Menulis Dalam Kesunyian

Jumat, 20 April 2012

Ada yang aneh malam hari ini. Saat rumah sunyi. Tiada suara riuh rendah anak-anak. Seperti ada yang hilang. Saya sedang menulis. Tapi rasa itu kembali muncul. Aneh. Terlalu sunyi. Sepi. Hening. Bukankah mestinya malah enak menulis dengan lancar. Dalam suasana yang sunyi. Tapi tetap saja ada yang aneh. Tak biasanya.

Ya, istri dan anak-anak sedang pulang kampung. Bapak mertua saya alias mbah-nya anak-anak sedang kangen dengan cucu-cucunya. Apalagi beliau juga sedang sakit. Akhirnya istri dan anak-anak pergi menengok. Karena saya masih ada pekerjaan hingga sore di kantor kami putuskan istri dan anak-anak berangkat duluan. Esok paginya saya akan menyusul.

Maka malam itu saya sendiri di rumah. Kesempatan, batin saya. Saya bisa menulis dengan tenang. Tapi ya itulah, rasa aneh datang menghampiri. Sepi. Seolah ada kekuatan yang menyumbat pikiran saya. Seolah ada energi yang menghentikan tangan saya. Padahal selama ini saya sering mengeluhkan (dalam hati) tingkah laku anak-anak saat saya sedang menulis. Yah inilah manusia. Dikasih A minta B, dikasih B minta C, dan seterusnya.

Saya memang suka menulis, dan saya putuskan untuk menjadi hobi. Hal ini pun pararel dengan hobi saya membaca. Seperti motor dengan bensin. Ada energi yang harus diisi. Membaca adalah bahan bakar untuk membuat tulisan.
 

Kemajuan teknologi yang luar biasa menjadikan hal yang dulunya hampir mustahil sekarang menjadi hal yang lazim. Contohnya tulisan. Kini hasil karya berupa tulisan bisa saya publikasikan kepada pembaca di seluruh dunia. Melalui blog. Gratisan lagi.

Maka saya bertambah semangat dalam menulis. Fasilitas pun sudah tersedia. Sudah ada laptop. Sudah ada jaringan internet di rumah. Lancar. Ide juga begitu banyakya di kepala. Tinggal merangkainya kata demi kata. Waktu yang tersisa adalah selepas kerja. Sore dan malam hari adalah waktu yang tersedia. Dengan tubuh yang telah letih. Tapi kalau sudah hobi, apa pun dengan senang hati dilaluinya.

Yang menjadi masalah ya saat di rumah itu. Mungkin tepatnya bukan masalah, tapi lebih ke tantangan. Tiga prajurit kecil terus saja ”menggangu” waktu saya dalam menulis. Tiga anak yang masih kecil, menggemaskan, dengan tingkah lakunya, sorak sorainya, teriak lengkingnya, tangis kerasnya.

Baru saja menghidupkan laptop, langsung saja dikeroyok. Yang satu minta main game, satunya minta nonton film, satunya minta dipangku. Hehehe...heboh deh. Istri sedang asyik masyuk masak di dapur coba-coba resep baru dari majalah. Lobi sana lobi sini, anak-anak pun mau beraktivitas lain. Menulis, menggambar, mewarnai, corat-coret tembok.

Baru menulis beberapa kalimat, pertengkaran terjadi antar prajurit. Biasanya pasti ada yang menangis. Rebutan mainan. Yah, namanya anak-anak. Turun tangan, perang dunia berakhir. Lanjutkan menulis. Baru ganti paragraf, si kecil ngompol. Hahaha... yah nasib nasib. Sudahlah nanti saja menulisnya, saat anak-anak telah tidur.

Malam semakin larut. Anak-anak telah tidur. Saat itulah waktu yang paling tepat untuk menulis menuangkan ide. Tapi, halah ... mata susah sekali diajak kompromi. Ngantuk berat. Istri pun telah berbaring. Melirik. Tersenyum. Penuh arti.

Maka saat malam sunyi seperti ini, betapa rindunya dengan suara riuh rendah anak-anak. Yah, ternyata anak-anak adalah energi kita. Seperti bacaan, anak-anak pun sejatinya juga bahan bakar.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)