Pelajaran Antri

Jumat, 23 Oktober 2015


Tak banyak yang mengenal nama Bagus Burhan. Tapi jika disebutkan Ranggawarsita?  Banyak yang paham. Bagus Burhan adalah nama asli dari Ranggawarsita, pujangga besar budaya Jawa (1802-1873). Ayahnya keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya keturunan Kesultanan Demak. Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro.

Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tahun 1845. Pada masa inilah dia melahirkan banyak karya sastra. Ia terkenal karena menuliskan tentang datangnya Zaman Edan. Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkannya dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu ungkapan yang paling terkenal adalah: “Amenangi zaman edan, yen ora edan ora keduman”.

Amenangi zaman edan, yen ora edan ora keduman. Kurang lebihnya berarti mengalami zaman kegilaan, kalau tidak ikut-ikutan gila tidak akan kebagian. Bila dikaitkan atau dihubungkan dengan kondisi sekarang, zaman edan mendapatkan relevansinya. Banyak orang menghalalkan segala cara (edan, gila) untuk mendapatkan yang diinginkan. Cara edan itu bisa dengan maling, mbegal, menipu, menyuap, korupsi untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita, serta pria (biar imbang). Saling gasak, gesek, gosok.

Amenangi zaman edan ning dalan aspal, yen ora ngedan bakal ditabrak sedan. Ini petuah Ranggawarsita pula? Ah tidak, mana ada sedan di jaman Ranggawarsita. Kalaupun ada, tak sebanyak di zaman Andrea Hirata. Itu sekadar ungkapan untuk perilaku pengendara jalan sekarang. Mengalami kegilaan di jalan raya, kalau tidak ikut-ikutan gila (ugal-ugalan, arogan, mbegundhal) malah celaka ditabrak kendaraan lain.


 

Di media sosial kerap kita baca dan saksikan berita tentang perilaku arogan pengendara di jalan raya. Di Jogja, saking jengkelnya ada seseorang yang dengan gagah berani menghentikan konvoi motor gedhe (moge) yang tak mau mematuhi lampu lalu lintas. Bayangkan, seorang lelaki kerempeng bersepeda angin berhadapan dengan ratusan (gerombolan?) pengendara motor gedhe yang bunyi mesinnya saja bisa membuat gemetar kacamata.

Saya pernah melihat foto seorang anak kecil Palestina yang sedang melempar tank Israel dengan batu. Mungkin serupa itulah. Bila dikeroyok, babak belur dia, karena rata-rata anggota moge orang besar, baik besar badannya maupun pangkatnya. Perang mulut pun sempat terjadi karena salah satu pengendara moge turun, tak terima aktivitasnya dihentikan si kerempeng. Sang moge beralasan ia sedang menuju acara kenegaraan. Acara kenegaraan yang dimaksud adalah upacara 17-an komunitas yang dipimpin oleh mantan petinggi polisi. Si kerempeng tak mau kalah, lampu merah berarti semua kendaraan harus berhenti, tak peduli moge, mocil, bahkan mocin, apalagi modar. Kita juga turut menyaksikan, alat negara resmi (polisi) pun berdiam diri.

Dunia jalanan kiranya berubah menjadi rimba liar, sebab segala soalnya bergantung si kuat. Semakin besar kendaraan, semakin merasa kuat. Semakin kuat, semakin abai pada yang kecil. Hal ini memunculkan arogansi sehingga merasa boleh berkendara sesuka hati.

Di negeri ini, khususnya Jawa, sejarah jalan raya baru mulai abad ke-19. Dibangunnya jalan raya menjadi titik balik peradaban yang amat penting. Menurut Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Kebudayaan ITB, jalan raya adalah salah satu awal modernisasi. Kehadiran sepeda motor dan kendaraan roda empat tidak hanya menggantikan kuda, tetapi juga memunculkan gaya hidup baru. Gaya hidup menunggang ”kuda besi” di jalan telah mengikis fungsi dan peran manusia. Benar bahwa kendaraan digerakkan manusia, tetapi manusia tidak berdaya jika tidak mengikuti sistem mesin. Subyek manusia lesap.
 
Arogansi di jalan raya menjadi paradoks modernisme. Modernisme yang awalnya merupakan proyek penciptaan adab justru menjadikan manusia tidak beradab. Dalam konteks ini, jalan raya tidak lagi menjadi tempat lalu lintas manusia, melainkan lalu lintas besi. Tragisnya, hukum kita rupanya juga hukum besi, yaitu hukum yang tidak beradab. Hukum yang sering memenangkan si kuat, si gedhe, si edan (meminjam istilah eyang Ranggawarsita).

Ada yang mengatakan perilaku arogan di jalan raya merupakan kegagalan pendidikan negeri ini. Kegagalan mendidik manusia menjadi manusia yang menghormati manusia lain. Kegagalan untuk bersabar, berdisiplin, dan  tabah. Padahal pelajaran pertama kita di taman kanak-kanak adalah mengantri. Namun, lama-kelamaan dikalahkan dengan seabrek pelajaran yang bikin pusing anak-anak, seiring naiknya tingkat pendidikan.

Konon seorang guru di Australia pernah berkata, “Kami tidak terlalu khawatir jika anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai matematika, kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri”. Kenapa? Karena anak hanya perlu dilatih selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa matematika, sementara anak perlu dilatih hingga 12 tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.

Tidak semua anak kelak akan bekerja menggunakan ilmu matematika kecuali tambah, kurang, bagi, dan kali. Sebagian anak kelak menjadi penulis, pelukis, penyanyi, atlit, dan sebagainya. Biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan matematika. Sementara semua murid dalam satu kelas pasti membutuhkan pelajaran berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak, yakni menghormati hak orang lain. Demikian kata bule Australia itu.

Lambemu wur... wur, kayak wis tau neng ngostrali wae.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)