Penyebab Inefisiensi Birokrasi

Sabtu, 22 Oktober 2011

Berdasarkan data sebuah LSM yakni FITRA, membengkaknya ongkos birokrasi disebabkan oleh sepuluh hal. Hal-hal itu antara lain :
 
Pertama, pemberian remunerasi. Pemberian remunerasi dimulai tahun 2007 dengan Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) sebagai pelopornya. Dengan pemberian renumerasi penghasilan PNS menjadi berlipat-lipat. Bayangkan saja di Kemenkeu pemberian remunerasi pejabat dengan grade I hingga Rp 46,9 juta. Apa kagak bikin ngiler atuh. Tapi kasus Gayus Tambunan, PNS Kemenkeu yang notabene memperoleh renumerasi membelalakkan mata, ”Apa kata dunia!” Sudah gaji berlipat-lipat, masih saja bermafia ria. Kami yang bekerja di daerah sama sekali tak menerima renumerasi lho. Camkan itu. Tapi imbasnya kalau ada hal-hal yang negatif ya kena juga (baca : nggak dapet buahnya kena getahnya).
 
Kedua, kenaikan gaji pegawai, pemberian gaji ke-13, pemberian uang makan. Wah, kalau kenaikan gaji dan pemberian gaji ke-13 saya masih senang tuh. Alhamdulillah disyukuri apa yang ada. Tapi untuk uang makan kayaknya Pemda kami nggak sanggup memberikannya. Ya nggak pa-palah cukup minum air putih, sehat dan menyegarkan. Makan siang beli sendiri.
 
Ketiga, istana menggemukan birokrasi. Benar juga kayaknya. Katanya mau mereformasi birokrasi tapi nyatanya menambah pos-pos dan jabatan-jabatan baru. Sebut saja Presiden menambah jabatan Wakil Menteri untuk hampir semua Menterinya.
 
Keempat, banjir komisi. Lembaga Kepresidenan justru tidak mampu memberikan contoh bagi Kementerian/ Lembaga lain. Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dengan struktur. Maka dibentuk lagi lembaga di lingkungan istana Presiden seperti staf khusus, staf pribadi, juru bicara, unit kerja, dewan pertimbangan Presiden, satgas mafia hukum dan Satgas TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Setuju bos...
 
Kelima, kebijakan pegawai tanpa mempertimbangkan anggaran. Yah, memang era sekarang masing-masing daerah berlomba-lomba menambah pegawai yang tentunya berimbas pada tersedotnya anggaran daerah. Kabarnya terdapat 124 daerah yang beban belanja pegawainya melebihi 60 persen dan 16 daerah di antaranya mencapai 70 persen. Berarti sisanya baru yang untuk rakyat ya. Kabupaten Ngawi berapa ya gan?
 
Keenam, tunjangan pegawai daerah. PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memperbolehkan daerah memberikan tambahan tunjangan pada pegawai daerah. Di DKI Jakarta, pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, dan staff mendapat tambahan antara Rp 4,7–2,9 juta. Fantastis. Di daerah kami belum ada tuh. Ngos-ngosan tampaknya.
 
Ketujuh, skema dana perimbangan. Skema dana perimbangan saat ini belum berpihak pada daerah. Sejak otonomi daerah sebanyak 70 persen urusan didesentralisasikan ke daerah, sementara pusat memegang lima kewenangan utama. Namun berbanding terbalik dari sisi fiskal, sejak tahun 2005 rata-rata belanja transfer daerah 31 persen dari APBN. Membengkaknya belanja pegawai, juga disebabkan oleh formula DAU yang tidak memberikan insentif daerah.
 
Kedelapan, politisasi birokrasi. Sistem rekrutmen yang sarat KKN terhadap PNSD dan politisasi birokrasi masih terjadi di daerah. Meski pusat memiliki kontrol untuk menilai formasi pegawai yang dibutuhkan dan rekrutmen, namun tidak dapat dibantah aroma suap masih tercium saat rekrutmen. Rekrutmen juga tidak terlepas dari politisasi, menjelang Pilkada, Kepala Daerah sebagai Pembina PNSD akan merekrut lebih banyak PNSD untuk meraih dukungan. Ya saya setuju sekali. Aromanya jelas tercium. Indikasinya penggalangan massa, pemberian bantuan dari pemerintah yang diberikan melalui incumbent, penarikan setoran uang, sumbangan spanduk, sambutan di acara-acara dinas yang mempromosikan incumbent.
 
Kesembilan, tidak ada rasio pegawai berdasarkan karakteristik daerah. Sampai saat ini pemerintah belum memiliki rasio jumlah pegawai yang ideal untuk melakukan pelayanan publik. Ketiadaan rasio ini menjadi penyebab terus menerus dilakukan rekrutmen pegawai tanpa memperhatikan kebutuhan. Berapa sih sebenarnya rasio ideal pegawai? 1:1? 1:10? 1:10 juta? Entahlah, saya saja belum tahu teorinya apalagi menghitungnya.
 
Kesepuluh, pemekaran daerah. Pemekaran daerah juga menjadi pemicu membengkaknya belanja pegawai di daerah. Sebagai konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai merupakan keharusan, ditambah rekrutmen yang masih mengutamakan putra daerah dibandingkan profesionalitas. Untung di Ngawi tidak ada pemekaran.

Demikian bos, FITRA sudah tahu permasalahan birokrasi, sekarang tinggal kemauan dan kemampuan pihak yang berwenang. Mudah-mudahan birokrasi Indonesia semakin mantap. Mudah-mudahan tidak lagi terdengar ucapan, ”Kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah.”

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentarnya

 

Label

kepegawaian (171) coretan (126) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) pustaka (62) keluarga (58) tentang ngawi (58) hukum (49) peraturan (46) tentang madiun (37) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)