Jam Mengajar Guru

Senin, 14 Mei 2012

Kenapa ingin menjadi guru? Karena ingin mencerdaskan bangsa. Super sekali jawaban itu. Tugas guru memang mulia. Menjadikan generasi penerus bangsa yang cerdas. Pak Wardoyo, mantan kepala sekolah saya semasa SMP mengatakan bahwa kami (para muridnya) harus menjadi pintar dan baik. Pintar berarti sukses secara akademis, baik berarti sukses secara perilaku. Maka untuk menjadi pintar dan baik itu diperlukan peran guru. Guru-lah yang mendidik kami, laksana pelita dalam gulita.

Dibomnya Hiroshima dan Nagasaki oleh AS pada tahun 1945 menyebabkan luluh lantaknya seantero kota. Bom itu pula yang menyebabkan berhentinya Perang Dunia Kedua ditandai dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu. Pasca pengeboman, pemimpin Jepang sedih. Apa yang ditanyakannya? Berapa guru yang masih tersisa. Super sekali. Pertanyaan pertama bukanlah berapa gedung yang masih tersisa atau berapa banyak jalan yang masih ada. Tapi, berapa banyak guru yang tersisa? Kini, puluhan tahun berikutnya Jepang menjadi negara yang hebat. Berkat apa? Pendidikan. Guru.

Beruntung Pemerintah kita saat ini memperhatikan guru. Bahkan ada undang-undang khusus tentang guru (sekaligus dosen). Hak-haknya dilindungi. Anggaran untuk pendidikan dipatok minimal 20%. Bantuan-bantuan untuk sekolah ditambah. Guru merupakan sebuah profesi. Guru mendapatkan sertifikasi dengan tunjangan sebesar gaji pokoknya. Yang belum sertifikasi pun tak usah khawatir karena ada tunjangan non sertifikasi. Itu pun masih menikmati tunjangan fungsional. Belum lagi tawaran beasiswa dari berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta.

Saya sedang tidak berminat menyoroti masalah pendidikan dan guru di negeri ini secara nasional. Sudah banyak pakar berbicara. Pujian dan kritikan silih berganti bersahutan. Saya ingin menulis yang remeh temeh saja. Menulis yang tak banyak mengeluarkan isi otak. Data, analisa, dan sebagainya biarlah dipakai para pakar, para profesor, para doktor. Ngobrol yang ringan-ringan saja lah. Sementara yang saya bicarakan adalah guru PNS, yang non PNS jangan iri dulu.


Beberapa saat yang lalu di meja rekan teronggok usulan izin belajar. Iseng-iseng saya baca. Izin belajar dari guru pada SMA negeri di kota saya yang sedang melanjutkan pendidikan S2. Kampus tempat pendidikan itu berada di luar kota, yah kira-kira kalau naik bis bisa memakan waktu 3 jam. Berkasnya sepertinya komplit. Ada usulan dari Dinas Pendidikan, SK pangkat terakhir, DP3, surat keterangan dari kampus, dan jadwal perkuliahan. Dahi saya berkerut saat membaca jadwal perkuliahan.

Jadwal kuliah guru tersebut kebanyakan pada hari kerja yang mestinya dia masih masuk kerja. Saya lihat jam kuliahnya, ternyata pagi hingga siang. Ia kuliah pada hari Senin, Selasa, Jumat, dan Sabtu. Hampir semuanya dimulai pada pukul 08.00. Berarti ia meninggalkan tugas. Hanya pada hari Rabu dan Kamis ia tidak ada jadwal kuliah, berarti hanya pada hari itu ia masuk kerja. Bolehkah?

Pada kesempatan yang lain saya juga bertemu dengan guru SMP negeri dengan kasus yang mirip seperti di atas. Dari satu minggu hari masuk kerja di sekolah (Senin-Sabtu) ia menggunakan dua harinya yakni Senin dan Selasa untuk kuliah pada saat jam dinas. Sedangkan selebihnya yaitu Rabu hingga Sabtu ia tetap masuk kerja. Katanya Kepala Sekolahnya membolehkan, tidak apa-apa, toh beban mengajarnya terpenuhi yakni empat hari. Artinya dengan empat hari itu ia menjalankan kewajibannya mengajar di sekolah. Sedangkan sisanya dipakai untuk kegiatan di luar sekolah, dalam hal ini menempuh pendidikan di luar kota. Bolehkah?

Secara pribadi saya berpendapat semestinya tidak boleh. Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para guru yang telah mendidik saya semenjak kecil dan tanpa bermaksud menafikan jerih payah guru, semestinya ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan. Saya rasa sebagai PNS para guru juga terikat dengan kewajiban PNS, salah satunya tentang jam kerja. Secara formal ini telah diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2010. Bahkan ada sanksi yang telah menanti di sana, tak memandang guru maupun non guru.

Barangkali ada mind set yang telah tertanam secara kuat di benak para guru bahwa jam kerjanya inheren dengan jam mengajar. Artinya apa? Bila telah selesai mengajar atau tidak ada jadwal mengajar maka tidak ada kewajiban masuk kerja. Mind set ini ternyata ”diamini” pula oleh kepala sekolah, pejabat fungsional dalam hal pengawasan, dan pejabat struktural dinas terkait mulai dari lingkup kecamatan hingga kabupaten. Paling tidak mereka turut membiarkan.

Benarkah jam mengajar inheren dengan jam kerja? PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru menyebutkan bahwa beban kerja guru untuk melaksanakan pembelajaran paling sedikit 24 jam tatap muka dan paling banyak 40 jam tatap muka dalam 1 minggu. Beban  tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 jam kerja dalam 1 minggu. Secara keseluruhan jam kerja PNS memang minimal 37,5 jam (bandingkan dengan jam kerja buruh yang 40 jam seminggu menurut UU Nomor 13 Tahun 2003).

Waktu kerja 37,5 jam itu bisa diatur tergantung masing-masing instansi. Ada yang menerapkan 5 hari kerja atau 6 hari kerja, namun kumulasinya tetap sama yakni 37,5 jam seminggu. Tapi kini kebanyakan instansi pemerintah menerapkan 5 hari kerja. Untuk sekolah dan instansi pelayanan masyarakat lain semisal rumah sakit dan puskesmas tergantung kebijakan pimpinan. Untuk sekolah biasanya Senin sampai Sabtu. Bahkan rumah sakit dan puskesmas non stop setiap hari selama 24 jam. Hari Minggu yang mestinya libur pun mesti ada pegawai yang melayani orang sakit.

Kembali ke guru tadi. 24 jam tatap muka (JTM) itu bukan berarti masing-masing jam berisi 60 menit. Alokasi waktu 1 JTM itu 45 menit untuk SLTA, 40 menit untuk SLTP, dan 35 menit untuk SD. Bila 24 JTM, itu berarti membutuhkan waktu 1.080 menit (24x45 menit) untuk guru SLTA dalam seminggu. Bahkan untuk guru SD membutuhkan waktu 840 menit (24x35 menit). Coba bandingkan dengan standar minimal jam kerja PNS yakni 37,5 jam yang berarti 2.250 menit (37,5x60 menit). Dengan demikian untuk guru SLTA itu masih ada jam kerja wajib sebagai PNS sebesar 1.170 menit (2.250-1.180) atau untuk guru SD ada 1.410 menit (2.250-840) selain jam tatap muka selama seminggu.

Lalu digunakan untuk apa waktu yang tersisa selain untuk tatap muka? Jujur saya tak tahu. Belum ada polingnya. Tapi yang saya tahu (ini hanya sebagian kecil yang saya ketahui) guru meninggalkan tempat tugas (sekolah). Sudah merasa tidak ada kewajiban tinggal di tempat kerja bila jam mengajarnya telah selesai. Atau tidak masuk kerja di sekolah jika pada hari itu tidak ada jadwal mengajar.

Mohon maaf sekali lagi ini hanyalah sebagian kecil yang saya ketahui yang tentunya belum bisa dijadikan dasar generalisasi permasalahan. Tapi ada pula yang menggunakan waktunya untuk melanjutkan pendidikan sebagai konsekuensi profesi guru yang mengharuskan memperoleh gelar tertentu. Dengan anggapan sudah tidak ada jam mengajar, maka pulang, meninggalkan tempat kerja, melakukan bisnis lain, menempuh pendidikan, dan sebagainya menjadi pilihan.

Silakan masyarakat menilainya. Anda konsumen pendidikan yang cerdas.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)