menjadi peneliti dan penulis. Alternatif yang kedua saya ingin bekerja di perusahaan BUMN. Namun demikian saya tidak pilih-pilih. Ketika akhirnya ada kesempatan mengikuti tes CPNS di daerah, saya pun ikut. Waktu SMA saya pernah mendengar bahwa untuk menjadi PNS harus menyediakan uang banyak untuk menyogok. Selain itu juga harus mempunyai koneksi dengan pejabat. Tapi saya pikir jaman reformasi sudah menghapus kebiasaan itu. Tidak ada salahnya saya ikut tes. Kalaupun gagal ya mungkin belum rejeki saya. Yang penting tidak main sogok.

Tahun 2004, pertama kali saya mengikuti tes CPNS. Saat itu saya masih di Jogja, ada bisnis kecil-kecilan di sana, dan beberapa panggilan tes masuk kerja dari beberapa perusahaan. Dan saya masih berharap ada lowongan dosen di Fakultas Hukum UGM, almamater saya. Saya dikabari saudara bahwa di koran ada pengumuman seleksi CPNS. Saya pun pulang ke Madiun dan mencari informasi tentang peluang itu.

Ternyata untuk Pemkot Madiun tidak menyediakan lowongan untuk Sarjana Hukum, sedangkan di Kabupaten Madiun hanya ada 1 lowongan. Saya mencoba mencari daerah lain yang barangkali peluangnya lebih besar. Magetan dan Ngawi sama-sama membutuhkan 3 orang Sarjana Hukum. Saya pilih Ngawi. Pertimbangannya sederhana saja, bukan karena saya memiliki keluarga pejabat di sana sehingga bisa mudah menembus persaingan. Namun lebih karena hal yang sangat teknis. Kakak saya bekerja di kantor pajak Ngawi. Ia setiap hari pulang-pergi Madiun-Ngawi naik motor. Jadi kalau saya ikut tes di Ngawi ada orang yang bisa saya nunuti untuk pergi ke tempat tes. Sedangkan saya tidak mempunyai kerabat di Ngawi dan saya belum mempunyai motor.

Jadilah setelah berkas persyaratan saya cari, saya segera mendaftar langsung ke Kantor Pemda Ngawi dengan diantar kakak saya tadi. Tidak membutuhkan lama nomor ujian pun saya kantongi. Saya dengar dari panitia bahwa ujian pada tahun ini diadakan serentak seluruh Indonesia, meliputi pemkab, pemkot, pemprov, termasuk instansi pusat dan departemen. Saya baca juga dari koran dan lihat di TV, seleksi ini merupakan salah satu program 100 hari presiden yang baru saja dilantik. Untuk Jawa Timur pembuat soal dan yang mengoreksi hasil ujian adalah ITS. Hebat tuh, pikir saya, apalagi kalau memang benar-benar bersih.

Terus terang saya buta tentang seleksi CPNS waktu itu. Kalau UMPTN saya sudah tahu trik-triknya karena bisa dipelajari dari soal tahun-tahun sebelumnya. Dan pengalaman UMPTN membawa saya kuliah di UGM tanpa harus ikut bimbingan belajar yang tarifnya selangit. Namun bagaimana dengan tes CPNS? Saya kesulitan mencari soal-soalnya, apalagi memprediksi kira-kira model soalnya seperti apa. Benar-benar blank. Yang saya ketahui soalnya dibedakan menjadi 3, yakni pengetahuan umum, tes bakat skolastik, dan pengetahuan substantif.

Tes bakat skolastik itu mungkin mirip dengan tes IQ, demikian menurut saya waktu itu. Kalau yang itu saya sudah pernah pengalaman mengikuti tes di Astra dan PLN, namun gagal. Tapi saya pernah berhasil saat tes di Bogasari dan Asuransi Bumiputera.
Sedangkan pada tes pengetahuan substantif, masing-masing formasi berbeda jenis soalnya. Jadi saya yang mengikuti formasi untuk Sarjana Hukum berbeda dengan Sarjana Teknik, Sospol, Pertanian, dan lain-lain. Ini yang membedakan dengan tes-tes CPNS pada tahun-tahun selanjutnya.

Selain itu kelulusan juga ditentukan oleh nilai minimal. Meskipun hanya 1 orang yang mendaftar pada suatu formasi, namun jika nilainya di bawah nilai yang dipersyaratkan maka ia pun tidak lulus. Hal ini ternyata terbukti tidak sekedar omong kosong. Di Ngawi, misalnya, dari 5 formasi dokter gigi yang mendaftar cuma 3. Logikanya ketiganya 100% lulus, bahkan menyisakan 2 kursi. Namun karena ketiganya tidak memenuhi batas minimal nilai, semuanya gagal. Saya mendengar informasi ini dari Pak Bupati Ngawi saat pengarahan CPNS. Sekarang batas minimal nilai tersebut pun ditiadakan.

Allah tidak sekedar melihat apa hasil yang akan kita peroleh nantinya, namun Allah akan melihat perjuangan kita dalam memperoleh sesuatu itu, pikir saya. Tetap berusaha, belajar keras, berdoa, dan semangat yang saya miliki. Untuk pengetahuan umum saya belajar dari buku tata negara SMA milik keponakan saya. Ditunjang dengan kesukaan saya membaca buku, majalah, dan koran merupakan modal awal. Untuk pengetahuan substantif, saya banyak belajar dari buku Pengantar Ilmu Hukum (PIH). PIH merupakan mata kuliah semester awal mahasiswa hukum. Sedangkan tes bakat skolastik, saya banyak latihan soal IQ. Kebetulan saya mempunyai 3 buku tes IQ.

Selain belajar yang tak kalah penting adalah doa kita kepada Allah. Allah telah berjanji berdoalah padaKu, maka akan Kukabulkan. Banyak-banyak mendekatkan diri padaNya dengan amalan wajib dan sunnah juga sangat dianjurkan. Sholat wajib berjamaah di masjid/mushola, puasa Senin-Kamis, sholat dhuha, qiyamul lail, berinfaq, tilawah, mohon didoakan orang tua terutama ibu, adalah di antara bekal untuk menghadapi pertempuran. Jangan terkecoh dengan amalan-amalan yang seolah-olah syar’i namun sejatinya menjerumuskan kita ke lubang kesyirikan. Misalnya minta rajah/jimat pada orang yang dianggap kyai, minta pensil yang akan kita pakai untuk ujian dimantra sama dukun, dan sebagainya. Cukuplah Allah sebagai penolong kita.

Hari H pun tiba. Saat itu Bulan November 2004, saya lupa tanggalnya. Setelah sarapan, pagi-pagi sebelum berangkat saya pamit pada orang tua dan mohon doanya. Dibonceng kakak yang sekaligus akan berangkat kantor, berangkatlah kami berdua berboncengan motor Madiun-Ngawi.

Tempat tes saya di SMP 2 Ngawi. Tiba di sana sudah banyak orang berkerumun di depan gerbang sekolah. Saya menangkap ada ketidakberesan di sana. Benar saja. Di papan pengumuman tertulis informasi bahwa tes diundur menjadi jam 12 siang dari yang seharusnya jam 8 pagi. Terpaksa saya dibonceng kakak lagi disuruh menunggu saja di kantornya. Saya sudah merasakan firasat yang kurang enak. Saat datang lagi di lokasi ujian menjelang jam 12 siang, ada pengumuman lagi melalui pengeras suara bahwa ujian ditunda hingga waktu yang belum bisa ditentukan. Astaghfirullah, akhirnya saya pulang ke Madiun.

Setiba di rumah ternyata mereka yang tes di Madiun pun juga mengalami hal yang sama, yakni tesnya ditunda. Ternyata seluruh Jawa Timur ditunda, sedangkan daerah yang telah terlanjur melaksanakan, tes dibatalkan. Sepertinya permasalahan terjadi pada distribusi soal. Tes berikutnya kira-kira 10 hari kemudian. Meskipun agak kesal saya mencoba mengambil hikmahnya. Mungkin Allah masih memberikan kesempatan kepada saya untuk lebih banyak belajar lagi. Saya gunakan waktu yang ada untuk memaksimalkan sumber daya.

Awal Desember 2004 tes yang ditunda itu pun berlangsung. Dari nomor yang terpasang di beberapa kelas ujian saya perkirakan peserta Sarjana Hukum berjumlah kira-kira 150 orang. Mereka termasuk saya memperebutkan 3 kursi, jadi perbandingannya 1:50. Alhamdulillah soal ujian bisa saya kerjakan dengan sukses.

Pas pengumuman saya tidak tahu. Yang memberitahu malah teman saya lewat telepon, katanya nama saya ada di koran Radar Madiun pada hari itu (sampai saat ini koran itu masih saya simpan). Ia sendiri yang ikut tes di Madiun tidak lulus. Saya segera ke rumahnya untuk melihat di koran. Dan benar nama saya tercantum di sana. Segera saya kembali ke rumah, tapi sebelumnya mampir di kios untuk membeli Koran Radar Madiun. Alhamdulillah.

Saya termasuk sekitar tiga ratusan orang yang diterima di Pemda Ngawi. Tanpa menggunakan uang untuk menyogok, juga tanpa memanfaatkan koneksi pejabat. Ketika bertemu dan berkenalan dengan teman-teman itu pun mereka juga pada kondisi yang sama, lulus tes murni. Dari 3 formasi Sarjana Hukum itu hanya saya yang dari UGM, dua yang lain dari UNS. Sedangkan formasi yang lain ada yang lulusan ITS, Unair, Unibraw, Unej. Saat ini beberapa dari kami tersebut mendapatkan kesempatan beasiswa melanjutkan S2 dari Bappenas, Menkoinfo, dan Kementerian PU.

Kami termasuk orang-orang yang beruntung. Karena setelah bekerja sebagai CPNS, saya mendapatkan informasi dari teman-teman kantor bahwa pada tahun sebelumnya saat kewenangan tes diserahkan oleh daerah muncul istilah angkatan 50 dan angkatan 70. Angkatan 50 itu artinya untuk formasi SMA harus menyogok 50 juta, sedangkan angkatan 70 untuk formasi sarjana harus menyogok 70 juta. Saat saya cerita bahwa saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun, sebagian di antara mereka kurang percaya. Saya maklumi saja, karena memang selama ini rekrutmen pegawai tidak pernah lepas dari suap.

Kami yang dari 1 liting itu, sampai sekarang masih berharap bahwa pada tahun-tahun selanjutnya penerimaan CPNS benar-benar bersih. Reformasi birokrasi akan terwujud dengan dimulai dari rekrutmen pegawai yang bebas KKN.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)