Ajining Raga Saka Busana

Kamis, 19 Januari 2012

Bahasa Jawa memang kaya akan ungkapan. Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana, misalnya. Kalimat pertama diartikan bahwa setiap orang itu dihargai dan dihormati karena lidahnya, dalam artian bisa menjaga tutur kata dengan senantiasa berbicara benar. Sedangkan kalimat kedua, ajining raga saka busana, diartikan bahwa setiap orang dihargai dan dihormati dari busana/pakaian/penampilan/atributnya.

Maka ketika ramai-ramai para honda galau memulai tugas di awal tahun saya ingat dengan ajining diri saka busana ini. Dan saya berusaha memahami kegalauan mereka. Galau karena diberhentikan sebagai honda. Galau karena statusnya dirubah menjadi maganger (kalau bekerja di instansi pemerintah dengan mendapat honor disebut honorer, maka kalau bekerja magang boleh dong disebut maganger). Galau karena harus rela tidak dibayar. Galau karena kontrak kerjanya cuma setahun. Galau karena tak boleh lagi bekerja dengan pakaian kebanggaan seperti selama ini, alias berbaju putih bercelana hitam.

Galau yang terakhir inilah yang tampaknya cocok dengan ajining raga saka busana. Bukan bermaksud untuk meyakini bahwa ketinggian ilmu atau kemuliaan budi ditentukan oleh jenis pakaiannya. Ini hanya untuk memberikan gambaran di tengah-tengah masyarakat yang masih terpukau dengan simbol. Maka tak heran banyak gadis dan orangtuanya tertipu dengan orang yang menyaru anggota polisi atau tentara hanya karena mengenakan seragamnya.

Apa yang ada di benak setelah bertahun-tahun mengenakan seragam selayaknya pegawai negeri, tapi kini dilarang. Minder, kata sebagian orang. Tak percaya diri, kata sebagian yang lain. Lho bukankah minder dan tak percaya diri sama saja tho?! Memang kok, cuma biar tulisannya agak panjang, :>

Benar kata orang, masyarakat kita masih percaya dengan simbol. Dengan busana pembalut tubuh. Bahkan melebihi kepercayaan atas isi dari kepala si pemilik tubuh itu. Maka bisa dipahami jika seorang dokter yang bekerja magang di puskesmas tidak dipercayai gara-gara pakaiannya putih hitam. Dikiranya bukan dokter. Orang takut disuntik, wong tak berseragam putih-putih layaknya dokter.

Perasaan sama mungkin sama menghinggapi maganger di kantor pemadam kebakaran. Apa mungkin bisa dengan seragam putih hitam memadamkan api yang berkobar. Bisa sih bisa, tapi ya itu tadi, masyarakat masih percaya dengan seragam. Hal yang sama barangkali menghinggapi pula para maganger yang dulunya bekerja di dinas perhubungan, dinas pasar, satpol pp, rumah sakit.

Larangan penggunaan seragam layaknya PNS selain untuk PNS itu sendiri diatur dalam peraturan daerah. Saya cari di internet belum ketemu. Tapi yang jelas secara nasional pengaturan seragam PNS Daerah diatur dalam Permendagri Nomor 60 Tahun 2007 jo Permendagri Nomor 53 Tahun 2009. Tidak ada klausul tentang seragam honda. Ya jelas saja, karena Permendagri itu hanya mengatur seragam PNS, sehingga satu pun tidak mengatur seragam honda. Tapi juga tidak ada larangan pemakaian seragam selain PNS.

Kalau memang pemerintah daerah melarang pemakaian seragam selain bagi PNS kenapa tidak total sekalian. Kepala desa telah diatur seragamnya dalam Permendagri Nomor 11 Tahun 2008. Namun perangkat desa selain kepala desa yang notabene bukan PNS, tetap mereka disuruh berseragam ala PNS. Bingung kan. Di Kabupaten Mojokerto, bupatinya mengakomodasi hal ini. PNS, honda, kepala desa, dan perangkat desa diatur seragamnya dalam peraturan bupati. Pakaian seragam untuk honda diatur sama dengan PNS.

Di daerah sini saya belum tahu. Memang akhirnya bupati mengambil jalan kompromi. Khusus untuk tenaga medis dan guru tetap menggunakan seragam seperti semula tapi tidak boleh memasang atribut sebagaimana seragam PNS. Kalau begitu sekalian saja semuanya dipersilakan  memakai seragam seperti semula, hanya saja atributnya dilepaskan. Eman-eman seragamnya tak terpakai lagi. Lalu bagaimana dengan maganger baru. Nah yang ini yang baru pakai baju putih hitam.

Tapi sebenarnya ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Masih butuhkah pemerintah daerah akan pegawai baru, sedangkan persediaan pegawai masih besar, terjadi ketimpangan, dan sorotan etos kerja yang rendah. Kalau tidak, berarti persoalan seragam telah selesai. Pekerjaan rumah selanjutnya adalah menyediakan lapangan kerja. Sebenarnya itulah kunci utama dan jalan keluarnya.

2 komentar:

budi bartim mengatakan...

seragam kadang membingungkan

Saipuddin mengatakan...

memang seharusnya pekerjaan rumah yang utama bagaimana pemerintah bisa menyediakan lapangan kerja.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)