12 Plus 1 Jurus Nggedabrus (Seri Pertamax)

Rabu, 02 Mei 2012

cakwid.net
Paling tidak ada tiga masalah besar yang menggelayuti birokrasi di Pemkab Ngawi, yakni kurangnya koordinasi antar satuan kerja, lemahnya pemberdayaan sumber daya manusia, dan terbatasnya anggaran. Saya tidak mengada-ada karena yang menyampaikan adalah Bapak Bupati sendiri. Hal ini pun diulang dan dipertegas oleh Bapak Sekda dalam apel pembinaan staf. Jadi ini bukan lagi rahasia. Setiap orang mengetahuinya.

Setiap satker akhirnya diperintahkan membuat program unggulan. Disuruh bermimpi. Tak terkecuali BKD, institusi yang bertugas mengelola kepegawaian di kabupaten. Yang saya tangkap program unggulan BKD adalah peningkatan pelayanan kepegawaian, optimalisasi disiplin PNS, dan pengembangan SDM. Sebenarnya paparan dari BKD itu merupakan kebutuhan dasar pelayanan, maksudnya ya memang seperti itu harusnya sebuah kantor, misalnya pelayanan tepat waktu, kemudahan akses, kesempatan pengembangan diri. Bukankah ini hal yang wajar bagi setiap institusi.

Kalau boleh saya juga ingin bermimpi. Bermimpi tentang program unggulan dalam hal pelayanan kepegawaian. Saya rasa untuk bermimpi tak harus menjadi bupati atau pejabat struktural terlebih dahulu. Staf biasa juga boleh kok bermimpi. Sebagai catatan, sebagian di antaranya masing-masing telah saya buat pada bagian-bagian yang terpisah pada masa lalu. Jadi di sini tak perlu panjang lebar saya ulang. Bisa kok diklik tautannya. Mumpung belum dilarang, inilah impian saya. 13 Jurus Nggedabrus. Jreng jreng jreng ...

Pertama, spesialisasi jabatan. Banyak orang yang menilai bahwa jumlah PNS sudah sangat banyak. Padahal di sisi lain banyak juga PNS yang kerjanya tak keras-keras amat. Dominan pada kegiatan administasi. Nah, agar lebih efektif jenis jabatan fungsional tertentu harus diperbanyak. Bukan berarti memperbanyak jumlah pegawai, lho. Pegawainya tetap tapi diberikan spesialisasi jabatan. Selain lebih konsentrasi pada tugas dan pekerjaan, PNS tak melulu berebut jabatan struktural yang kadang-kadang beraroma fulus.

Kedua, lelang jabatan. Ini terutama diperebutkan bagi jabatan struktural. Jenis jabatan yang akan/telah lowong dilelang atau ditawarkan secara terbuka. Dengan tetap mengacu pada aturan kepegawaian, setiap PNS yang memenuhi persyaratan berhak untuk ikut memperebutkan jabatan yang ingin didudukinya. Selanjutnya ada tes kompetensi jabatan. Saya merekomendasikan melibatkan pihak ketiga, yakni Perguruan Tinggi Negeri. Selain itu kandidat juga wajib membuat makalah dan memaparkan di hadapan panelis. Makalah dan paparan itu berisi visi, misi, komitmen, dan program kalau ia menduduki jabatan.

Ketiga, program pengabdian di desa. Kalau yang pernah kuliah pasti tahu yang namanya KKN (Kuliah Kerja Nyata). Nah, ini sama dengan itu, itu sama dengan ini hehehe bolak-balik. Kalau dulu pas jadi mahasiswa sekarang sudah jadi pekerja. Pesertanya adalah calon PNS. Dengan kelompok yang telah ditentukan mereka diterjunkan  ke desa-desa selama beberapa bulan. Dari sana mereka bisa belajar banyak hal. Bisa juga mengajari sistem administrasi pemerintah desa. Bisa juga memberdayakan masyarakat desa. Setiap individu wajib membuat laporan sebagai hasil analisis.

Keempat, sistem reward. Selama ini PNS selalu ”ditakut-takuti”. Kalau berbuat ini akan dikenai sanksi itu. Kalau begini akan begitu. Begini begitu. Gini gitu. Serba terancam. Tidak apa-apa kok, peraturan memang mengharuskan setiap PNS berdisiplin. Tapi ada cara lain yang jarang dimanfaatkan, yakni sistem poin. PNS yang berprestasi akan mendapatkan insentif. Akan ada hadiah. Misalnya pemberian penghargaan, imbalan uang, kesempatan diklat, pemberian beasiswa, dan sebagainya.

Kelima, kontrak kinerja. Selama ini instrumen penilaian PNS adalah DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan). Sejak diterapkan pada tahun 1979 belum pernah ada perubahan. Mayoritas pegawai merasa itu sekedar formalitas, belum menunjukkan keadaaan sebenarnya. Maka tak heran pegawai yang rajin dan yang malas hasil DP3-nya tak jauh berbeda malah sama. Oleh karena itu perlu dibuat penilaian pekerjaan lain yang lebih terukur yakni kontrak kinerja. Setiap PNS membuat program kerja beserta targetnya yang dibuat di awal tahun. Di akhir tahun atasannya mengevaluasi termasuk perilaku kerja PNS yang bersangkutan.

Keenam, beasiswa pendidikan yang selektif, transparan, dan akuntabel. Selama ini pegawai yang ingin meningkatkan wawasan dan pengetahuan melalui jalur pendidikan formal tertentu seakan-akan dilepas begitu saja, artinya tiada dukungan finansial. Pemkab seringkali beralasan tidak ada anggaran untuk membiayai pendidikan pegawainya. Namun setelah saya mengetahui ada satker yang menganggarkan ratusan juta rupiah hanya untuk segelintir pegawai internalnya saja, maka saya berkesimpulan bahwa sebenarnya Pemkab mampu. Nah, bagaimana cara seleksinya? Mudah kok, malah bisa gratis. Begini teknisnya.

Buat saja ketentuan yang berhak memperoleh beasiswa adalah bagi pendidikan S2 dan menggunakan standar Bappenas, yakni nilai Tes Potensi Akademik minimal 525 dan TOEFL minimal 400.Awalnya ikutkan saja seleksi beasiswa Bappenas. Toh, gratis kan, apalagi tiap tahun ada, malah dua kali. Jika ia memenuhi persyaratan Bappenas dan diberi beasiswa oleh Bappenas maka Pemkab tak usah menanggung biaya pendidikannya. Cukup uang saku sebesar yang diberikan oleh Bappenas. Bagi yang telah memenuhi persyaratan Bappenas namun belum diberi beasiswa oleh Bappenas, nah inilah yang mestinya diberi beasiswa oleh Pemkab. PNS ini diberi kesempatan memilih program studi yang ia inginkan (semestinya PTN) dan Pemkab menanggung biaya pendidikannya. Biar tidak boros kasih saja batas maksimal, misalnya 30 juta, kalau lebih kekurangannya itu ditanggung sendiri oleh PNS.


Bersambung mas bro ... ana candhake.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)