Mencegah Intervensi Politik

Senin, 28 Januari 2013

Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia diwarnai oleh kooptasi partai politik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS dan keberpihakan pada partai politik menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak digunakan semestinya, melainkan atas kepentingan-kepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemanan politik (Prasojo, 2006).

Ketika PNS telah ditegaskan untuk netral terhadap setiap kepentingan politik, maka seharusnya ada ketegasan pula terhadap jabatan politik agar tidak mempolitisasi birokrasi untuk kepentingan politik sesaat. Menurut Thoha (2009), seharusnya jabatan politik yang berasal dari kekuatan politik itu jika terpilih menjadi pejabat negara tidak lagi menjabat struktural dalam kepengurusan partai politiknya. Dengan demikian jabatan negara yang memimpin birokrasi bersama-sama tidak ada kaitannya dengan aspirasi politik dari partai politiknya. Jabatan rangkap seperti yang selama ini dilaksanakan akan membuat lembaga birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari dari penyalahgunaan wewenang.

Yang terjadi dalam praktek selama malah berseberangan. Masih jarang terjadi seseorang yang diangkat maupun terpilih menjadi pejabat negara yang memimpin instansi pemerintahan ia melepaskan ikatan struktural dengan partai politiknya. Dalam tataran nasional, di era reformasi seluruh Presiden mulai Gur Dur, Megawati, hingga SBY tetap dalam lingkup struktural partai politik masing-masing. Pada tingkat daerah hal inipun tidak jauh berbeda. Bahkan ada Kepala Daerah yang awalnya berasal dari kalangan non politisi, ketika terpilih mereka masuk dalam struktur kepengurusan partai politik. Beberapa di antaranya malah menjadi ketua partai di daerah masing-masing, misalnya Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Tengah.

Upaya lain yang bisa dilakukan untuk menghilangkan intervensi politik dalam birokrasi adalah dengan menjadikan jabatan karir birokrasi tertinggi pada masing-masing institusi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka Sekretaris Daerah merupakan puncak karir tertinggi dalam birokrasi, artinya Sekretaris Daerah dijadikan sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah. Dengan demikian, apabila Kepala Daerah terpilih tidak bersedia melepaskan ikatan struktural dengan partai politik, ia tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi birokrasi.


Kedua alternatif di atas akan bermakna jika dituangkan dalam bentuk regulasi yakni UU. Maka reformasi birokrasi, salah satunya dengan mengubah atau sekalian saja melahirkan  UU baru. Termasuk yang penting untuk diatur dalam UU baru itu adalah ketegasan antara jabatan politik dan jabatan birokrasi serta domain kewenangan masing-masing sehingga satu sama lain tidak saling mengintervensi.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

akar permasasalahan sesungguhnyan adalah tidak adanya tidak itikad baik, atau setidaknya kemauan politik dari penguasa untuk mewujudkanya> mereka cenderung menikmati pola yang sudah ada karena lebih menguntungkan.....

salam kenal

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)