Belanja Pegawai Bikin Berkunang-kunang

Minggu, 15 April 2012

Dari catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada tahun 2011 terdapat 124 daerah yang memproyeksikan belanja pegawai lebih dari 50%. Yang mencengangkan jumlah ini meningkat signifikan sebesar 135% pada tahun 2012 yakni menjadi 291 daerah. Bahkan 11 daerah menguras 70% lebih. Sesuai urutan adalah Kota Langsa-NAD (76,7%), Kab. Kuningan-Jawa Barat (74,0%), Kota Ambon-Maluku (73,4%), Kab. Ngawi-Jawa Timur (73,0%), Kab. Bantul-DIY  (71,9%), Kab. Bireuen-NAD (71,8%), Kab. Klaten-Jawa Tengah (71,6%), Kab. Aceh Barat-NAD (70,9%), Kota Gorontalo-Gorontalo (70,3%), Kab. Karanganyar-Jawa Tengah (70,1%), Kota Padang Sidempuan-Sumatera Utara (70,0%).

Alhamdulillah, rasa syukur senantiasa mesti kita haturkan. Ada dua rasa syukur yang saya miliki. Syukur yang pertama karena Kabupaten Ngawi, kota tempat saya tinggali dan tempat saya mengabdi sebagai birokrasi menempati peringkat keempat seluruh Indonesia atau peringkat kedua seluruh Jawa (setelah Kuningan). Berarti peringkat pertama di Jawa Timur! Hebat bukan. Jadi terkenal ke seluruh nusantara, bisa jadi ke seantero jagad. Jadi buah bibir, jadi naik daun seperti ulat bulu dan tomcat. Tapi sebenarnya ini adalah ironi karena kepopuleran tersebut mengandung maksud yang negatif.

Syukur yang kedua karena masih ada yang mengingatkan. Rilis yang disampaikan oleh Fitra di atas membuat masyarakat luas semakin tahu bagaimana kondisi pengelolaan keuangan di era otonomi daerah ini. Dan ternyata, mayoritas untuk belanja pegawai. Masyarakat punya hak untuk protes. Publik punya hak untuk menikmati program pemerintah sebagai imbal jasa atas pembayaran pajak mereka. Maka bersyukurlah ada yang mengingatkan. Pejabat terkait mestinya punya mata punya telinga. Realita ini bisa dijadikan momentum pengendalian diri dan pelecut agar anggaran berpihak kepada rakyat.

Memang tidak bijak serta merta menyalahkan daerah akan kondisi ini. Pemerintah pusat tak luput menanam saham akan besarnya belanja pegawai. Misalnya kenaikan gaji pegawai, rekrutmen pegawai, dan pembentukan organisasi perangkat daerah tak lepas dari peran pusat. Kenaikan gaji PNS yang berlangsung setiap tahun itu regulasinya berasal dari pusat tapi pelaksanaannya dibebankan kepada masing-masing daerah.

Setali tiga uang, pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS selama ini menggunakan instrumen pusat. Proyek ini membawa akibat semakin bertambah besarnya jumlah PNS di daerah. Padahal di tahap awal, rekrutmen tenaga honorer hampir tidak pernah berlangsung transparan, tanpa seleksi, dan seringkali tidak melihat kebutuhan. Kecenderungan yang muncul karena untuk mengakomodasi kroni, famili, sebagai lahan bisnis, dan sebagainya. Celakanya lagi tidak tepat sasaran. Guru yang bekerja di swasta dan pegawai tata usaha di sekolah swasta malah diformalkan sebagai tenaga honorer daerah dengan memberikan mereka SK Bupati. Beruntung, pegawai-pegawai swasta di sektor non pendidikan tidak iri dan tidak menuntut perlakuan sama.

Pimpinan daerah yang sekarang tentunya akan menolak bertanggungjawab dengan realita ini karena masalah di atas merupakan imbas kebijakan masa lalu. Pucuk pimpinan telah berganti namun menyisakan persoalan yang baru dirasakan saat ini. Dulu sudah banyak yang memperkirakan bahwa Ngawi menyimpan bom waktu. Sumbu telah lama tersulut. Api semakin mendekati sasaran menyisakan rentang pendek untuk meledak.

Saya rasa Bupati telah tahu kondisi ini, bahkan sangat tahu. Pada awal periode beliau, sudah mulai diadakan penghematan. Sudah banyak anggaran yang dipangkas meskipun hal itu belum mampu menutup defisit. Tapi paling tidak sudah ada upaya. Di kantor saya, beberapa kegiatan dihapus sama sekali. Tak hanya itu, selain mengerem pengeluaran, potensi pemasukan juga ditingkatkan. Sektor-sektor yang sekiranya mendatangkan pemasukan digenjot. Regulasi sebagai landasan hukum dimunculkan. Aksi-aksi bupati dan jajarannya luar biasa. Jujur, kita tak boleh menutup mata. Apresiasi pantas kita sematkan untuk beliau.

Selesaikah persoalan? Rasanya tidak sesederhana itu. Birokrasi punya perilaku. Perilaku itu dilandasi oleh budaya. Budaya itu tertancap kuat bahkan diturunkan dari generasi ke generasi. Bupati punya PR besar merubahnya. Karena hal tersebut berpengaruh pada besarnya anggaran pemerintah yang dikeluarkan.

Saya beri contoh. Ternyata masih ada anggaran dobel pada satuan kerja (satker). Artinya sesuai tupoksi sebuah satker merencanakan program untuk seluruh pegawai, tapi ternyata ada satker lain yang juga mempunyai program serupa yang hanya untuk pegawainya saja yang bahkan jumlah anggarannya bekali lipat besarnya. Kenapa ini bisa terjadi? Pertama, egosektoral. Kedua, sebuah kegiatan tidak lagi dimaknai sebagai program namun sebagai proyek. Filosofi proyek adalah ”berapa banyak yang saya dapatkan”. Inilah penyakit birokrasi.

Bupati tidak bisa disalahkan begitu saja. Memang beliau punya tanggung jawab tapi biasanya tidak mengetahui secara detil permasalahan di lapangan, persoalan mikro. Terlalu kecil untuk mempelototi setiap kebiasaan di satker sedangkan beliau punya kebijakan secara makro untuk seluruh wilayah. Maka mestinya ada informasi. Dan mestinya Bupati mendengarkannya, entah darimana itu tanpa memandang asal usul, pengusaha atau rakyat jelata, pejabat atau staf biasa.

Selain efek regulasi pemerintah pusat, imbas kebijakan pimpinan masa lalu, dan  penyakit birokrasi seperti disinggung di muka, yang tak kalah pentingnya adalah fungsi kontrol dari lembaga terkait. Sejauh mana peran pengawasan DPRD selama ini. Bahkan DPRD juga mempunyai fungsi anggaran, berarti pula DPRD turut bertanggungjawab atas besar kecilnya anggaran di daerah, untuk apa anggaran itu, dan bagaimana pertanggungjawabannya. Anggota dewan mestinya tak hanya mengawasi jalannya kegiatan yang lebih bersifat teknis. Ada persoalan di hulu yang lebih penting.

Satu lagi di mana peran lembaga swadaya masyarakat dan pers selama ini. Saya rasa mereka juga lebih enjoy bermain di wilayah hilir, itupun jarang terungkap. Malah ada kecenderungan telah dilemahkan. Dilemahkan itu pilihannya ada dua, diintimidasi atau dipelihara. Berharap kepada masyarakat? Sayang, publik tidak memiliki akses untuk melihat isi APBD. Belum ada prosedur yang jelas bagaimana memperoleh dokumen itu. Saluran informasi resmi pun (baca: website Pemkab) belum menyediakan. Padahal saya rasa UU Keterbukaan Informasi Publik (UU Nomor 14 Tahun 2008) memberikan hak masyarakat untuk mengetahuinya. Alih-alih menyimak, membaca saja belum kuasa.

Maka dengan adanya ”prestasi” nomor empat se-Indonesia itu bisa dijadikan momentum perbaikan. Semuanya saja. Dan saya ingin mengatakan kepada Bupati saya yang tercinta, Mbahkung Kanang,” Pasti ada jalan keluar, harapan itu masih ada!”

(Maaf Mbahkung, kalau kata-kata saya senggol sana senggol sini).

4 komentar:

vicky mengatakan...

hayo mbah kung.. lanjutkan perjuangannmu... semoga bisa mengatasi masalah hasil peninggalan masa lalu.

Anonim mengatakan...

Saya mau tanya Mas Wuri, saya mendengar karena anggaran belanja pegawai Kab Ngawi terlalu tinggi maka di persilahkan bagi para PNS Kab Ngawi untuk mengajukan pensiun dini, istri saya seorang PNS Kab Ngawi masa kerja 7 tahun umur 40 thn bolehkan mengajukan pensiun dini? dan bagaimana persyaratannya? apakah juga mendapatkan hak uang pensiunan?

Anonim mengatakan...

Aduuuh kasihan Kab Ngawi 'mau bangkrut' krn terbebani belanja pegawai.. sebagai masyarakat Ngawi saya mau meringankan beban tersebut walau sedikit tapi nyata, caranya gimana? saya anjurkan istri saya untuk segera pensiun dari PNS Kab Ngawi...
Nah untuk itu saya perlu tanya sama Mas Wuri, bolehkah sitri saya yg berumur 40 tahun dengan masa kerja 7 tahun mengajukan pensiun dini? bagaimana syaratnya?

wurianto saksomo mengatakan...

utk pensiun dini syaratnya usia minimal 50 tahun dan masa kerja minimal 20 tahun. itu syarat kumulatif (kedua-duanya harus terpenuhi).
tp kalau mundur saja sbg pns juga gak pa2 kok, nanti akan diberhentikan dg hormat, tp gk dpt pensiun.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)