Saya masih ingat betul, tahun-tahun itu adalah era di mana dunia terasa jauh lebih lambat. Tahun 1992 hingga 1995 saya masih duduk di bangku sekolah dengan seragam putih-biru dan putih-abu-abu. Berita dunia, bagi kami datang dari satu sumber utama, yaitu TVRI, atau dari lembaran koran yang saya baca di persewaan komik dan novel dekat Pasar Besar Kota Madiun.
Saat itulah, di antara berita pembangunan desa dan lagu wajib nasional, muncul nama-nama asing: Sarajevo, Srebrenica, Bosnia, Yugoslavia. Ada perang di sana. Perang yang aneh, karena orang-orang yang berperang terlihat sama, berpakaian sama, tapi tiba-tiba saling membunuh karena identitas yang memisahkan mereka. Sebagai remaja Indonesia yang hidup nyaman di bawah sinar matahari khatulistiwa, sulit sekali mencerna mengapa perpecahan etnis dan agama bisa berujung pada kekejaman yang begitu terorganisir.
Saya tahu ada genosida, ada penembakan, ada konflik antara Serbia, Kroasia, dan Bosnia. Semua terasa seperti narasi buku sejarah yang letaknya ribuan kilometer dari sini. Tapi, cerita itu benar-benar menjadi nyata, menjadi personal, ketika bertahun-tahun kemudian saya menonton film “Quo Vadis, Aida?” karya sutradara Jasmila Žbanić.
Film ini bukan hanya pelajaran sejarah. Ini adalah tamparan emosional yang memaksa kita melihat langsung ke lokasi tragedi. Film ini berlatar belakang Juli 1995, pada saat terjadinya Pembantaian Srebrenica, salah satu halaman paling gelap dalam sejarah Eropa pasca Perang Dunia II.
