K1=50 Juta

Sabtu, 14 April 2012

Kenapa ya masih ada orang yang ngotot menjadi pegawai negeri dengan cara apapun. Dengan cara apapun itu termasuk cara-cara yang tidak wajar. Misalnya memalsukan data, minta bantuan paranormal alias dukun, menyuap, dan sebagainya. Perjuangan menjadi pegawai negeri, di tengah-tengah gersangnya lowongan kerja, memang ruaaarrr biasa. Karena ruaaarrr biasa itulah cara-cara yang dipakai pun juga ruaaarrr biasa.

Di koran, pasca diumumkannya honorer kategori 1 (K1), tertulis berita adanya setoran dari honorer kepada orang (barangkali oknum) yang bisa menjanjikan memuluskan langkah menjadi PNS. Besarnya 50 juta. Tapi setelah setor ternyata namanya tak masuk daftar. Ah, bukankah kasus seperti ini sering terjadi. Namun kenapa terus saja terulang. Kenapa ... kenapa ... kenapa ... jreng jreng jreng. Tanya saja deh pada Ayu ting-ting. Lho itu kan kemana ... kemana ... kemana ...

Honorer K1 itu adalah mereka yang tercecer dalam pengangkatan CPNS karena data mereka tidak masuk dalam database BKN. Pemerintah sedang berbaik hati, maka didatalah ulang para honorer. Tapi ternyata hasilnya mencengangkan, jumlahnya membengkak. Selain dari yang benar-benar tercecer, ternyata ada yang menyusup, menyelinap, menyaru, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Tidak terbayang sebelumnya, begitu besarnya pembengkakan. Berarti memang ada penyakit dalam birokrasi. Bila tidak diatasi bisa bertambah akut dan sulit disembuhkan. Jangan-jangan malah perlu diamputasi.

Maka dibentuklah sebuah mekanisme. Diadakanlah verifikasi. Pemerintah sudah terlanjur curiga. Berharap kejujuran seperti berharap pungguk merindukan bulan. Dibentuklah tim verifikasi. Bertambahlah tugas orang-orang daerah. Bertambahlah tugas kami. Bertambahlah tugas saya. Tak apa-apa, tak masalah. Inilah ibadah, yang tak sekedar ritual rutin di tempat suci. Semoga yang berhak mendapatkan haknya, demikian pula sebaliknya.

Lalu kenapa ada transaksi 50 juta. Ada beberapa tahapan. Ada beberapa pintu kemungkinan. Ada beberapa benteng yang musti dilalui. Pertama adalah benteng diri sendiri. Benteng kejujuran. Kalau Anda membobol benteng ini berarti Anda membobol diri Anda sendiri. Nurani Anda sendiri. Memang di sini awal mulanya tidak perlu uang. Jika Anda berhenti, selesai sudah, tapi konsekuensinya Anda ”melewatkan peluang”. Jika Anda nekat terus melangkah sedangkan Anda tahu pasti bahwa Anda sebenarnya tidak layak masuk kategori, maka mulailah rekayasa itu.

Membuat tiada menjadi ada memunculkan hukum ekonomi. Ada permintaan, ada penawaran. Saat kejujuran telah terlewati, maka benteng berikutnya nuansanya tak akan jauh berbeda. Bukankah sebuah kebohongan akan diikuti dengan kebohongan berikutnya. Diperlukan ijazah yang sesuai, SK yang sesuai, absensi yang sesuai, dan beragam kesesuaian. Sekali lagi, menjadikan ke-ada-an dari awalnya ke-tiada-an bisa jadi tidak cuma-cuma. Ada yang minta ongkos. Atau ada yang berani merubah data.

Benteng kedua adalah benteng instansi. Benteng kantor masing-masing. Lebih tepatnya lagi adalah benteng pimpinan. Dengan jabatan yang disandang ia-lah yang berwenang mengusulkan seseorang menjadi K1 kepada tim verifikator daerah. Bisa jadi transaksi lahir di sini. Tapi dugaan saya, kalaupun itu ada, hanya terjadi pada orang yang memang seharusnya gugur sejak awal. Orang yang benar-benar tercecer mudah-mudahan tak mengalaminya.

Benteng ketiga adalah benteng tim verifikasi daerah. Tim ini terdiri dari personel BKD yang tugasnya meneliti kelengkapan berkas. Kewenangan tim ini pun terbatas, yakni hanya meneliti kelengkapan, bukan mengungkap kepalsuan. Mereka bekerja dalam tataran formil, bukan materiil. Sederhanannya begini, untuk kelengkapan ijazah honorer menyerahkan fotocopy-nya yang telah dilegalisasi dari pihak yang berwenang. Dengan adanya legalisasi itu maka berkas dianggap telah lengkap. Masalah asli atau palsunya ijazah itu sudah di luar kewenangan tim. Tim hanya berlandaskan pada adanya legalisasi. Maka pihak yang berani melegalisasi itulah yang layak dimintai pertanggungjawaban apabila kemudian diketahui ijazah ternyata palsu. Tentunya pelaku pemalsuan-lah yang paling bertanggung jawab. Demikian pula perlakuan terhadap dokumen lain seperti SK, absensi, dll.

Namun dalam perjalanan selanjutnya ada kreativitas anggota tim untuk mengungkap kebenaran materiil. Misalnya begini, ada honorer yang secara formil masuk kategori. Saya kasih contoh ia punya SK pengangkatan honorer pada tanggal 1 Januari 2005. Tapi setelah disandingkan dengan dokumen lain (misalnya ijazah) ditemukan kejanggalan. Sesuai ijazah ia lulus SLTA pada bulan Juni 2005, berarti pada Januari s.d. Juni 2005 itu ia masih bersekolah. Ia bersatus pelajar, bukan honorer. Maka, mestinya gugurlah ia, meski secara formil terpenuhi. Dan contoh seperti ini tidak hanya satu dua. Dibutuhkan pengakuan. Maka sekali lagi dibutuhkan kejujuran.

Tapi adakah peluang transaksi di tim verifikasi daerah. Mungkin. Tapi, sejujurnya saya belum menemuinya. Saya tahu pasti integritas teman-teman anggota tim. Saya tidak percaya mereka melakukannya. Namun entah kalau di belakang. Atau di luar. Entah pula kalau pejabat di BKD yang bermain. Segalanya memang mungkin.

Benteng keempat adalah benteng tim verifikasi pusat. Berkas yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh tim verifikasi daerah selanjutnya diserahkan kepada BKN. Kemudian BKN bersama institusi lain membentuk tim verifikasi pusat. Daerah sudah tidak campur tangan lagi. Saya rasa di sinilah benteng terakhir. Di sinilah penentuan bisa tidaknya honorer masuk K1. Bisakah benteng ini dibobol? Bisa saja. Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Dengan cara apa saja, dengan segala daya dan upaya, kesempitan apa pun musti diterobos. Saya tak tahu pasti tapi yang jelas ada yang cerita kepada saya bahwa pernah ada yang melakukan transaksi. Tapi besarnya tak sampai 50 juta. Tak jelas siapa yang memulai. Juga tak jelas apakah orang ini pula yang bercerita di koran.

Kesimpulannya, banyak pintu yang mesti diurai. Paling tidak empat benteng itulah. Dan kalaupun benar terjadi transaksi maka mestinya kita juga harus fair. Pemberi dan yang menerima mesti diperiksa. Bukankah ini sudah masuk delik pidana korupsi. Tidakkah ini penyuapan. Dengan demikian penyuap dan yang disuap sama-sama kena. Ayo Pak Pengacara. Ayo aktivis LSM. Ayo teman-teman pendamping honorer. Ungkap kasus ini, biar terang benderang. Saya kepingin tahu, siapa penyuap dan yang disuap itu.

Maju kena mundur kena, kata Warkop DKI. Gimana, Bos.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)