Kompromi Dirumahkannya Honorer

Selasa, 10 Januari 2012

Di daerah saya semenjak adanya surat edaran sekda (Sekretaris Daerah) yang terbit akhir tahun lalu, maka tak ada lagi yang namanya tenaga honorer daerah (honda). Banyak orang mengistilahkan dengan sebutan 'dirumahkan'. Awalnya saya kira arti dari 'dirumahkan' itu adalah para honda akan diberi rumah oleh pemerintah. Yup enak sekali dong, saya saja harus hutang baru bisa punya rumah. Tapi ternyata arti 'dirumahan' itu adalah dikembalikannya honda ke rumah masing-masing alias tidak diperkenankan bekerja di instansi pemerintah. Bahasa lainnya adalah diberhentikan, diputus kontraknya, dan di-PHK.

Edaran tersebut merupakan tindak lanjut peraturan pemerintah yang melarang adanya pengangkatan honda sejak enam tahun lalu. Selama masa pelarangan tersebut ternyata mayoritas (kepala) instansi melanggarnya. Akibatnya, meskipun di atas kertas dilarang namun kenyataannya muncul ribuan honda. Dan kenyataan pula tidak ada tindakan baik teguran maupun sanksi atas pembangkangan ini.

Isi edaran antara lain bahwa mulai akhir tahun 2011 sudah tidak ada lagi honda. Apabila ada masyarakat yang ingin mencari pengalaman kerja di instansi pemerintah maka disyaratkan untuk mengajukan lamaran dilampiri ijazah dan surat bebas narkoba. Bagi yang diterima pun tidak lagi menyandang sebagai honda namun tenaga magang atau wiyata bhakti. Masa magang itu selama satu tahun tanpa ada perpanjangan. Di akhir magang ia akan diberi surat keterangan pengalaman kerja, yang mungkin bisa berguna untuk melamar pekerjaan di tempat lain. Satu lagi perubahan mendasar dalam sistem ini adalah tidak adanya pemberian honor.

Edaran itu menurut saya sebagai bentuk kompromi. Apa komprominya. Ini analisis (prematur) saya.

Pertama, surat edaran dikeluarkan oleh Sekretaris Daerah, jabatan karier tertinggi PNS di daerah, bukan oleh Bupati, jabatan politik tertinggi di kabupaten. Padahal bupati pun sebenarnya berwenang. Kenapa? Sebagai jabatan politik maka segala sikap, tindakan, keputusan, dan sebagainya dilatarbelakangi kalkulasi politik. Dampak perumahan honda ini luar biasa dengan melibatkan sejumlah massa yang besar, terdiri dari honda itu sendiri, keluarga, dan kerabatnya. Politik berhubungan dengan kekuasaaan. Dalam demokrasi kekuasaan diraih dengan pemilihan. Dan kemenangan pemilihan diraih dengan mayoritas suara. Dengan meminjam tangan Sekda maka kemarahan honda langsung kepada bupati pun bisa diminimalkan.

Kedua, sebagaimana disinggung di muka, bahwa sebenarnya sejak tahun 2005, tepatnya sejak terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 November 2005 telah ada larangan mengangkat honorer. Beberapa kali bupati (baca: bupati era sebelumnya) mengedarkan surat larangan pengangkatan honda yang ditujukan  kepada seluruh kepala instansi. Namun nyatanya ribuan honda telah diangkat meskipun tidak oleh bupati sendiri, yakni terutama oleh kepala sekolah. Dengan kata lain secara resmi pemda tidak mengakui honda, namun kenyataannya honda memang ada. Maka komprominya, keberadaan honda tidak dihilangkan begitu saja namun diganti dengan istilah magang yang tidak dibayar.

Ketiga, adanya kebijakan ini sebenarnya membawa sisi kebaikan dilihat dari mata masyarakat awam, terutama yang selama ini tertutup aksesnya terhadap informasi pemerintah. Kalau boleh menilai, rekrutmen honda yang jamak terjadi saat ini tidak jelas sama sekali. Tidak ada kualifikasi, tidak ada pengumuman terbuka untuk khalayak, tidak ada seleksi atau tes masuk, namun tahu-tahu telah terekrut. Dengan demikian adanya kebijakan magang ini memberi kesempatan yang sama kepada masyarakat untuk mencari pengalaman kerja. Jelas, meskipun tidak ada bayarannya, pengalaman kerja membawa manfaat terutama bagi sarjana-sarjana yang baru lulus kuliah. Akhirnya mimpi bekerja di instansi pemerintah tidak hanya melulu menjadi domain anak-anak pejabat, orang kaya, dan tim sukses yang berjasa dalam pilkada. Memang ini dari kacamata orang non honda, kalau dari kacamata honda tentu saja akan lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)