Bencana Asap

Jumat, 16 Oktober 2015

“Senang. Saya sudah tua, tapi nggak mati-mati”, kata Milati. Tak ada yang tahu pasti berapa usia perempuan tua itu. Mungkin 80 tahun. Atau bisa jadi 90 tahun. Bahkan mungkin 100 tahun. Bisa juga lebih. Yang disepakati oleh cucu dan para menantunya, usianya tak kurang dari 140 tahun! Di usianya tersebut indera penglihatan dan pendengarannya masih sangat baik. Kegiatan ibadah sholat lima waktu pun masih dilakoni tiap hari di masjid yang berada 150 meter dari rumahnya.

Keluarga Milati menjadi salah satu ikon Gili Iyang. Gili Iyang adalah sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Pulau seluas tak kurang dari 10 kilometer persegi tersebut memiliki julukan sebagai “pulau awet muda”. Kepala desa setempat menuturkan kepada Jawa Pos bahwa rata-rata usia harapan hidup penduduk di atas 80 tahun. Bandingkan dengan angka harapan hidup nasional yang ‘baru’ mencapai 70,1 tahun.

Kandungan oksigen di pulau Gili Iyang merupakan tertinggi nomor dua di seantero jagat setelah Laut Mati di Yordania. Hal itu dianggap menjadi salah satu penyebab panjang umurnya penduduk setempat. Berdasarkan hasil riset disimpulkan kandungan oksigen menembus angka 21,5 persen atau di atas rata-rata 20 persen. Sebaliknya, CO2 (karbon dioksida) mencapai 265 ppm, jauh di ambang batas 387 ppm. Sedangkan tingkat kebisingan 36,5 db. Sungguh, tempat yang ideal untuk hidup sehat. Udara segar melimpah di sana, meskipun tidak terdapat perbukitan atau gunung. Bernafas pun leluasa.

Di belahan bumi Indonesia lainnya. Di Sumatra dan Kalimantan, berjuta penduduknya kesulitan bernafas. Bencana asap akibat kebakaran (pembakaran?) hutan telah melanda dalam hitungan bulan. Seakan tak berkesudahan. Orang-orang sesak nafas. Bayi-bayi kesakitan, sebagian meninggal. Anak-anak sekolah diliburkan. Aktivitas masyarakat terbengkalai. Tahun 2015 menjadi tahun terparah bencana asap. Melengkapi kepungan asap yang rutin melanda setiap tahun.



Asap tak mengenal kewarganegaraan. Ia tak mengenal paspor. Sesuai sifatnya ia bebas kemana saja, sesuai ke arah mana angin berhembus. Batas teritorial negara pun tak digubrisnya. Jadilah negara tetangga terkena dampaknya, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Thailand menerima dampak terparah ketika terjadi kebakaran hutan hebat di Indonesia pada Oktober 1997. Pada 2006, giliran Malaysia yang harus menerima dampak terparah bencana asap. Warganya pun marah yang diekspresikan dengan unjuk rasa mengepung Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur oleh para demonstran.

Tahun 2013, Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam pun menyindir secara diplomatis, dengan langsung menelepon Marty K Natalegawa, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, ikut merasa prihatin atas situasi kabut asap yang bertambah parah. Pemerintah Singapura mempertegas komitmen untuk membantu Indonesia mengatasi kebakaran hutan. Namun sikap yang diekspresikan Indonesia tak seperti diharapkan. Seorang menteri Indonesia malah menyebut protes Singapura sebagai kekanak-kanakan dan membuat keributan yang tak ada gunanya. Pemerintah tegas menolak tawaran bantuan negara lain dan merasa mampu untuk mengatasi sendiri masalah kebakaran hutan.

Akibat bencana asap pula, ditengarai menyebabkan kecelakaan pesawat. 26 September 1997, pesawat penumpang milik Garuda Indonesia bertipe Airbus A300 dengan nomor penerbangan GA 152 berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta dengan membawa 222 penumpang dan 12 awak. Pesawat menabrak tebing karena jarak pandang tertutup kabut dan jatuh di desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, saat hendak mendarat di Bandara Polonia Medan. Pesawat kemudian meledak berkali-kali. Tak ada yang selamat. Jenazah yang tidak dikenali dimakamkan secara massal di dekat lokasi jatuhnya pesawat, kini bernama Monumen Membrano, untuk mengenang musibah tersebut.

Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan kebakaran hutan sangat dahsyat. Seorang ekonom berpendapat bahwa total emisi gas karbon yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997 lebih besar jika dibandingkan dengan dampak kebakaran kilang-kilang minyak Kuwait saat berkecamuk Perang Teluk. Kini, 18 tahun berselang, bencana asap terulang lagi. Kali ini dampak sosial ekonomi yang dihasilkan bisa jadi lebih besar.

Sementara itu, berseberang lautan dari wilayah bencana asap,terbentang jarak beratus-ratus kilometer, masih di bumi Indonesia. Di sini, di pulau Jawa, bencana asap akibat kebakaran (dibakarnya) hutan tak menimpa. Penduduknya pun masih sanggup menikmati oksigen, meskipun tak semutu Gili Iyang, paling tidak masih lebih baik dibanding Pekanbaru maupun Palangkaraya. Namun, di sini, bencana asap dalam bentuk lain pun tak kalah dahsyatnya. Asap yang menyelinap di ruang-ruang publik, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, termasuk intansi pemerintah. Asap yang mengandung lebih dari 7000 jenis bahan kimia, seperti arsenik, nikel, kadmium, dan formaldehida. Asap yang dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)