Pungutan Pun Ada Di Aparat

Kamis, 16 Desember 2010

Persidangan mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji kembali membawa berita menarik. Jaksa Penuntut (JPU) menghadirkan tujuh mantan kapolres di wilayah Jawa Barat (Jabar) untuk memberikan kesaksian. Ketujuh saksi tersebut, yakni mantan Kapolres Kuningan, Sukabumi, Banjar, Indramayu, Tasikmalaya, Purwakarta, dan Bogor mengakui bahwa Polda Jabar yang dipimpin Susno memotong anggaran pengamanan pemilukada Jabar tahun 2008.

Di depan majelis hakim, ketujuh mantan kapolres tersebut ramai-ramai menyebutkan bahwa dana pengamanan pilkada jabar 2008 memang "disunat" dengan kisaran yang berbeda-beda di setiap wilayah. Yakni antara Rp 60 juta hingga Rp 640 juta. Mereka para pejabat teras kepolisian itu mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu tidak sesuai dengan prosedur. Pembuatan laporan keuangan yang tidak sesuai kenyataannya merupakan tindakan yang melanggar hukum. (Jawa Pos)

Modus pemotongan anggaran memang sudah menjadi hal yang lumrah di birokrasi. Besarannya variatif, ada yang 1%, ada yang 10% dari anggaran yang cair, tergantung dari kebijakan pemegang kekuasaan. Namanya pun macam-macam, ada dana non-budgeter, dana taktis, dana operasional, rekonstruksi, dan lain-lain. Namun sebenarnya hal itu tidak dapat dibenarkan. Beberapa alasan pembenar bisa digunakan yakni untuk menutupi biaya operasional kantor yang tidak tercover dalam anggaran, setoran ke pejabat tertentu, setoran ke penegak hukum untuk menutup perkara pidana, biaya kampanye pemilu, biaya pengurusan ini-itu, bantuan sosial, dan lain-lain. Tapi itu semua baru berupa asumsi.

Dana non-budgeter adalah anggaran ad-hoc yang dikumpulkan dan/atau digunakan oleh pemerintah/negara untuk keperluan keadaan mendesak (force majoure) karena APBN tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen. Anggaran ini tidak masuk dalam rancangan APBN yang diajukan pemerintah ke DPR.  Kasus yang umum terjadi pada masa lalu dari anggaran non-budgeter adalah dana yang digunakan untuk bencana alam, bencana sosial, ataupun bencana ekonomi (krisis ekonomi), serta program-program departemen yang sangat mendesak. Kondisi ini “memaksa” menteri untuk memutuskan kebijakan mengumpulkan dana salah satunya dengan menerbitkan rekening pribadi atas nama jabatan institusi yang lebih dikenal sebagai rekening liar. (Sumber: http://nusantaranews.wordpress.com)

Salah satu menteri di era Megawati pernah tersandung masalah ini. Ada kebijakan untuk mengumpulkan dana sebesar 1 persen dari dana yang disalurkan ke dinas di daerah. Jumlahnya mencapai lebih dari 10 milyar. Itu dana yang berasal dari internal. Dana yang berasal dari eksternal lebih besar lagi, yakni sekitar 19 milyar. Akhirnya sang menteri pun harus berurusan dengan KPK, ditangkap, disidang, dan divonis bersalah.

Kembali ke masalah Polri tadi. Saya sebenarnya sudah mengira bahwa potongan seperti itu ada di berbagai instansi. Namun saya tidak menduga jika hal itu juga terjadi di institusi penegak hukum, yakni kepolisian. Itu yang baru terungkap dalam persidangan, yakni 7 polres di jajaran Polda Jabar. Belum yang di Mabes Polri, belum di seluruh Indonesia. Mereka pun bukan polisi-polisi kemarin sore yang baru lulus pendidikan yang mungkin lupa teori. Namun mereka sudah melalang buana bertahun-tahun menjadi aparat penegak hukum menangani kasus pidana. Dan jangan lupa, jabatan mereka adalah Kapolres, jabatan yang dalam Muspida bisa disandingkan dengan Bupati, Dandim, dan Kejari.  

Coba bayangkan saja sebuah institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan penegakan hukum malah melakukan pelanggaran hukum. Benar saja kata hakim yang bertugas pada sidang yang menghadirkan saksi para Kapolres itu. "Beruntung kalian tidak berada di sini," sindir Artha dengan nada ketus sambil menunjuk posisi duduk Susno Duadji sebagai terdakwa. Tentu saja para pengunjung sidang menertawakan ketujuh polisi itu. Artha pun menyinggung mereka karena telah turut membantu melakukan pelanggaran dan bisa dijatuhi hukuman

Satu lagi, peran pengawasan internal sepertinya sudah tidak berjalan. Kenapa? Karena bidang pengawasan itu merupakan bagian dari birokrasi itu sendiri. Tidak mungkin ia berani melawan atasannya. Coba kalau berani, atau mau dipecat? Penegakan hukum di negeri ini ibarat pisau. Tajam di ujung namun tumpul di pangkal. Orang-orang yang tidak mempunyai pangkat dan jabatan menjadi sasaran empuk petugas, namun mereka yang berpunya melenggang bebas. Ironi.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)