Buka Di Jalan

Senin, 15 Agustus 2011

Pernahkah Anda berbuka puasa saat perjalanan? Tentunya agak beda rasanya jika berbuka di rumah, apalagi sembari ditemani anggota keluarga lain. Saya pernah merasakan berbuka di perjalanan, bahkan hampir tidak dapat berbuka sampai menjelang Isya’. Jauh dari anak istri.

Saat itu saya sedang di Jakarta dua tahun silam. Saya mengikuti diklat selama 2 bulan lebih. Di penghujung diklat kami bertemu dengan awal ramadan. Jadilah saya menjalani hari-hari puasa di luar kota. Makan sahur dan buka di warteg. Sumpah, baru kali ini lah saya merasakan dan menjadi pelanggan warteg yang banyak didirikan oleh orang-orang Tegal di ibukota ini. Ya maklum meskipun biaya hidup ditanggung oleh penyelenggara diklat tapi tidak bisa saya bermewah-mewah. Harga-harga di Jakarta mahal. Saya bahkan ngekos selama itu.

Suatu saat saya berkeinginan iktikaf di Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Indonesia, bahkan konon terbesar di Asia Tenggara. Sebelumnya saya pernah iktikaf sendiri di sana. Kali ini saya ditemani 2 orang sesama peserta diklat, kebetulan kami juga satu kos. Dari tempat kos kami di Mampang Prapatan perjalanan menggunakan bis Transjakarta. Karena sudah pernah ke sana saya jadi penunjuk jalan. Kalau tak salah ganti bis hingga 3 kali. Dari Mampang ke Duri Atas, dari Duri Atas ke Harmoni, dari Harmoni turun di halte Istiqlal. Selanjutnya jalan kaki. Masjid Istiqlal sudah terlihat mata.

Hari itu hari Jumat. Kami berangkat setelah sholat Dhuha biar tidak terlambat mengikuti sholat Jumat. Sesampai di masjid kami jalan-jalan di sekitar masjid, masuk ke dalam masjid yang luas, naik ke lantai-lantai atas memandang kota Jakarta dari ketinggian. Terlihat bangunan gereja di seberang.

Menjelang sholat Jumat kami turun ke bawah. Aliran manusia mulai masuk ke dalam, banyak sekali. Di dalam masjid beberapa kali saya mendengar seperti ada suara kereta lewat. Mungkin di dekat situ ada jalur kereta. Seusai sholat kami tidak langsung pulang. Hari masih panas. Banyak orang yang tiduran. Setalah berzikir, berdoa, tilawah kami naik lagi ke lantai atas. Saya lupa hingga berapa lantai masjid Istiqlal ini. Di salah satu lantai kami rebahkan badan. Angin kencang menerpa kami. Sejuk. Kami putuskan setelah asar baru kami pulang. Tidurlah kami.

Setelah asar sesuai rencana kami pulang. Perjalanan tetap menggunakan bis Transjakarta, karena memang itu yang paling memudahkan bagi kami yang bukan orang Jakarta ini. Jika bingung tinggal nanya saja pada petugas penjual tiket. Tiketnya pun murah, 3000 rupiah. Saat itu jam setengah 4 sore. Saya perkirakan sampai di kos sesaat sebelum buka, atau paling tidak setelah buka lewat sedikit. Tapi ternyata estimasi saya keliru. Saya tak memperhitungkan pada saat itu adalah jam pulang kerja dan jalanan macet.

Bis tidak datang-datang. Setiap kali datang ternyata kondisi sudah penuh sesak, tak cukup bagi kami bertiga untuk sekedar masuk ke dalamnya. Akhirnya setelah menunggu lama kami pun bisa masuk ke satu bis. Penuh sesak, ah tak apa, daripada tak bisa pulang. Melalui depan Setneg saya mulai ketar-ketir, jalanan macet. Tapi syukur bis masih bisa berjalan meskipun tak secepat siang tadi.

Saat ganti bis di halte ternyata suasana tak kalah beda. Banyak orang, sedangkan bis penuh sesak. Bis yang kami tumpangi sebagian besar berisi para pekerja kantoran, terlihat dari baju mereka. Hari mulai gelap tapi perjalanan belum sampai separonya. Saya semakin cemas, alamat tak bisa berbuka di kos nih. Sampai di kawasan Kuningan bis terjebak kemacetan total. Kuningan ini memang terkanal sebagai kawasan perkantoran. Syukur kalau bisa jalan pelan, ini jalan saja tak bisa. Jalur khusus yang seharusnya hanya untuk bis Tranjakarta ternyata diserobot kendaraan lain.

Akhirnya azan maghrib pun berkumandang. Posisi kami masih di Kuningan, butuh waktu sekitar 15 menit kondisi normal untuk sampai di kos. Padahal ini kondisi abnormal. Petugas bis memberitahukan waktu berbuka kepada para penumpang. Dengan sigap para penumpang mengeluarkan bekal dari tas mereka. Ah ternyata mereka sudah mengantisipasi sehingga membawa makanan dan minuman untuk berbuka di jalan. Mereka telah hafal.

Kami bertiga senyum-senyum saja. Tak ada yang membawa makanan. Kondisi sudah lelah, sejak dari tadi kami berdiri. Mau turun dari bis tidak bisa karena selain di halte penumpang dilarang turun. Apalagi pintu bis didesain tinggi sekali, sehingga cukup merepotkan orang yang akan turun selain di halte. Di dalam bis pun tidak ada pedagang asongan. Jadilah saat itu perut kami bertiga keroncongan sembari menyaksikan orang-orang yang sedang puas makan minum. Mau minta sama orang kami merasa tak enak. Hanya berharap segera keluar dari kemacetan dan perjalanan kembali lancar.

Alhamdulillah doa kami, doa orang-orang yang sedang berpuasa terkabul. Bis terbebas dari kemacetan. Menjelang Mampang bis melaju dengan kencang. Sekeluar dari bis,”Alhamdulillah, Allahu Akbar!” teriak kami. Segera berlari kami menuruni halte yang juga sekaligus jembatan penyebarangan itu. Tujuan kami satu, pedagang minuman. Sebotol teh dingin sukses membasahi tenggorakan kami yang kering. Kalau dihitung-hitung lebih dari setengah jam kami tak bisa berbuka di awal Maghrib. Untung saja kami masih sempat menjalankan sholat Maghrib di mushola dekat pasar. Sampai di kos baru saja masuk pintu gerbang, azan Isya’ pun berkumandang.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)