Janji Pemimpin

Selasa, 20 Desember 2011

Sabda Pandhita Ratu, demikian ungkapan Bahasa Jawa yang artinya kata-kata raja adalah hukum. Apa yang dikatakan oleh sang raja, maka itulah undang-undang yang harus dipatuhi oleh semua rakyatnya.

Jaman telah berubah. Era kerajaan telah berakhir. Adanya raja sekedar simbol. Namun begitu falsafah peninggalan nenek moyang tak lekang digerus masa. Demikianlah, saya baca di media massa pernyataan (kata Pak Beye Presiden yang suka Inggris gado-gado, statement) bupati yang memerintah daerah saya, bahwa beliau tak akan memperpanjang pensiun para pejabat eselon II di jajaraannya. Sebagaimana raja, ucapan itu merupakan sebuah janji sekaligus ”undang-undang” yang mesti ditegakkan.

Ada yang menarik? Tentu. Tapi pendapat saya ini saya akui terlalu prematur. Tapi biarlah sekedar meramaikan opini yang terlanjur berkembang di dunia tutur. Saya mengembangkannya di dunia tulis. Tak ayal perpanjangan pensiun pejabat eselon merupakan salah satu balas budi pemimpin yang telah memenangkan pemilihan kepala daerah. Lumayanlah, paling tidak dapat perpanjangan satu tahun. Kalikan saja jika tunjangan jabatan tiap bulan sebesar Rp 2.025.000,00 serta fasilitas lain. Syukur-syukur kalau 2 tahun atau lebih hingga usia 60 tahun. Aturan memang tak melarang.

Maka jika pak bupati yang terhormat memutuskan men-stop perpanjangan pensiun pejabat, terus terang pikiran saya pertama kali bukannya salut tapi khawatir. Khawatir kalau beliau lupa dan alpa. Saya malah teringat dengan pernyataan yang sama yang dilontarkan bupati era sebelumnya. Bupati era sebelumnya sama persis melontarkan pernyataan ini. Tak tanggung-tanggung, saya bersama ratusan pegawai mendengarkannya langsung saat apel pembinaan staf. Jadi tak sekedar mampir dulu di tape recorder wartawan yang mungkin bisa membuat isi beritanya bias.

Janji tinggal janji. Belum kering bibir berucap, bupati era sebelumnya memperpanjang pensiun beberapa pejabat eselon. Pada saat yang sama, waktu itu menjelang pemilihan kepala daerah yang mana putranya sendiri maju sebagai calon wakil bupati. Sulit untuk tidak menghubungkannya.

Jika saat ini saya mengungkit-ungkit hal ini bukan berarti saya menagih janji. Bukanlah kapasistas saya. Saya bukanlah konstituen partai politik. Saya bukan peserta kampanye pemilu. Dan yang pasti saya tidak punya kepentingan sama sekali. Saya bukanlah pejabat eselon II. Bahkan eselon paling rendah sekalipun saya belum menyandangnya.

Jujur saya tidak memilih bupati yang saat ini terpilih dalam pemilu. Bukan apa-apa, karena saya tidak mendapatkan undangan untuk memilih meskipun KTP saya telah berpindah di sini. Aneh memang, baru kali itulah saya tak diperbolehkan memilih, padahal sudah berkali-kali memilih semenjak pemilu tahun 1997 untuk pertama kalinya ikut memilih.

Saya tahu saat ini ada beberapa pejabat eselon II yang telah menjelang pensiun. Dan saya menduga mereka masih berharap untuk mendapatkan perpanjangan. Atau berharap bapak bupati yang terhormat sama seperti bupati era sebelumnya yang lupa akan janjinya. Tapi rakyat masih berharap akan keteguhan janji meskipun sebenarnya itu tak ada kaitan langsung dengan kepentingan mereka. Saya pun juga berpikir seperti itu. Ada tidaknya perpanjangan, tak terlalu soal. Mudah-mudahan kami masih bisa makan, hidup aman, bekerja tenang, dan anak-anak sekolah dengan riang.

Tapi janji tetaplah utang, meskipun rakyat tak pernah menawarkannya. Adakah yang lebih baik dibandingkan dengan rakyat yang tulus ikhlas mendoakan pemimpinnya supaya bekerja sebaik-baiknya. Serta mengingatkannya supaya tidak lupa. Doa kami untukmu...semoga keberkahan menaungi bumi ini, Amin...

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)