Negara Muslim, GKI Yasmin, dan Toleransi

Sabtu, 07 Juli 2012

Pada tanggal 5 Juni 2012 opini mantan Ketua PB NU, KH Hasyim Muzadi yang berjudul “Tudingan Intoleransi Beragama” dimuat oleh Sindo. Selanjutnya Victor Silaen, dosen FISIP Universitas Pelita Harapan mengritik dalam opininya yang berjudul “Pidato Muzadi dan Toleransi Beragama” yang dimuat Sinar Harapan pada tanggal 20 Juni 2012. Pangkal kritiknya mengenai istilah negara muslim, permasalahan GKI Yasmin yang sengaja dipelihara, dan toleransi beragama di Indonesia. Tulisan di bawah berupaya menanggapi kritikan Victor.

Negara Muslim
Indonesia adalah negara muslim artinya negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Dalam kenyataannya di antara agama yang diakui dan hidup di negara ini, agama Islam-lah yang dianut oleh sebagian besar penduduk. Negara muslim berbeda dengan negara Islam. Negara Islam diartikan sebagai negara yang berdasarkan pada ajaran agama Islam (syariat Islam). Dengan demikian Islam itu merujuk pada ajaran, sedangkan muslim merujuk pada penganut.

Masalah istilah memang terbuka lebar untuk diperdebatkan, namun secara umum penyebutan negara muslim sering diungkapkan untuk menggambarkan kondisi umat Islam di Indonesia. Ini mirip dengan penyebutan negara agraris yang menggambarkan negara dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Atau negara bahari untuk menggambarkan negara yang wilayah lautnya lebih luas daripada daratan.

Indonesia memang bukan negara Islam, meskipun sebagian penganutnya menginginkannya. Atas dasar toleransi, umat Islam mengikhlaskan landasan negara dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bingkai Pancasila, bukan pada salah satu ajaran agama. Meskipun negara muslim, bukan berarti negara Indonesia hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim saja. Toh, warga yang beragama lain pun mendapatkan kebebasan menjalankan ibadan sesuai dengan keyakinan masing-masing.


Negara muslim merupakan kenyataan yang sulit untuk diingkari, sehingga aneh kalau ada yang mengatakan sebagai keabsurdan. Sesuatu yang aneh pula untuk melarang menyebut Indonesia sebagai negara muslim. Lepas dari berbagai kekurangan umat Islam, penyebutan negara muslim merupakan kebanggaan tersendiri tatkala bersanding dengan negara-negara lain di muka bumi ini. Bukankah mengakui kenyataan yang ada adalah sikap yang bijaksana. Kecuali, bila ada benih-benih intoleran pada pribadi yang tak mau melihat kenyataan.

Pemeliharaan Kasus GKI Yasmin
GKI Yasmin dan Ahmadiyah menjadi kasus yang sering disebut sebagai kondisi intoleransi umat beragama di Indonesia. Intoleransi menjadi salah satu perhatian dalam sidang Komisi HAM PBB. Selaku presiden World Conference on Religions for Peace (WCRP) dan sekjen International Conference of Islamic Scolars (ICIS), KH Hasyim Muzadi sangat menyayangkan tuduhan intoleransi beragama di Indonesia yang diungkapkan peserta sidang PBB di Jenewa, Swiss. Beliau meyakini, pembahasan di forum dunia itu pasti berdasarkan laporan pihak-pihak tertentu dari dalam negeri Indonesia sendiri. (Sindo, 5 Juni 2012).

Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia. Kasus GKI Yasmin Bogor juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia intoleran dalam beragama, malah beliau berpandangan mereka yang terkait dengan persoalan tersebut tidak ingin masalahnya segera selesai. Ada pihak-pihak yang lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia daripada masalahnya selesai.

Masalah GKI Yasmin muncul akibat pendirian gereja yang ditolak oleh masyarakat sekitar, yang kebetulan mayoritas muslim. GKI Yasmin sempat mendapatkan IMB namun kemudian dibekukan setelah ada indikasi pemalsuan tandatangan masyarakat. Kasusnya berlanjut ke ranah hukum di mana MA memerintahkan kepada Walikota Bogor untuk membatalkan keputusan Kepala Dinas Tata Ruang dan Pertamanan mengenai pembekuan IMB pendirian GKI Yasmin. Pembekuan IMB dinilai bukanlah kewenangan Kepala Dinas namun kewenangan Walikota. Walikota pun mematuhi dengan membatalkan keputusan tersebut. Selanjutnya Walikota sendiri yang membatalkan IMB GKI Yasmin. (kotabogor.go.id).

Maka, sebenarnya persoalan hukum di sini sudah selesai, masing-masing pihak seharusnya mematuhi. Karena ini menyangkut lingkungan sekitar yang menolak pendirian GKI Yasmin, maka pemkot menawarkan relokasi yang ternyata tidak diterima GKI Yasmin. Oleh karena itu perlu dipertanyakan siapa yang sebenarnya tak menginginkan kasus ini selesai.

Toleransi
Akhir-akhir ini toleransi menjadi buah bibir, baik dalam pemberitaan media massa, opini tokoh masyarakat, maupun survei berbagai lembaga. Paparan yang muncul adalah toleransi menjadi barang yang mahal. Negara dianggap gagal menjamin kebebasan beragama rakyatnya. Pemerintah dituduh mendiamkan persoalan. Penegak hukum disangka lalai menjalankan tugasnya.

Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies menunjukkan (baca: menyimpulkan) toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. "Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk "Demokrasi Minim Toleransi" di kantornya. (tempo.co.id, 5 Juni 2012).

Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari 2012 di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden.
Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.

Membaca kesimpulan survei itu pun memerlukan kecermatan. Toleransi beragama tidak hanya membahas tentang kehidupan bertetangga beda agama dan pendirian tempat ibadah. Dimensinya amat luas. Apakah keengganan berdampingan dengan pemeluk agama lain dan keberatan pendirian tampat ibadah agama lain dapat dijadikan ukuran intoleran?

Menurut Rahmat Mustafa dalam opininya di Harian Fajar yang berjudul ”Menyoroti Hasil Survei CSIS”,  survei CSIS mengandung “bias” karena ada pertanyaan yang bersifat “leading of question” yaitu pertanyaan yang menggiring responden ke arah jawaban tertentu dan juga bersifat “sensitive/threatening question” yaitu pertanyaan yang mengandung topik sensitif, sehingga cenderung menghasilkan jawaban normatif. Dalam survei CSIS, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat penggiringan dan  sensitif adalah: pernikahan beda agama (79,3% menolak, 12,9% menerima) dan pembubaran Ahmadiyah (61,1% mendukung, 1,3% menolak).

Dalam pandangan Islam jelas sekali bahwa pernikahan beda agama dilarang, sehingga bila ditanyakan pada umat Islam wajar jika mereka menjawab menolak. Maka, sangat aneh jika sikap mematuhi ajaran agamanya disimpulkan sebagai sikap intoleran. Sedangkan Ahmadiyah, merujuk lagi pendapat KH Hasyim Muzadi, menyimpang dari pokok agama Islam. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam. Namun selama ini selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat. Inilah bentuk kemungkaran yang dilawan oleh umat Islam. Maka, sekali lagi, amat aneh bila sikap melawan kemungkaran disimpulkan sebagai sikap intoleran.

Saya setuju dengan pendapat KH Hasyim Muzadi bahwa sebenarnya Indonesia masih menjadi bangsa yang toleran. Kalaupun kemudian ada riak-riak di dalamnya, tidak berarti menggeneralisasi keadaan. Setiap peristiwa pasti ada penyebab yang menjadi penyulutnya.

Saya juga setuju dengan Victor Silaen, bahwa tak bisa tidak, supremasi hukum harus ditegakkan, terutama kepada pihak yang menjadi biang keladi terjadinya riak. Selain itu para pemimpin harus memberi keteladanan konkret di dalam kehidupan sesehari. Termasuk memberikan keteladan untuk tidak menjual bangsa sendiri kepada kepentingan asing. 

1 komentar:

victor silaen mengatakan...

Mengapa banyak orang (termasuk para sarjana) gemar membantah hasil survei yang dilakukan oleh para peneliti, baik di dalam maupun di luar negeri? Mengapa ngotot membantah hasil survei CSIS, seakan Anda lebih pandai dari para penliti di CSIS itu? Mengapa tak sekalian saja membantah hasil survei yang mirip2 dengan hasil survei CSIS itu, yang pernah dilakukan oleh lembaga2 seperti Setara, Paramadina, Moderat Muslim Society, dll?

Soal kasus GKI Yasmin, maafkan kalau saya katakan Anda belum paham betul duduk persoalannya. Perber 2 Menteri tahun 2006 tidak menyebut sama sekali tentang kewenangan kepala daerah untuk membatalkan sebuah IMB. Artinya, yang berwenang membatalkan IMB adalah pengadilan. Siapa yang salah kalau begitu? Jelas Walkot Bogor. Bahkan di pengadilan tertinggi pun Walkot dinyatakan salah. Mau PK lagi? Tetap juga Walkot kalah. Artinya apa? Pulihkan hak GKI Yasmin atas IMB-nya.
Putusan MA kemudian diperkuat oleh Rekomendasi Ombudsman. Menurut Ombudsman, Walkot Bogor membangkang secara hukum dan telah melakukan tindakan mal-administrasi. Tak tanggung2 Ombudsman bahkan melaporkan rekomendasinya itu kepada Presiden dan DPR. Jadi, hanya satu kata yang menjadi penyelesaian: taat hukum. Itu saja.
Relokasi? Hmm... agar Anda tahu saja bahwa GKI Yasmin sudah pernah "nurut" kepada Walkot untuk pindah ke Gedung Harmoni, dekat lokasi semula. Walkot berjanji, itu hanya untuk sementara, sampai putusan (PK) dari MA keluar. Nah, setelah putusan final MA itu keluar, apa yang terjadi? Walkot ingkat janji, tetap membangkang.
Relokasi? Bukankah itu berarti "menawar" putusan hukum yang sudah inkrah? Dapatkah tindakan itu dibenarkan di negara hukum ini?
FYI, soal relokasi sudah pernah dialami oleh HKBP Ciketing, Bekasi. Tapi, apa yang terjadi setelah HKBP tsb bersedia pindah dari relokasinya yang semula? Sampai sekarang soa;l keabsahannya gedung gerejanya tak pernah jelas.
Bung, apakah Anda sungguh2 tahu bahwa warga sekitar GKI Yasmin keberatan dengan keberadaan GKI Yasmin? Wartawan Tempo sudah mengivestigasinya, dan ternyata tidak. Yang keberatan itu adalah "massa" yang didatangkan dari luar Bogor.
Bung, daripada saya berpanjang-panjang menulis komentar, saya sarankan Anda pelajari dulu sebaik-baiknya sebuah masalah yang akan Anda komentari.
Bung, SBY sendiri sudah mengakui bahwa Walkot Bogor salah secara hukum. Hanya saja, SBY mengaku "tak bisa mengintervensi..." (alasan klise pemimpin miskin solusi).

Maju terus Bung. Saya senang Anda cukup kritis, tapi tentu harus belajar lagi tanpa henti.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)