Sikap sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang tetap menerima tenaga honorer hingga saat ini, membuat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi gerah. Yang lebih menjengkelkan, sejumlah instansi di pusat juga melakukan hal serupa. Mestinya, sejak 2005 tidak boleh lagi ada penerimaan tenaga honorer. "Saya tidak mengerti apakah aparatur di daerah dan pusat itu tidak tahu baca peraturan atau peraturannya kurang tegas," kata Deputi Menteri PAN&RB bidang SDM Aparatur, Ramli Naibaho kepada JPNN, kemarin (24/3). Kabag Humas Kementerian PAN&RB, FX Dandung Indratno menambahkan, meski pemda maupun pusat dilarang menerima honorer lagi terhitung 2005, namun fakta di lapangan tidak seperti itu. Baik pusat dan daerah masih menerima honorer sampai sekarang. Itu sebabnya jumlah honorer bukannya berkurang malah bertambah terus. Dikutip dari http://metronews.fajar.co.id
Aturan yang melarang pengangkatan tenaga honorer atau yang sejenis terdapat dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 yakni di Pasal 8. Dengan demikian semestinya sejak berlakunya PP itu yakni tanggal 11 Nopember 2005 para pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah tidak diperkenankan mengangkat lagi tenaga honorer. Lantas kenapa pada kenyataannya aturan tersebut seolah dianggap sebagai angin lalu saja.
Alasan pertama, larangan pengangkatan honorer tidak disertai sanksi bila ada pelanggaran. Sebagaimana kebiasaan sebagian orang Indonesia yang patuh dengan aturan karena takut dikenai hukuman, bukan karena kesadaran. Orang takut melanggar lampu lalu lintas karena ada polisi, bukan karena kesadaran yang hal itu akan membahayakan jiwa, misalnya. Hal ini tampaknya menghinggapi pula penyelengaraan pemerintahan, hampir di semua level. Maka jangan heran, ketika sebuah larangan tidak disertai dengan sanksi, mudah ditebak akan dilanggar.
Alasan kedua, tumpang tindihnya kebijakan pemerintah sendiri. Kadang-kadang pemerintah pusat melalui kementeriannya mempunyai program yang harus dilaksanakan di daerah. Daerah sebenarnya turut diuntungkan karena manfaatnya bisa dinikmati langsung oleh rakyat daerah. Dana yang tersedia pun diberikan oleh pusat kepada daerah. Namun keterbatasan PNS daerah untuk mengelola program ini membuat daerah mau tak mau mengangkat pegawai non PNS. Tak peduli dengan larangan, toh manfaatnya dirasakan rakyat daerah, apalagi tidak membebani keuangan daerah.
Alasan ketiga dan ini yang paling mendasar, peraturan yang lebih tinggi tidak melarang pengangkatan tenaga honorer. UU Nomor 43 Tahun 1999 memberikan kesempatan pejabat yang berwenang untuk mengangkat tenaga honorer, dalam UU itu istilahnya pegawai tidak tetap (Pasal 2 ayat 3). Dalam hukum terkenal adagium lex superior derogat legi inferior, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Undang-undang jelas lebih tinggi kedudukannya daripada Peraturan Pemerintah.
Kesimpulannya, tak usahlah menyalahkan instansi-instansi yang terus saja ’membangkang’ menambah tenaga honorer jika pemerintah sendiri memberikan peluang untuk itu. Dan toh kenyatannya pemerintah pusat sendiri (melalui berbagai instansi dan kementeriannya) yang memberikan contoh ’pembangkangan’ itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Sikap sejumlah Pembina Kepegawaian pemerintah daerah (pemda) di Seluruh Indonesia, yang masih tetap menerima dan menggunakan tenaga honorer hingga saat ini, karena Peraturannya tidak disertai sanksi Hukum Pidana dan Administrasi bila ada pelanggaran.
Di dalam RUU ASN yang telah disahkan pada tanggal 19 Desember 2013, ditegaskan bahwa UU No 8 Th 1974 dan UU Nomor 43 Tahun 1999 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Sedangkan menurut PP No 56 th 2012, setelah Honorer K2, maka sudah tidak ada lagi pengangkatan tenaga Honorer di lingkungan Kerja Pemerintah, oleh karena itu, kita tunggu saja sanksi apa yang akan diberikan terhadap para pejabat Pemerintah yang masih nekat mengangkat tenaga Honorer per 01 januari 2014.
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya