Polisi Tidur

Senin, 19 Oktober 2015

Suatu pagi dalam perjalanan menuju ke kantor. Saya berhentikan sepeda motor sesaat. Tiga remaja putri berbaju seragam sekolah masih termangu. Terjerat dalam kebimbangan. Ragu-ragu. Sengaja saya berhenti memberinya kesempatan guna menyeberang jalan. Sesaat kami berada dalam kebisuan. Waktu serasa membeku. Bumi berhenti berotasi. Hingga tangan saya pun memberi tanda, barulah mereka yakin bahwa saya benar-benar mempersilakan mereka.

Saya sadari jika mereka ragu, karena seringkali pejalan kaki seolah tak dianggap oleh pengendara kendaraan bermotor. Dalam belantara jalanan, di sini, saat ini, perilaku individual  menjadi kelaziman. Mungkin tak ubahnya begal. Sama-sama merugikan sesama pengguna jalan, apalagi pejalan kaki. Mengalah untuk mendahulukan orang lain menjadi cerita usang di masa lalu.

Di kota seramai Jakarta atau Surabaya, untuk menyeberang jalan dibutuhkan nyali besar. Terkadang rambu lalu lintas serupa lampu merah bukan jaminan, karena seringkali pengendara tak acuh. Jembatan penyeberangan merupakan pilihan yang paling aman meskipun perlu waktu dan sedikit tenaga untuk melaluinya.

Di Jogja, di sekitar kampus UGM, beberapa ruas jalan diberi speed jump. Hal ini dikandung maksud agar para pengendara mengurangi kecepatan laju kendaraannya. Di situ seringkali menjadi tempat penyeberangan pejalan kaki maupun pengendara sepeda. Apakah ini membawa efek keamanan? Belum tentu juga.


Tahun 2012 hingga 2013, saya berangkat ke kampus S2 MAP, dari tempat kos Tawangsari ke Sekip menggunakan sepeda pancal. Bila pulang kuliah, saat sore, merupakan waktu kendaraan begitu padatnya. Menyeberang jalan di depan Fakultas Kehutanan adalah usaha paling sulit. Jangan berharap kita (pejalan kaki atau pengendara sepeda) diberi kesempatan menyeberang, bisa-bisa hingga tengah malam barulah kita sampai. Maka, jangan menyerah, mantapkan hati, beranikan diri, hadapi resiko. Pokoknya lajukan sepeda, sembari berharap para pengendara kendaraan bermotor memelankan lajunya, syukur-syukur berhenti. Celakanya, saya seringkali menemui orang-orang yang arogan, pengebut jalanan.

Dulu, dulu sekali, ketika menjalani kuliah S1, masih di kampus yang sama saya bertanya-tanya kenapa jalan-jalan kampung banyak ditumbuhi polisi tidur. Barangkali inilah cara masyarakat Jogja melindungi kotanya. Terutama dari para pengebut jalanan yang acapkali mengganggu ketenangan dan kenyamanan. Mungkin, dulu warga kampung cukup memperingatkan dengan lisan,”Aja ngebut. Jangan mengebut!”. Namun lama-lama tak dipatuhi. Maka warga kampung membikin tulisan,”Harap pelan, banyak anak kecil”. Tetapi, lama-lama itu pun tak mempan juga. Maka, dibuatlah polisi tidur. Bahkan kadang itu pun masih dilewati dengan kecepatan super.

Di hampir semua pelosok perkotaan dan pedesaan, polisi tidur pun bermunculan. Siapa sekarang yang mau peduli terhadap rambu-rambu bertuliskan peringatan: Awas pelan-pelan, banyak anak! Inilah bukti bahwa polisi tidur sebagai pengejawantahan budaya material lebih diandalkan jika dibandingkan dengan papan peringatan atau etika sebagai pengejawantahan budaya verbal.

Menurut budayawan Maria M. Bhoernomo, budaya verbal yang tergerus budaya material sebenarnya sudah lama berlangsung. Misalnya, setiap kebun binatang pasti dipenuhi pagar-pagar yang membatasi gerak-gerik binatang yang dipiara agar terpisah dengan pengelola serta pengunjung yang terdiri atas manusia. Dalam konteks kebun binatang, pagar dipilih demi keselamatan binatang dan manusia. Sebab, binatang tidak bisa hidup dengan budaya verbal. Lebih jelasnya, semua binatang di kebun binatang tidak bisa diajak berkomunikasi dengan kata-kata (verbal) sebagaimana yang dilakukan manusia. Karena itu, mereka terpaksa dikurung dengan pagar (material).

Dengan kata lain, pagar di kebun binatang semata-mata digunakan untuk mencegah binatang agar tidak hidup liar dan tiba-tiba bisa menerkam manusia. Andai binatang bisa diajak menghayati budaya verbal, mungkin tidak perlu dipagari, tapi cukup dinasihati dengan kata-kata saja.

Yang layak dicermati, tergerusnya budaya verbal oleh budaya material bisa menimbulkan efek domino luas yang bermuara pada munculnya dehumanisasi. Misalnya, makin banyak orang yang tewas sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Atau makin banyak manusia yang tidak bisa menghargai tata krama pergaulan, termasuk berkendara yang sangat berbahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)