Lima Peraturan Kepegawaian Yang Aneh

Kamis, 09 Februari 2012

Berikut ini ada lima peraturan di bidang kepegawaian berupa Peraturan Pemerintah yang aneh. Ada yang aneh karena beda isi dan prakteknya, berbenturan dengan peraturan lain, dan ada pula yang disikriminatif.

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Gaji Pokok PNS. Peraturan yang dibuat di jaman Presiden Soeharto ini belum pernah dicabut, yang ada hanya dirubah. Perubahan terletak pada batang tubuh (pasal) dan sebagian besarnya terjadi perubahan pada lampiran. Terhitung hingga sekarang telah mengalami perubahan sebanyak 13 kali, terakhir pada tahun 2011. Bahkan sejak tahun 2007 setiap tahun mengalami perubahan, akibatnya gaji PNS pun mengalami perubahan (baca: kenaikan). Perubahan yang lain terjadi pada tahun 1980, 1985, 1992, 1993, 1997, 2001, 2003, dan 2005.

Dalam peraturan ini, tunjangan anak diatur dalam Pasal 16. PNS yang mempunyai anak atau anak angkat yang berumur kurang dari 18 tahun, belum kawin, tidak mempunyai penghasilan sendiri, dan menjadi tanggungannya, diberikan tunjangan anak sebesar 2% dari gaji pokok untuk tiap anak (ayat 2). Tunjangan anak tersebut diberikan paling banyak untuk 3 orang anak termasuk 1 orang anak angkat (ayat 3).

Ketentuan tersebut memang mengalami perubahan, yakni dengan PP Nomor 13 Tahun 1980 (perubahan pertama). Namun perubahan itu tidak mengurangi jatah berapa anak yang berhak mendapatkan tunjangan. Artinya, tunjangan untuk anak itu masih tetap untuk maksimal 3 orang anak (termasuk anak angkat). Yang mengalami perubahan justru pada sampai usia berapa anak masih dapat tunjangan (awalnya 18 tahun bisa menjadi 25 tahun asalkan masih bersekolah). Sedangkan perubahan-perubahan berikutnya hanya pada lampiran PP, yakni mengubah besarnya gaji pokok sebagaimana tercantum dalam tabel gaji. Yang membingungkan dalam prakteknya PNS hanya menerima tunjangan untuk 2 anak saja. Sedangkan dasar hukumnya belum dirubah.

Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS. Dalam PP ini disebutkan bahwa PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun (BUP) diberhentikan dengan hormat (pensiun). BUP PNS adalah 56 tahun (Pasal 3). Namun BUP tersebut "dapat diperpanjang" bagi PNS yang memangku jabatan tertentu, misalnya Peneliti Madya sampai dengan 65 tahun, Dokter, Pengawas Sekolah, struktural Eselon II sampai dengan 60 tahun, dan Hakim pada Mahkamah Pelayaran sampai dengan 58 tahun (Pasal 4). Kenyataannya PNS yang BUP-nya "dapat diperpanjang" ada yang terjadi secara otomatis dan ada pula yang tidak.
 
"Dapat diperpanjang" yang terjadi secara otomatis dalam praktek/aplikasi/penerapan adalah dalam hal perpanjangan BUP PNS yang menduduki jabatan sebagai dokter dan pengawas sekolah, yakni otomatis pada usia 60 tahun. Namun anehnya perpanjangan BUP untuk eselon II yang diatur dalam pasal yang sama memerlukan proses (tidak otomatis terjadi). Jadi kata “dapat diperpanjang” dalam satu peraturan (bahkan dalam satu pasal dan satu ayat) pun berbeda dalam aplikasi.

Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perkawinan Bagi PNS. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa PNS wanita tidak diizinkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat (Pasal 4 ayat 2). Jika melanggar sanksinya pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS (pemecatan).

Tapi jika PNS laki-laki ingin menikah untuk kedua kali dan seterusnya tidak apa-apa asalkan ada izinnya. Kalaupun ia nekad menikah lagi meskipun tidak dizinkan sanksinya hanyalah salah satu hukuman disiplin tingkat berat. Jadi tidak langsung dipecat.

Aturan ini mendiskrimasi wanita. Padahal dalam ketentuan pengangkatan PNS yakni PP Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS jo PP Nomor 11 Tahun 2002 tidak ada larangan bagi mereka yang menjadi istri kedua/ketiga/keempat mendaftar dan diangkat menjadi CPNS. Tapi begitu PP Nomor 45 Tahun 1990 diterapkan, setelah ia diangkat menjadi CPNS/PNS harus dipecat. Tragis.

Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Disebutkan bahwa sejak berlakunya PP ini pejabat yang berwenang dilarang mengangkat tenaga honorer (Pasal 8). Padahal peraturan yang lebih tinggi tidak melarang pengangkatan tenaga honorer. UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian memberikan kesempatan pejabat yang berwenang untuk mengangkat tenaga honorer, dalam UU itu istilahnya pegawai tidak tetap (Pasal 2 ayat 3). Dalam hukum terkenal adagium lex superior derogat legi inferior, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Undang-undang jelas lebih tinggi kedudukannya daripada Peraturan Pemerintah.

Kelima, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi PNS. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Sekretaris Desa (Sekdes) yang memenuhi persyaratan diangkat langsung menjadi PNS (Pasal 2). Jadi Sekdes yang sebelumnya merupakan perangkat desa non PNS, dengan dasar PP ini diangkat langsung menjadi PNS. Padahal UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan (Pasal 202 ayat 3). Hal tersebut juga sejalan dengan aturan pelaksanaannya yakni PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, bahwa jabatan Sekdes diisi dari PNS yang memenuhi persyaratan (Pasal 25 ayat 1).

Jadi semangat UU tentang Pemda dan PP tentang Desa adalah mengisi jabatan Sekdes dari PNS yang memenuhi persyaratan, bukan dengan mengangkat Sekdes yang telah ada menjadi PNS. Ketentuan PP Nomor 45 Tahun 2007 membalik logika dari pengisian menjadi pengangkatan.

Oke deh, namanya juga peraturan bikinan manusia, tentunya tak pernah sempurna. Demikian pula tulisan saya, tak ada gading yang tak retak, belum tentu sempurna, belum tentu benar adanya. Sekian dan merdeka...!

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)