DIsharmoni Hukum Kepegawaian (Bagian Kedua)

Kamis, 07 Mei 2015

Kebijakan publik umumnya dilegalisasikan dalam bentuk hukum sedangkan hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Maksudnya, sebuah produk hukum tanpa adanya proses kebijakan publik maka produk hukum tersebut kehilangan makna substansinya. Sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum, maka dimensi operasionalisasinya akan menjadi lemah. Dengan demikian, kebijakan publik perlu dilegalisasi dalam bentuk hukum dengan tujuan untuk menjamin legalitasnya di lapangan (Kurniawan, 2012: 34).

Menurut Salim (2011) salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata usaha negara yang digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum pemerintahan. Selain dari sarana berupa keputusan tata usaha negara (beschikking), sarana tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:

  • Peraturan perundang-undangan dan keputusan tata usaha negara  yang memuat pengaturan yang bersifat umum;
  • Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels);
  • Rencana (het plan);
  • Penggunaan sarana hukum keperdataan; dan
  • Perbuatan materiil (feitelijke handelingan).

Pejabat atau badan administrasi negara dilekati wewenang untuk membuat berbagai keputusan. Selain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaksanaan wewenang tersebut dilakukan juga berdasarkan atas kebebasan bertindak (beleidsvrijheid atau beoordelingvrijheid) atau lazim disebut freies Ermessen (Kurniawan, 2012: 6). Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen adalah membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut discretionary power (Salim, 2010).

Menurut Salim (2010) meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebas tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang, namun dalam kerangka negara hukum harus dipahami bahwa unsur-unsur freies Ermessen dalam negara adalah sebagai berikut:


  • Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis public;
  • Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara;
  • Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;
  • Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;
  • Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba.

Menurut E. Utrecht, seperti dikutip SF Marbun dan Mahfud MD (dalam Salim, 2010), implikasi di bidang perundang-undangan yang dapat dimiliki pemerintah berdasarkan freies Ermessen ada tiga hal. Pertama, kewenangan atas inistiatif sendiri untuk membuat peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang tanpa meminta persetujuan parlemen terlebih dahulu (Pasal 22 UUD 1945).


Kedua, kewenangan karena delegasi perundang-undangan dari UUD 1945, yaitu kewenangan membuat peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang dan yang berisi masalah-masalah untuk mengatur ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945). Ketiga, droit function yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri mengenai ketentuan-ketentuan yang bersifat enunsiatif.

Untuk melaksanakan tiga bentuk kewenangan berdasarkan freies Ermessen pemerintah dilarang berbuat sewenang-wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bersifat detournement de pouvoir (melakukan sesuatu di luar tujuan kewenangan yang diberikan) atau disebut juga onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh pemerintah). Sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena detournement de pouvoir atau onrechtmatige overheidsdaad dapat dituntut di muka hakim baik melalui peradilan administrasi negara maupun melalui peradilan umum (Salim, 2010).

Hasil kajian Lembaga Administrasi Negara tahun 2005 (dalam Putranto, 2009: 131) menunjukkan bahwa dilihat dari aspek kelembagaan, terjadi tumpang tindih tupoksi antar lembaga pengelola kepegawaian di Indonesia, yaitu Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan LAN. Selain ketiga lembaga tersebut, dalam konteks otonomi daerah, kemendagri dan pemprov merasa mempunyai peran mengatur kepegawaian di tingkat kabupaten/kota.

Egoisme sektoral di masing-masing lembaga yang bertanggung jawab terhadap kebijakan manajemen PNS masih sangat kuat sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga sering tidak sinkron satu sama lain (Pusat Kajian Kinerja SDA, 2006: 116). Banyaknya lembaga yang mengelola kepegawaian berimbas pada regulasi yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga, yang tak jarang saling berbenturan. Pada tingkat daerah hal ini membuat kebingungan. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi di antara lembaga tersebut.

Dalam aspek kebijakan, juga ditemukan permasalahan dalam peraturan-peraturan kepegawaian yang berlaku saat ini (LAN, 2005 dalam Putranto, 2009: 132-133). Permasalahan tersebut adalah secara substansi ada peraturan yang tidak sesuai lagi dengan kondisi yang berkembang saat ini, peraturan yang tidak konsisten dalam mengatur suatu kebijakan, dan adanya peraturan yang mengandung persepsi ganda.

Menurut Labolo (2009: 94-95) salah satu isu penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah masalah konsistensi regulasi. Dalam hal ini kepala daerah menghadapi dilema, di mana pada satu sisi berhadapan dengan persoalan penting dan membutuhkan kebijakan, sementara di sisi lain terdapat sekian banyak regulasi teknis yang membatasi semua kebutuhan tersebut. Ini semakin memperjelas inkonsistensi pemerintah dalam mengatur pemerintah daerah. Di satu sisi melalui undang-undang (lex generalis) menjanjikan diskresi, pada saat yang sama membatasi melalui aturan sektoral (lex specialis). Ditambah lagi pertentangan di antara sejumlah regulasi yang sama kedudukannya (lex generalis).

Menurut Kurniawan (2012: 111) pertentangan antar peraturan perundang-undangan menjadi salah satu masalah hukum di Indonesia yang tak kunjung selesai. Banyak produk hukum yang dihasilkan pemerintah tidak sinkron dengan peraturan lain, baik yang setara maupun lebih tinggi kedudukannya. Kualitas harmonisasi dan sinkronisasi rancangan peraturan perundang-undangan menjadi perhatian utama banyak pemerhati hukum. Bahkan, tak jarang, peraturan organik tidak merujuk sama sekali pada peraturan yang lebih tinggi.

Menurut Mahendra (2010) ada enam faktor yang menyebabkan disharmoni peraturan perundangan-undangan yakni: 

  1. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda;
  2. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas, atau penggantian;
  3. Pendekatan sektoral dalam pembentukan  peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem;
  4. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;
  5. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas;
  6. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut Mahendra (2010) menyatakan disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, timbulnya ketidakpastian hukum, peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, dan disfungsi hukum (hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa, dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur).

Dalam hal terjadi disharmoni peraturan perundang-undangan, Mahendara (2010) memberikan tiga cara untuk mengatasinya. Pertama, mengubah atau mencabut pasal tertentu yang mengalami disharmoni atau seluruh pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan oleh lembaga/instansi yang berwenang membentuknya.

Kedua, mengajukan permohonan uji materi kepada lembaga yudikatif. Untuk pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar diajukan kepada Mahkamah  Konsitusi, sedangkan untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU diajukan kepada Mahkamah Agung.

Ketiga, menerapkan asas hukum/doktrin hukum yakni lex superior derogat legi inferiori, lex spesialis derogat legi generalis, dan lex posterior derogat legi priori. Lex superior derogat legi inferiori artinya peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Lex spesialis derogat legi generalis artinya aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Lex posterior derogat legi priori artinya aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama.

Menurut Setiadi (2007) proses harmonisasi dilakukan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan, bukan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah jadi. Untuk peraturan perundang-undangan yang sudah jadi, proses yang dilakukan adalah pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial (judicial review). Hasil pengujian dapat berupa suatu pasal atau ayat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau secara keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain pengujian oleh lembaga yudisial, terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah jadi juga dapat dilakukan pengkajian (non-judicial review). Hasil pengkajian tersebut dapat dijadikan pertimbangan oleh pemrakarsa untuk menentukan sikap atas peraturan perundang-undangan yang dikaji tersebut.

1 komentar:

cv pengobatan mengatakan...

terimakasih banyak, menrik sekali pembahasannya...

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)