Perlunya Alternatif Rekrutmen Jabatan

Rabu, 08 Mei 2013


UU Kepegawaian meyatakan bahwa pembinaan PNS dilakukan dengan berdasarkan pada perpaduan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang bagi PNS yang berprestasi tinggi untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan berkompetisi secara sehat. Dengan demikian pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan pada sistem prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap prestasi, kompetensi, dan pelatihan PNS.

Kompetensi jabatan merupakan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS sebagai calon pejabat yang akan dipromosikan untuk menduduki jabatan struktural tertentu berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Hal tersebut dimaksudkan agar para pejabat struktural dapat melaksanakan tugas secara profesional, efisien, dan efektif.
Namun sistem yang telah diatur dalam peraturan perundangan tersebut dalam pelaksanaannya di daerah belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Meskipun kompetensi jabatan tetap menjadi hal yang masih dipertimbangkan sebagai persyaratan bagi calon pejabat struktural, namun ternyata pertimbangan-pertimbangan seperti kesamaan bahasa, adat istiadat, dan kesamaan agama tetap menjadi hal yang paling penting dalam pengangkatan pejabat struktural pada birokrasi.
Fenomena seperti itu diceritakan oleh Singal (2008) yang mengangkat kasus sebuah provinsi di Sulawesi. Dalam pengangkatan pejabat struktural, komitmen bahwa jabatan-jabatan tertentu merupakan milik atau tempat bagi pejabat yang berasal dari etnis tertentu masih sangat dirasakan. Perangkat kepegawaian daerah baik Baperjakat maupun BKD tidak dapat berbuat banyak ketika Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah menentukan calon yang dipilihnya sendiri, meskipun calon tersebut tidak memenuhi persyaratan yuridis formal. Hal yang harus dikerjakan oleh perangkat kepegawaian daerah adalah mencari celah dalam aturan formal, sehingga apa yang menjadi keinginan Pejabat Pembina Kepegawaian menjadi bukan sebuah pelanggaran atau penyimpangan dalam aturan kepegawaian.

Eksekusi Susno dan Jiwa Korsa Institusi

Minggu, 05 Mei 2013


Mantan Kabareskrim Susno Duadji kembali membuat berita. Susno merupakan jenderal polisi yang terlibat kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar 2008. Dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia divonis hukuman penjara tiga tahun dan enam bulan. Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi Susno. Meski demikian, Susno menyatakan dirinya tidak dapat dieksekusi dengan alasan ketiadaan pencantuman perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Susno berkilah, MA hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dan membebankan biaya perkara Rp 2.500.
Setelah tiga kali mengabaikan panggilan eksekusi dari kejaksaan, maka pada 24 Maret 2013 ia membuat tindakan yang lebih spektakuler, yakni menggagalkan upaya paksa eksekusi atas dirinya. Tanpa sungkan, ia meminta perlindungan Polda Jawa Barat agar jaksa tidak bisa mengeksekusinya. Atas permintaan itu Polda Jabar pun mengirimkan sepasukan polisi ke rumah Susno. Alhasil, lagi-lagi kejaksaan pulang dengan sia-sia.

Polisi Pengayom Masyarakat
Yang menarik dari kasus di atas adalah keterlibatan polisi dalam melindungi orang yang akan dieksekusi oleh kejaksaan setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian orang tersebut telah berstatus terpidana. Lebih khusus lagi Susno merupakan terpidana kasus korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang menjadi perhatian besar masyarakat agar segera dituntaskan. Tentu saja, tindakan polisi yang melindungi terpidana kasus korupsi menjadi bahan perbincangan menarik.

Kapolda Jabar membantah bahwa perlindungan tersebut sebagai upaya menghalangi penegakan hukum. Menjadi kewajiban kepolisian untuk memberikan perlindungan bila ada warga negara yang meminta perlindungan tersebut, demikian Kapolda Jabar. Hal ini tentu saja menjadi sangat aneh. Memang benar, tugas kepolisian adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, namun jangan dilupakan bahwa kepolisian memiliki tugas pula untuk menegakkan hukum. Membantu aparat hukum lain dalam menegakkan hukum semestinya menjadi prioritas kepolisian daripada melindungi terpidana.

Kesan tentang Analisis Isi

Kamis, 02 Mei 2013

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya masih mahasiswa S1 tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi. Kebetulan saya memiliki seorang teman yang berasal dari jurusan ilmu komunikasi pada kampus yang sama dengan saya. Ia juga sedang melakukan tugas menyelesaikan skripsi. Saya tidak sempat bertanya metode apa yang ia gunakan. Yang saya tahu ia meneliti berita-berita yang muncul pada beberapa surat kabar (seingat saya waktu itu adalah Radar Yogya dan Bernas). Sepintas yang saya baca, ia mengukur frekuensi pemberitaan suatu peristiwa di masing-masing media tersebut, kemudian dibandingkan.

Kemudian sepuluh tahun berselang, ketika saya mendapatkan kesempatan beasiswa melanjutkan studi S2 di kampus almamater (tapi beda jurusan, S1 saya di Fakultas Hukum, kini di S2 Fisipol/MAP UGM) saya mendapatkan kuliah Metode Penelitian Administrasi. Salah satu yang diajarkan dalam kuliah ini adalah Analisis Isi. Saat itulah saya merasa, barangkali apa yang dikerjakan oleh teman saya dulu itu adalah melakukan penelitian dengan metode analisis isi.

Saya jadi teringat pernah memiliki buku tentang hasil penelitian berdasarkan analisis isi. Benar saja, setelah dicari-cari ketemulah buku itu,”Pers, Negara, dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada Masa Orde Baru” karya May Lan. Karya ini awalnya tesis yang kemudian dijadikan buku. Benar saja, penelitian pada tesis tersebut menggunakan analis isi, yakni berita-berita tentang perempuan yang termuat di dua media massa yaitu Jawa Pos dan Kompas selama bulan Juli 1996 hingga Juni 1998.

Jujur, penjelasan dosen tentang analisis isi bagi saya merupakan sesuatu yang baru di bangku perkuliahan, namun sekaligus mencerahkan. Analisis isi tidak sekadar menghitung frekuensi keluarnya berita atau munculnya kata-kata tertentu dalam media, namun juga mencoba memahami apa maksud di balik bunyi maupun teks berita.

Modal Sosial dalam Rukun Tetangga (Bagian Kedua)

Senin, 29 April 2013

Kerja Bhakti
Kerja bhakti meskipun tidak terjadwal rutin namun sering dilakukan oleh warga. Kegiatan ini lebih bersifat fisik sehingga terutama membutuhkan pelibatan bapak-bapak. Sedangkan ibu-ibu berkontribusi dengan menyediakan konsumsi. Masalah pembangunan dan kebersihan lingkungan biasanya menjadi alasan dilaksanakan kerja bhakti, misalnya pembersihan selokan, pembersihan tanah kosong yang tidak diurus pemiliknya, pemangkasan ranting pohon di pinggir jalan, pembuatan gapura, pemasangan lampu penerangan jalan, dan lain-lain.
Kerja bhakti juga sering dilakukan dalam lingkup yang lebih luas, yakni melibatkan seluruh warga di perumahan yang dikoordinasikan oleh RW. Misalnya perbaikan gapura masuk perumahan, pembersihan sampah sekitar jalan masuk menuju perumahan, pembangunan lapangan olahraga, renovasi masjid, dan lain-lain.
Sebagai perumahan yang relatif baru didirikan, banyak sekali fasilitas umum dan fasilitas khusus yang perlu dibangun. Namun sayangnya pihak pengembang perumahan kurang memiliki kepedulian. Misalnya untuk sarana peribadatan (masjid), pengembang hanya memberikan satu kapling tanah, sedangkan bangunannya diserahkan kepada warga. Akhirnya warga secara patungan mengumpulkan dana untuk membangun masjid. Demikian juga sarana olahraga yang tidak disediakan. Warga juga secara patungan membeli tanah milik peduduk sekitar perumahan dan membangun lapangan voli. Memang, pada umumnya kepedulian warga untuk kepentingan umum sangat tinggi. 
Budaya sambatan seperti disinggung di awal ternyata pernah dipraktekkan oleh warga. Hal ini cukup unik karena warga tinggal di wilayah perkotaan, apalagi perumahan. Hanya saja budaya sambatan dimaksudkan untuk membantu warga yang secara ekonomis tidak mampu dan sudah berusia lanjut. Warga secara bergotong royong membangun rumah di lahan sebelah masjid (yang sudah dibeli oleh warga secara patungan dari pengembang untuk keperluan masjid) untuk tempat tinggal sepasang suami istri yang sudah tua. Sekaligus pula warga membangun warung sederhana di salah satu tanah kapling sebagai sarana berjualan mereka berdua.

Modal Sosial dalam Rukun Tetangga (Bagian Pertama)

Jumat, 26 April 2013


Rukun Tetangga (RT) merupakan sebuah institusi yang unik, yakni sebagai institusi formal sekaligus sebagai institusi warga. Dikatakan institusi formal karena dibentuk oleh pemerintah atau meskipun dibuat oleh warga sendiri namun memerlukan pengakuan (pengesahan) pemerintah. Di sisi lain RT merupakan institusi warga di tingkat lokal sebagai jembatan yang menghubungkan antara warga dengan pemerintah agar terjalin komunikasi yang timbal balik. Kepengurusan RT lebih bersifat sosial karena tanpa gaji atau honor, bahkan seringkali menjadi “ujung tombak” dan “ujung tombok”. 

Dalam tulisan ini gambaran RT sebagai basis sosial ditampilkan dalam komunitas RT 02 RW 13 Perumahan Bumi Karangasri, Dusun Sooko, Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi. Yang menarik dari RT ini adalah umurnya yang relatif masih muda, warganya heterogen, serta lahir bukan karena intervensi pemerintah desa melainkan kesadaran sendiri akan pentingnya kehadiran sebuah ikatan warga yang tetap. 

Perumahan Bumi Karangasri, sesuai namanya terletak di Desa Karangasri, Kecamatan Ngawi, sebelah timur laut kota Ngawi. Lokasinya dekat dengan jalan raya Ngawi-Bojonegoro, namun dari jalan raya masih masuk ke dalam kurang dari setengah kilometer, melewati persawahan dan kebun tebu. Karena letaknya yang jauh dari jalan raya itulah banyak yang tidak mengira jika di dalamnya terdapat sebuah perumahan.

Awalnya perumahan dibangun sekitar tahun 2000, tapi perkembangannya tidak begitu cepat. Lokasinya yang dikelilingi oleh persawahan, jauh dari akses jalan raya, dan belum terpasangnya jaringan telepon menjadi faktor penyebabnya. Namun, seusai banjir besar yang melanda Kabupaten Ngawi di akhir tahun 2007, banyak orang yang berminat tinggal (baik karena membeli ataupun mengontrak) di Perumahan Bumi Karangasri, karena termasuk kawasan yang aman dari bencana banjir. Maka sejak itulah pembangunan rumah menjadi meningkat. Lahan yang semula kosong dan berupa tanah lapangan berisi ilalang kini terisi penuh dengan rumah. Apalagi pihak pengembang bekerjasama dengan Asabri sehingga memudahkan para anggota TNI dan Polri (yang asramanya terendam banjir) untuk melakukan proses biaya pembangunan.

Modal Sosial Bangsa Kita

Selasa, 23 April 2013

Bangsa Indonesia memiliki tradisi asli yang diturunkan sejak nenek moyang, yakni gotong royong dan musyawarah. Dengan tradisi ini bangsa Indonesia mengembangkan kehidupannya dalam nuansa kolektivitas (kebersamaan) dan harmoni (damai dalam keanekaragaman). Untuk menyebut contoh gotong royong, dalam kebiasaan masyarakat Jawa ada tradisi sambatan. Jika ada warga yang hendak membangun rumah, maka biasanya para tetangga akan membantu dan terlibat dalam pembangunan. Biasanya tidak ada bayaran bagi tetangga yang membantu, namun tuan rumah akan menyediakan keperluan makan bagi mereka.
   
Selain tradisi gotong rotong royong, tradisi musyawarah memiliki akar kuat dalam masyarakat Indonesia. Musyawarah, bahkan dimasukkan dalam sila keempat Dasar Negara Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam kehidupan masyarakat, terutama di desa, musyawarah (melalui mekanisme rembug desa) dijadikan arena pemecahan permasalahan bersama. Inilah sejatinya nilai demokrasi asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak dahulu kala. Pengalaman penulis saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) tahun 2003 di Desa Barukan, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten, setiap malam Jumat masing-masing RT di desa tersebut mengadakan forum bersama membahas permasalahan lingkungan, mulai pembangunan jalan makadam, rencana panen, kerja bhakti, dan lain-lain. Semua laki-laki dewasa pasti hadir di situ. Ini berbeda dengan wilayah kota yang biasanya pertemuan RT dilaksanakan setiap bulan sekali, yang kadang-kadang pesertanya minim.
   
Seiring perkembangan jaman, tradisi gotong royong dan musyawarah mulai tergerus. Munculnya konflik sosial bisa jadi karena mulai lunturnya tradisi musyawarah. Kehidupan harmoni untuk menciptakan kedamaian di tengah keragaman, dirusak oleh perilaku yang hanya mementingkan kepentingan individu dan kelompoknya belaka. Disintegrasi sosial yang terjadi dalam masyarakat akan mengurangi bahkan menyebabkan kemerosotan modal sosial yang telah lama hadir dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal itu karena, pada dasarnya, nilai-nilai seperti kepercayaan, kerja sama, solidaritas, toleransi, kebersamaan, kemitraan, gotong royong, dan musyawarah adalah bagian dari modal sosial yang ada dalam masyarakat Indonesia.   
   
Gotong royong sebagai bentuk resiprositas mengalami perubahan yaitu mengarah pada semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam melakukan praktek gotong royong dan berkurangnya jenis-jenis gotong royong dalam masyarakat. Salah satu penyebab berkurangnya praktek gotong royong adalah semakin besarnya pengaruh ekonomi uang. Ketergantungan masyarakat pada uang untuk memenuhi kebutuhan harian menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang (Kutanegara, 2006: 201).

Pengadaan CPNS, Antara Demokrasi dan Meritokrasi

Sabtu, 20 April 2013

Setiap organisasi, termasuk organisasi pemerintah memerlukan proses rekrutmen. Setiap saat pegawai dalam organisasi menjadi berkurang sehingga diperlukan penambahan agar aktivitas organisasi tetap berjalan. Selain itu adanya perkembangan organisasi juga turut mempengaruhi kebutuhan akan pegawai. Tulisan ini mendiskusikan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau pengadaan CPNS (terminologi yang digunakan oleh Peraturan Pemerintah) yang berasal dari tenaga honorer. Selain rekrutmen yang dilaksanakan secara umum, pemerintah sejak tahun 2005 mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS. Landasan hukum yang dipakai adalah PP Nomor 48 Tahun 2005.

Menurut Sulistiyani (2003: 134) rekrutmen adalah proses mencari, menemukan, dan menarik para pelamar untuk menjadi pegawai pada dan oleh organisasi tertentu. Selanjutnya rekrutmen juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Diselenggarakannya rekrutmen mengemban keinginan-keinginan tertentu yang harus dipenuhi, supaya organisasi dapat eksis. Menurut SP Siagian sebagaimana dikutip oleh Sulistiyani (2003: 135), diadakannya rekrutmen adalah untuk mendapatkan persediaan sebanyak mungkin calon-calon pelamar sehingga organisasi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk melakukan pilihan terhadap calon pegawai yang dianggap memenuhi standar kualifikasi organisasi.


Menurut Sulistyo (2010: 84-85) rekrutmen PNS merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang tepat. Kegiatan rekrutmen mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi. Berawal dari sub sistem inilah baik buruknya organisasi organisasi ditentukan, apakah akan menjadi organisasi yang maju atau justru akan tenggelam. Sistem rekrutmen yang berkualitas menjamin organisasi memperoleh pegawai yang kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga pengelolaan pegawai ke depan akan lebih baik. Namun sebaliknya jika rekrutmen dilakukan secara sembarangan maka sesungguhnya organisasi melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap investasi pegawainya. Hal ini akan berakibat pada sulitnya dalam pengembangan pegawai, penerapan sistem karir, pemberian reward yang memadai bagi pegawai, dan lain sebagainya.

    
Pola rekrutmen yang terjadi di birokrasi Indonesia selama ini tidak berpedoman kepada analisis kebutuhan. Di lingkungan birokrasi publik belum ada perencanaan kebutuhan pegawai yang matang, kebijakan rekrutmen bersifat inkremental saja, dengan demikian rekrutmen dari tahun ke tahun tidak dapat dikendalikan, berlangsung secara parsial. Proses rekrutmen yang kurang terencana ini dapat menghasilkan para pegawai yang kurang memenuhi standar kualifikasi minimal (Yuliani, 2004: 155).

Teori Penelitian Analisis Isi

Rabu, 17 April 2013

Definisi   
Menurut Krippendorff (1991: 15; dalam Retnoningsih, 2012: 35) analisis isi adalah suatu teknik untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (repicable) dan sahih, dengan memperhatikan konteksnya. Model analisis isi bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana pesan itu disampaikan hingga bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv). Tujuannya adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang fenomena yang diteliti.
  
Lan (2002: 42-43) menyebutkan bahwa teknik penelitian yang menggunakan analisis isi berangkat dari tiga sifat yang melekat padanya yakni objektif, sistematis, dan generalitas. Sifat objektif pada teknik analisis isi menyiratkan adanya kesamaan hasil yang akan diperoleh apabila penelitian ini dilakukan oleh orang lain. Sistematis merupakan sifat yang menandai bahwa kategorisasi yang ada dalam penelitian ini mengikuti aturan yang telah ditetapkan secara konsisten. Persyaratan semacam ini menjamin penyeleksian dan pengkodingan data tidak mengalami bias. Sedangkan sifat generalitas dari teknik analisis isi ini mengarahkan bahwa hasil temuan dalam penelitian harus memiliki relevansi teoritis.
  
Dengan demikian dapat disederhanakan bahwa analisis isi adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi yang terdokumentasi misalnya dalam bentuk buku, surat kabar, peraturan, rekaman, film, manuskrip, dan lain-lain.
 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)