halaman-anda.blogspot.com |
Otonomi memang dilaksanakan di daerah (baca: kabupaten/kota). Dengan demikian tanggung jawab pengelolaan keuangan berada di daerah. Namun semata-mata menyalahkan daerah dalam masalah karut marut besarnya belanja pegawai juga tidak tepat. Bisa jadi daerah memang kurang baik dalam pengelolaan, tapi pusat tak bisa begitu saja menutup mata. Sebenarnya kondisi seperti ini tidak lepas dari kontribusi pemerintah pusat. Pusat dengan segenab regulasi dan kebijakannya membuat daerah mau tak mau mesti melaksanakan yang imbasnya tentu saja berpengaruh pada APBD. Ada yang mengistilahkan bahwa otonomi daerah itu laksana ular. Pusat memang telah melepaskan kepalanya, namun ternyata ekornya masih dipegang erat.
Paling tidak ada tiga regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang dampaknya membuat daerah menyiapkan anggaran besar untuk belanja pegawai. Ketiganya adalah rekrutmen pegawai, gaji pegawai, dan organisasi perangkat daerah. Penambahan jumlah pegawai, kenaikan gaji pokok, dan pembentukan struktur birokrasi mengakibatkan membengkaknya belanja pegawai yang antara lain untuk gaji, tunjangan, dan penghasilan lain.
Pertama, rekrutmen pegawai. Rekrutmen atau pengadaan PNS diatur dalam PP Nomor 98 Tahun 2000 jo PP Nomor 11 Tahun 2002. Pada prinsipnya pengadaan PNS adalah untuk mengisi formasi yang lowong. Lowongnya formasi dalam suatu organisasi pada umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu adanya PNS yang berhenti, pensiun, dan meninggal dunia atau adanya perluasan organisasi. Karena pengadaan PNS adalah untuk mengisi formasi yang lowong, maka penerimaan PNS harus berdasarkan kebutuhan.
Tahun 2005 pemerintah menerbitkan PP Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS yang kemudian dirubah dengan PP Nomor 43 Tahun 2007. Dengan landasan ini ratusan ribu tenaga honorer yang sebagian besar berada di daerah diangkat sebagai CPNS. Pengangkatan ini bertahap mulai dari Tahun Anggaran 2005 hingga paling lambat 2009. Tentu saja kebijakan pusat ini mengakibatkan jumlah PNS daerah semakin bertambah banyak dan berimbas pada semakin besarnya belanja untuk pegawai.
Tahun 2009 sebagai batas akhir penyelesaian tenaga honorer menjadi CPNS ternyata masih menyisakan persoalan, yakni masih ada tenaga honorer yang sebenarnya memenuhi persyaratan namun belum diangkat menjadi CPNS. Pemerintah melalui Menpan dan Kepala BKN akhirnya membuat kebijakan memerintahkan instansi termasuk daerah untuk mendata dan memverifikasi. Tenaga honorer yang tercecer ini istilahnya adalah Kategori 1 (K1) dan Kategori 2 (K2). Ternyata jumlahnya mencapai ribuan orang. Saat ini jalan untuk mengangkat mereka menjadi CPNS masih menunggu perubahan regulasi. Jelas, apabila ini terwujud maka jumlah pegawai di daerah juga turut bertambah.
Selain itu pengadaan pegawai juga dilaksanakan melalui Sekretaris Desa (Sekdes) yang diangkat langsung menjadi PNS. Sekdes yang awalnya adalah perangkat desa non PNS yang bertugas membantu Kepala Desa, dengan landasan PP Nomor 45 Tahun 2007 dapat diangkat menjadi PNS. Dengan statusnya sebagai PNS Daerah maka segala gaji dan tunjangannya kini menjadi tanggung jawab daerah, bukan lagi desa. Maka mau tak mau daerah mesti menganggarkan dalam belanja pegawai. Saat ini perangkat desa lain selain Sekdes (misalnya Kepala Desa) sedang memperjuangkan aspirasinya untuk dapat diangkat pula menjadi PNS. Jika ini terwujud maka daerah pun juga harus menyisihkan anggaran untuk menggaji mereka.
Kedua, gaji pegawai. Gaji pokok PNS diatur dalam PP Nomor 7 Tahun 1977. Peraturan yang dibuat di jaman Presiden Soeharto ini belum pernah dicabut, yang ada hanya dirubah. Perubahan terletak pada batang tubuh (pasal) dan sebagian besarnya terjadi perubahan pada lampiran. Terhitung hingga sekarang telah mengalami perubahan sebanyak 14 kali, terakhir pada tahun 2012 ini. Apa artinya? Tiap kali perubahan itu berarti ada kenaikan gaji. Bahkan tercatat sejak tahun 2007 hingga 2012 mengalami kenaikan setiap tahun. Peraturan Pemerintah berlaku umum untuk seluruh Indonesia. Meskipun APBD suatu daerah dalam kondisi defisit maka tetap saja kenaikan gaji harus dinikmati oleh setiap pegawai di daerah itu tanpa terkecuali. Maka jangan heran jika tiap tahun belanja pegawai semakin meningkat.
Ketiga, organisasi perangkat daerah. Gemuk tidaknya struktur birokrasi di daerah ditentukan oleh pemerintah. PP Nomor 41 Tahun 2007 mengatur tentang organisasi perangkat daerah yang dapat dibentuk di daerah. Dengan suatu perhitungan maka akan ketemu sebuah nilai yang menentukan berapa banyak dinas dan lembaga teknis yang ada di daerah. Besarnya nilai itu tergantung pada variabel tertentu yakni jumlah penduduk, luas wilayah, dan besar APBD.
Dengan terbentuknya organisasi perangkat daerah maka diperlukan sejumlah jabatan yakni jabatan struktural. Adanya jabatan struktural berkonsekuensi pada tunjangan jabatan. Antara organisasi dan jabatan struktural berbanding lurus, artinya semakin banyak organisasi maka semakin banyak pula jabatan struktural yang dilahirkan. Dengan demikian semakin besar pula tunjangan yang mesti dianggarkan.
Ketiga hal di atas, yakni rekrutmen, gaji, dan organisasi tidak akan begitu bermasalah apabila daerah memiliki anggaran yang memadai. Artinya meskipun tersedot untuk belanja pegawai tapi besarnya tidak sampai melebihi separuh APBD. Artinya pula anggaran selain untuk belanja pegawai dialokasikan lebih besar, misalnya untuk biaya pembangunan, pemeliharaan, bantuan sosial, dan lain-lain.
Tapi sebaliknya bila belanja pegawai menyedot APBD hingga separuh bahkan ada beberapa daerah yang lebih dari 70% maka ini memang kurang sehat. Masyarakat merasa dirugikan. Hal ini terjadi biasanya karena pemasukan daerah amat kecil. Padahal di sisi lain daerah tak kuasa menolak rekrutmen, gaji, dan organisasi yang digariskan oleh pemerintah (pusat).
Inilah yang membuat Kepala Daerah galau. Menolak, berarti ia harus berhadapan dengan pegawainya sendiri. Ditambah lagi ia juga mesti berhadapan dengan pemerintah (pusat). Jika Kepala Daerah yang berdemo menolak kebijakan kenaikan BBM saja ”dijewer” oleh pemerintah, apalagi jika menolak Peraturan Pemerintah. ”Jeweran” apalagi yang mesti diterimanya? Maka benarlah jika Kepala Daerah semakin berkunang-kunang.
7 komentar:
yang jelas bukan kesalahan masyarakat mas...
Kalau memang penyebabnya adalah kebijakan pemerintah kenapa hanya segelintir kabupaten yang mengalami defisit, fakta yang terjadi di Ngawi adalah: pertama permasalahan rekrutmen CPNS dari jalur honorer, ketika pada awal tahun 2006 selepas pendataan database honorer, kab. Ngawi terus menerima tenaga honorer dengan sistem kekerabatan dan kolusi serta berlangsung terus sampai akhir tahun 2011 dan honorer tersebut digaji oleh APBD sebesar UMR kabupaten setara dengan honorer yang telah masuk database dan para honorer selundupan tersebut banyak yang masuk dalam kategori K2, akibatnya walaupun Ngawi selalu melakukan rekrutmen CPNS bersamaan dengan kab lain tetap saja memiliki ribuan honorer yang belum terangkat dan pada awal tahun 2012 ngawi mem-PHK ribuan honorer yang belum masuk kategori K1 dan K2. Kedua: Permasalahan perijinan mendirikan usaha, pejabat di kab. Ngawi melakukan pungutan liar bagi para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya di wilayah Ngawi akibatnya para pengusaha enggan mengembangkan usahanya di wilayah ngawi. jadi sangatlah pas jika Ngawi mempunyai motto "RAMAH" (Rampok Berjamaah), saya setuju kalau kedepan Ngawi di likuidasi atau di marger dengan kab. lain agar rakyat ngawi lebih sejahtera dan tidak dibebani dengan pungutan-pungutan liar yang dilegalkan melalui perda.
Jangan berdalil dengan macam-macam alasan, jangan-jangan anda orang dalam...NB sedang mencari muka...masalahnya cuma satu di Ngawi masih tumbuh subur KKN..pelakunya siapa ?? Eksekutif dan Legislatif...
tulisan di atas tdk khusus menyoroti ngawi tp seluruh daerah di indonesia. sy jg tdk menyoroti defisit anggaran, yg sy soroti kenapa belanja pegawai bs lbh dari 50%. berdasar data dari fitra thn 2012 ada 291 daerah yg belanja pegawainya lbh dr 50%, sedang versi kemendagri ada 294.ini mending krn thn 2010 ada 340 dari 540 pemda. so, don't worry, not only ngawi kok hehehe...
saya rasa kalau ngawi sampai bangkrut kok aneh,, faktanya ngawi adalah kabupaten yg termasuk beruntung,,, menjadi tempat transitnya bus jogja,solo-surabaya,alamnya yang subur makmur,kalau menurut asumsi saya benahin dulu pemda DLL nya,KOLUSI,KEKERABAT, KORUPSI, PUNG-LI , HILANGKAN SECEPATNYA, kalau kabupaten kita isinya kayak gitu otomatis dan pasti masyarakatnya akan jadi manusia yg gak produktif. mungkin gak semua yg duduk di DPRD ngawi itu tukang korupsi. Pernah gak panjenegan2 sedoyo berpikir gimana ya caranya ngubah kabupaten kita tercinta ini jadi lebih maju, ya saya kaget waktu ngesearch di google tentang ngawi kok head line isinya NGAWI BANGKRUT,,, saya sendiri sudah tidak tercatat sbg warga ngawi karena kk dan ktp saya sudah pindah ktp DKI, tp saya selalu cinta ngawi, setiap setahun sekali saya pulang, rindu masa sd dan smp,, miris saya, tp saya tetep bangga punya NGAWI dan saya tetep bangga tempat tanggal lahir saya selalu tercantum di event2 mentereng yg pernah saya ikuti,,,
ngawi nek modele pejabat e jek iki kkn tok...wong masuk cpns aja di suruh byar 250 jta in bkn rhsia lgi tp umum..opneh i bupati dpt proyek mindahin pgawai yg ingin naik jbatan byar.ne bupati ne jek iki gak jamin ngwi mju bos.sya honorer 2005 yg tersingkir pdahal sk sya 1 januari 05 ditolak k1 gak masuk ws akal2neh kie ben ngawi bangkrut ben ra ngurus sg pnting urip.hore merdeka
Setuju
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya