Prestasi Dewan

Senin, 04 Juni 2012

Langit hitam menggelayuti senayan. Berita miring tentang anggota dewan seakan-akan tak pernah usai. Yang ini tertangkap polisi, yang itu tertangkap KPK. Yang ini baru saja divonis, yang itu baru saja ditahan. Macam-macam kasusnya. Ada yang asusila, KDRT, pornografi, penipuan, penyuapan, korupsi, mafia anggaran. Tak kalah dengan ”abangnya” yang di pusat, mereka yang duduk sebagai wakil rakyat di daerah juga tak jauh berbeda. Rekannya di daerah anu baru saja divonis karena korupsi, eh minggu berikutnya yang di daerah anunya lagi ditangkap KPK.

Beruntung wakil rakyat di daerah saya belum ada yang tersangkut kasus korupsi. Belum pernah KPK mempelototi. Paling tidak yang periode ini, 2009-2014. Tidakkah mereka benar-benar bersih? Atau memang pintar menyembunyikan perbuatan busuk dari incaran aparat hukum? Atau malah terjadi persekongkolan di antara keduanya? Saya berharap mereka memang benar-benar bersih (dan peduli). Jangan ada dusta di antara kita lho ya.

Mencermati pemberitaan di media maka stigma anggota dewan yang ada di benak saya adalah suka marah. Ya, suka marah-marah. Terutama marah-marah sama pejabat pemerintah atau rekanan pemerintah. Wajar memang, bukankah anggota dewan dibayar mahal untuk marah. Inilah fungsi pengawasan. Biar eksekutif tidak keluar rel.

Selain itu ada stigma lain, yakni suka mengumbar janji. Coba Anda buktikan pada saat mereka sedang berkunjung ke daerah. Anda minta sesuatu, maka mereka akan berjanji memperjuangkannya. Atau saat Anda wadul ke kantor dewan tentang permasalahan hidup. Setali tiga uang, pasti ada janji-janji yang terucap. Obral janji ini akan semakin meningkat intesitasnya menjelang pemilu. Ya, karena mereka memiliki kepentingan yang amat besar, pamrih untuk dipilih kembali. Lihat saja jargon-jargon saat kampanye, baliho di sekitar trotoar, spanduk yang melintang di atas jalan, stiker dan kalender yang dibagikan. Intinya, jika Anda memilihnya maka akan mendapatkan sesuatu dan banyak atu darinya.



Kadangkala saya juga menemukan inkonsistensi di antara anggota dewan. Misalnya adanya pemberitaan tentang belanja pegawai. Ngawi disoroti banyak kalangan karena belanja pegawainya melebihi 70% dari kekuatan APBD. Esoknya anggota dewan menyalahkan eksekutif karena merekrut pegawai yang terlampau banyak, terutama dari kalangan tenaga honorer. Eksekutif dianggap tidak dapat mengendalikan. Esoknya bupati sebagai pimpinan eksekutif tertinggi di daerah menyatakan salah satu cara mengerem belanja pegawai adalah dengan menghentikan proses pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS yang masih tersisa. Eh esoknya lagi, anggota dewan yang lain menolak penghentian rekrutmen CPNS itu. Kasihan katanya. Lho kok.

Lalu apa sih sebenarnya fungsi dewan itu. Apa sekedar tukang marah, obral janji, dan menjaga citra. Sejatinya dewan mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi itu bersama dengan eksekutif menyusun regulasi daerah berupa peraturan daerah (Perda). Tapi sayangnya kebanyakan dewan bersikap pasif. Mereka menunggu inisiatif dari eksekutif yang mengajukan rancangan Perda untuk dibahas bersama. Padahal anggota dewan diberi hak insiatif untuk mengajukan rancangan. Ini jarang dimanfaatkan.

Berdasarkan data yang saya dapatkan di JDIH (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum) Bagian Hukum Setda, dari tahun 2009 hingga 2011 ada 60-an Perda. Secara kuantitatif itulah yang bisa diukur sebagai prestasi dewan. Lalu secara kualitatif bagaimana? Allahu a’lam karena ya itu tadi, sebagian besar masih inisiatif eksekutif. Produk hukum itu merupakan turunan dari produk hukum di atasnya yakni UU, atau perintah dari UU untuk dibuat di daerah. Dengan demikian sebenarnya sebagian besar materi yang ada di Perda termaktub pula di UU. Dan, ternyata banyak di antaranya merupakan regulasi tentang pungutan atau dengan istilah nama lain.

Untuk fungsi anggaran, hampir sama dengan fungsi legislasi yakni dewan duduk bersama dengan eksekutif. Hasil dari pembahasan dan kesepakatan itu pun diwujudkan dalam bentuk Perda. Maka kalau dewan menyalahkan eksekutif mengenai anggaran yang telah di-dok (artinya disahkan), lha dulu waktu pembahasan itu bagaimana dong.

Sedangkan fungsi pengawasan, mengandung maksud bahwa anggaran yang digunakan oleh eksekutif merupakan uang rakyat maka perlu pengawasan agar tidak ada penyimpangan. Rakyat telah menitipkan suaranya kepada anggota dewan, maka mereka bekerja atas nama rakyat mengawasi jalannya pemerintahan. Tapi kadangkala yang saya temui dalam pengawasan itu adalah menyangkut hal-hal yang bersifat teknis. Dewan lebih enjoy menyoroti persoalan hilir, persoalan yang bisa jadi remeh temeh. Persoalan hulu, persoalan yang ada di muara bisa jadi lebih besar. Tapi sayangnya jarang diawasi. Contoh kecil misalnya, anggota dewan mencak-mencak karena aspal jalan yang cepat mengelupas pasca proyek diselesaikan. Tapi tidakkah dewan memahami bahwa mungkin ada hal fundamental di awal pembahasan anggaran yang terlewatkan, bagi-bagi proyek, pengkondisian tender, potongan anggaran, kewajiban setoran. Mudah-mudahan di Ngawi tidak ada. Kalau ada mungkin hanya oknum.

Jujur, saya kesulitan untuk dapat melihat apa saja yang telah diperbuat wakil rakyat itu. Tapi pikiran positif saya berbicara: jalan mulus beraspal, rehabilitasi gedung sekolah, bantuan modal untuk koperasi, tunjangan bagi perangkat desa, dan sebagainya bisa jadi adalah buah tangan kegigihan mereka. Saya sendiri malas untuk berkunjung ke kantor dewan sekadar menanyakan prestasi-prestasi mereka. Apalah saya, wartawan bukan, artis bukan, pejabat juga bukan. Mereka sendiri juga tidak membuka ruang yang memudahkan publik mengakses sepak terjangnya. Melalui website pribadi misalnya. Atau majalah. Paling-paling saya hanya bisa membaca melalui berita di koran. Contohnya kunker massal anggota dewan ke Jakarta pada bulan Maret lalu diberitakan oleh koran lokal. Tapi sayang koran tidak memberitakan hasilnya.

Saya hanya menitipkan pesan mudah-mudahan wakil rakyat tidak terjerat seperti para rekannya di daerah lain yang mesti merasakan pengapnya hotel prodeo. Juga menjaga perilaku agar tidak bersikap seperti tukang todong. Kasihan eksekutif, diminta-minta seperti saudagar kaya saja. Ada acara partai minta uang. Mau kampanye minta jatah. Mau keluar kota minta sangu. Eh ladhalah...

Ada teman yang bercerita. Di daerahnya suatu hari muncul berita di koran bahwa kepala kantornya dibilang bohong oleh anggota dewan karena mangkir dalam acara dengar pendapat. Ternyata itu merupakan trik ancaman agar menyediakan uang untuk disetorkan ke dewan. Sekadar gertakan. Hari itu juga uang 5 juta disetor ke komisi yang menangani. Selesai persoalan, esoknya tak ada lagi berita garang yang muncul. Wallahu a’lam benar tidaknya cerita teman saya itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)