The Next Gus Dur

Minggu, 10 Juni 2012

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie akan digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan dilayangkan oleh pengacara publik David Tobing terkait dengan pernyataan Marzuki yang menyebut banyak koruptor lulusan Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. “Dalam gugatan saya meminta Marzuki mencabut pernyataan, meminta maaf, dan ganti rugi materi sebesar seribu rupiah,” kata David saat dihubungi pada Senin 8 Mei 2012 siang (sumber: www.tempo.co).

Bukan kali ini saja Marzuki mengucapkan pernyataan kontroversial. Berikut ini beberapa pernyataannya yang dikutip dari www.tempo.co. Pada 27 Oktober 2010, setelah nelayan di Mentawai, Sumatera Barat terkena tsunami ia berujar, “Ada pepatah, kalau takut ombak, jangan tinggal di pantai”. Tanggal 17 Februari 2011, anggota DPR melakukan kunjungan kerja ke luar negeri membawa serta istrinya. Marzuki menanggapi, “Laki-laki sifatnya macam-macam. Ya, perlu diurus untuk minum obat, (atau) pingin hubungan dengan istrinya rutin. Itu terserah. Sepanjang tidak menggunakan uang Negara”.

Pada 26 Februari 2011, Marzuki mengomentari sejumlah kasus yang menimpa tenaga kerja wanita di luar negeri. “PRT TKW itu membuat citra buruk, sebaiknya tidak kita kirim karena memalukan”.  Selanjutnya 9 Mei 2011, Marzuki menanggapi rencana pembangunan gedung baru di kompleks MPR/DPR yang menuai kritik. “DPR ini bukan ngurusin gedung, tapi rakyat. Kalau saudara-saudara tanya soal gedung terus, DPR tak ada lagi, ngurusin gedung saja”.

13 April 2011, saat hama ulat bulu menyerang Pulau Jawa. “Saya dengar, (serangan hama) ulat bulu sampai ke Jakarta. Itu peringatan Tuhan”, katanya. Kemudian 29 Juli 2011, kasus korupsi di Indonesia terus terungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terungkap pula kasus politikus Partai Demokrat M. Nazaruddin. ”Jadi, kita maafkan semuanya. Capek kita ngurusin masa lalu terus. Kalau tudingan Nazaruddin terbukti, sebaiknya KPK bedol desa atau lembaganya dibubarkan saja”.

21 Desember 2011, Fitra mengkritik besarnya anggaran DPR yang mencapai Rp 69 miliar untuk renovasi gedung. ”Kalau tidak mau keluar biaya, kita tidur saja, gampang”, kata Pak Alie.

Dan yang paling hangat adalah pernyataan berikut ini, ”Koruptor adalah orang-orang pintar. Mereka bisa dari anggota ICMI, anggota HMI, lulusan UI, UGM, dan lainnya”. Pak Alie menyampaikannya saat menjadi pemateri dalam forum sarasehan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, pada 7 Mei 2012, bertajuk Pandangan Kritis tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia: Cita dan Realitas.

Apanya yang salah dengan pernyataan Pak Alie di atas? Kalau kita berpikir jernih tanpa tendensi, saya rasa ada makna mendalam di balik ucapannya. Misalnya masalah ulat bulu. Benar ini merupakan peringatan Tuhan kepada manusia yang dengan congkaknya merusak alam. Penyanyi Ebbit pun pernah menyatakannya puluhan tahun silam. Kemudian, masalah larangan pengiriman TKW ke luar negeri. Meskipun dibilang kontroversi toh akhirnya lahir juga moratorium pengiriman TKI di beberapa negara karena banyaknya kasus yang mendera.

Lalu, benarkah alumni UI dan UGM koruptor? Tentu saja bagi yang merasa akan sewot. Kalau tidak kenapa marah. Bilang saja dalam hati, ”Saya tidak korupsi lho, meskipun lulusan UI atau UGM”. Perhatikan saja pernyataan dia, koruptor adalah orang-orang pintar, bisa dari anggota ICMI, anggota HMI, lulusan UI, UGM, dan lainnya. Benar. Senyatanya koruptor adalah orang-orang pintar, paling tidak gelar kesarjanaan yang melekat di depan dan belakang nama mereka membuktikan itu. Tak sedikit pula bergelar di atas sarjana. Ada pula terpidana korupsi yang berasal ICMI, HMI, UI, dan UGM. Siapa yang bisa menyangkal. Itu fakta. Malah seharusnya tidak hanya institusi yang disebutkan itu. Orang atau alumni dari institusi lain pun juga ada.

Lalu kenapa publik galau? Media-lah yang menciptakan. Ada motto di kalangan kuli tinta, orang digigit anjing itu bukan berita, tapi kalau orang yang menggigit anjing nah itu baru berita. Media membutuhkan sesuatu yang lain, tidak sekedar yang biasa-biasa saja. Maka, jadilah pemenggalan ucapan. Kalimat yang disampaikan oleh sumber berita ditampilkan sepotong, tidak utuh. Apa maksudnya? Biar ramai. Kontroversial. Geger. Dampaknya oplah pun meningkat. Selain itu juga sebagai pembunuhan karakter.

Tampaknya Pak Alie tak tinggal diam. Terkait pemberitaan atas dirinya serta pemelintiran/pemenggalan pernyataannya ia melapor ke Dewan Pers. Selain itu ia pun siap-siap melakukan somasi terhadap media massa. Besaran yang dituntutnya tak main-main, 2 milyar. Jika menang, katanya, yang 1,5 milyar bakal disumbangkan ke fakir miskin, yang setengah milyar akan ia gunakan untuk biaya pelatihan wartawan media itu, biar pintar. Kontroversi lagi kan.

Dulu kita juga punya tokoh kontroversial malah dianggap nyleneh, yakni almarhum Gus Dur. Banyak ucapan dan tindakannya yang menggegerkan khalayak. Banyak pengikutnya yang menyebutkan bahwa Gus Dur setara dengan wali sehingga kata-katanya tak bisa dipahami secara tersurat. Akankah Pak Alie ini meneruskan jalan kontroversial Gus Dur? Kita tunggu saja pernyataannya. Dan pasti, media akan mengolahnya sedemikian rupa. Bakal asyik sepertinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)