Di kota-kota besar, akses terhadap informasi terasa semudah membalikkan telapak tangan. Kita bisa berkunjung ke toko buku megah dengan aroma kopi yang menenangkan, perpustakaan digital yang bisa diakses sambil rebahan, hingga koneksi internet yang membawa seluruh perpustakaan dunia ke dalam genggaman. Namun, jika kita melangkah jauh ke pinggiran nusantara—ke desa-desa yang tersembunyi di balik bukit atau pulau-pulau yang hanya bisa dicapai dengan perahu kecil—ceritanya sungguh berbeda.
Di sana, buku sering kali menjadi barang mewah yang langka. Bagi anak-anak di pelosok, sebuah buku cerita bukan sekadar tumpukan kertas, melainkan “jendela” yang benar-benar mereka butuhkan untuk melihat dunia di luar garis cakrawala desa mereka. Di sinilah, muncul sosok-sosok luar biasa yang tidak mau berpangku tangan. Mereka adalah para pejuang literasi yang melakukan strategi “menjemput bola”, membawa ilmu pengetahuan menembus medan yang sulit demi memastikan api rasa ingin tahu anak-anak bangsa tetap menyala.
Di Lampung, ada seorang pria luar biasa bernama Sugeng Hariyono. Ia bukan seorang pustakawan formal atau pejabat pendidikan. Ia seorang montir motor. Namun, kesehariannya tidak hanya dihabiskan dengan oli dan mesin. Sugeng mengubah motor pribadinya menjadi sebuah perpustakaan berjalan yang ia beri nama “Motor Pustaka”.
Setiap hari, setelah menyelesaikan pekerjaan di bengkel, Sugeng memacu motor yang telah dimodifikasi dengan rak kayu penuh buku di sisi kanan dan kirinya. Ia masuk ke pelosok desa, melintasi jalanan tanah yang berdebu saat kemarau dan becek saat hujan. Kehadirannya selalu disambut sorak-sorai anak-anak.
Bagi Sugeng, literasi adalah cara untuk memutus rantai kemiskinan. Ia percaya bahwa jika anak-anak desa gemar membaca, mereka akan memiliki imajinasi dan cita-cita yang lebih tinggi dari apa yang mereka lihat sehari-hari. Dengan bensin dari kantong sendiri, Sugeng membuktikan bahwa sebuah motor tua bisa menjadi kendaraan paling canggih untuk mengangkut masa depan sebuah generasi.
Selanjutnya, jika kita berbicara tentang literasi di daerah terbelakang, kita tidak bisa melewatkan nama Nirwan Ahmad Arzuka. Ia arsitek di balik gerakan masif Pustaka Bergerak Indonesia. Nirwan menyadari bahwa kendala utama literasi di daerah pinggiran adalah distribusi dan biaya kirim buku yang sangat mahal ke pelosok.
Nirwan membangun jaringan relawan yang kreatif secara luar biasa. Di bawah naungan semangat Pustaka Bergerak, muncul berbagai inovasi unik yang menyesuaikan dengan kearifan lokal. Ada Kuda Pustaka di Gunung Slamet yang membawa buku dengan kuda karena medannya yang menanjak curam. Ada Perahu Pustaka yang mengarungi perairan Sulawesi dan Maluku untuk menjangkau anak-anak nelayan. Bahkan ada Noken Pustaka di Papua.
Nirwan berhasil melobi pemerintah dan perusahaan ekspedisi untuk mengadakan “Hari Bebas Biaya Kirim Buku” setiap bulan. Aksi ini seperti membuka sumbat bendungan ilmu. Ribuan ton buku dari para donatur di kota kini bisa mengalir deras ke taman bacaan di ujung-ujung negeri tanpa terhalang ongkos kirim. Nirwan mengajarkan kita bahwa kepahlawanan literasi butuh strategi dan jaringan yang kuat.
Berikutnya, ada Butet Manurung. Kisah yang satu ini membawa kita jauh ke dalam hutan belantara Jambi, tempat masyarakat adat Orang Rimba tinggal. Butet Manurung melalui lembaga Sokola Rimba, membawa konsep literasi yang sangat mendalam dan fungsional. Bagi Butet, mengajarkan baca-tulis kepada anak-anak hutan bukan sekadar agar mereka bisa membaca dongeng, tetapi agar mereka bisa bertahan hidup.
Di daerah terbelakang seperti itu, masyarakat adat sering kali menjadi korban penipuan karena tidak bisa membaca kontrak atau surat-surat sengketa lahan. Butet tinggal bersama mereka, mengikuti pola hidup mereka, dan mengajar dengan metode yang sangat menghargai budaya setempat.
Anak-anak didiknya belajar membaca di bawah naungan pohon besar atau di atas rimbun dedaunan. Literasi yang dibawa Butet adalah literasi yang membebaskan. Ketika seorang anak Orang Rimba bisa membaca surat perjanjian dari perusahaan sawit yang hendak mengambil tanah ulayat mereka, di situlah literasi menjadi senjata paling sakti. Butet membuktikan bahwa pendidikan di daerah pinggiran haruslah relevan dengan tantangan hidup yang mereka hadapi.
Melihat kiprah Sugeng, Nirwan, dan Butet, kita bisa melihat sebuah pola yang indah. Kepahlawanan literasi di Indonesia bukan lagi tentang membangun gedung perpustakaan yang megah dan statis, melainkan tentang pergerakan.
Para pejuang ini menyadari bahwa buku tidak bisa hanya diam menunggu di rak. Buku harus “berlari” mencari pembacanya. Mereka menghadapi tantangan yang tidak mudah: infrastruktur yang rusak, kurangnya koleksi buku yang menarik, hingga pola pikir sebagian masyarakat yang masih menganggap membaca bukan sebuah prioritas. Namun, mereka tetap bertahan karena mereka melihat binar mata anak-anak saat berhasil mengeja kata pertama mereka atau saat menemukan gambar luar angkasa di balik sampul buku tua.
Literasi di daerah pinggiran adalah tentang memberikan martabat. Dengan membaca, anak-anak di ujung nusantara merasa bahwa mereka adalah bagian dari dunia yang lebih luas. Mereka merasa diakui dan memiliki hak yang sama untuk bermimpi menjadi dokter, insinyur, atau bahkan penulis.
Kisah-kisah ini adalah pengingat bagi kita yang hidup dengan kemudahan akses informasi. Bahwa di balik kenyamanan kita, ada orang-orang yang harus bertaruh nyawa menyeberangi sungai atau menembus hutan hanya untuk meminjamkan sebuah buku cerita.
Orang-orang hebat ini telah menyalakan pelita di beranda-beranda negeri yang gelap. Tugas kita sekarang adalah membantu menjaga agar pelita itu tidak padam. Kita bisa mulai dengan menyumbangkan buku layak baca, mendukung gerakan relawan literasi, atau sesederhana menyebarkan kisah inspiratif mereka. Karena pada akhirnya, kemajuan Indonesia tidak diukur dari seberapa banyak gedung pencakar langit di kota, melainkan dari seberapa banyak anak di ujung nusantara yang bisa membaca masa depan mereka dengan bahagia.

0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya