Yasser Arafat dari Palestina dan Mohammad Hatta dari Indonesia merupakan dua tokoh penting perjuangan bangsanya yang memiliki kesamaan pandangan. Kesamaan itu adalah ikrar untuk menunda melangsungkan pernikahan sebelum bangsanya merdeka dari penjajahan. Keduanya memenuhi nazar. 15 November 1988, di Aljir, Aljazair, Arafat mendeklarasikan kemerdekakan Palestina. Dua tahun kemudian saat berusia 61 tahun ia menikahi Suha Tawil yang lebih muda 34 tahun darinya.
Bagaimana dengan Hatta? Ia lebih beruntung. Saat Indonesia merdeka, usianya “baru” 43 tahun. Ia sendiri bersama sahabat dekatnya, Soekarno, mengatasnamakan rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Soekarno pulalah yang mempunyai peran amat penting dalam perjodohan Hatta dengan menjadi mak comblang. Saat ditanya oleh Soekarno tentang siapa kira-kira orang yang diingikan untuk dinikahi, Hatta menjawab, “Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya.” Setelah ditelusuri ternyata gadis pilihan proklamator kelahran Bukittinggi itu adalah Rahmi, putri keluarga Rachim.”
Menjelang tengah malam, Soekarno mendatangi rumah keluarga Rachim di Burgermeester Koops Weg, atau yang sekarang dikenal sebagai Jl. Pajajaran No. 11 Bandung dan melamar Rahmi untuk Hatta. Pada 18 November 1945 atau tiga bulan setelah kemerdekaan, Hatta menikahi Rahmi di Megamendung, Bogor. Nazar pun tertunaikan. Lazimnya mas kawin yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan adalah uang perak atau uang ringgit yang terbuat dari emas. Itu pula yang diharapkan oleh ibunda Hatta pada anak lelaki satu-satunya tersebut. Tapi dasar Hatta si kutu buku. Sebagai mas kawin, Hatta memberikan buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” yang ditulisnya saat berada di Digul pada masa pengasingan pemerintah kolonial.
Sejak muda Hatta memang tergila-gila dengan buku. Ia telah mengoleksi buku saat Sekolah Dagang di Batavia. Waktu itu usianya baru 17 tahun. Selepas kuliah di negeri Belanda, Hatta pulang ke Indonesia dengan membawa serta buku-bukunya sebanyak 16 peti besi. Masing-masing peti berukuran setengah meter kubik. Sedangkan untuk pakaian ia hanya membawa satu koper saja. Saat diasingkan ke Boven Digul menggunakan kapal yang jauhnya ribuan kilometer, 16 peti berisi buku itu turut dibawanya. Demikian pula saat dipindah-buang ke Banda Neira, kembali lagi ke Jakarta, dan kemudian ke Bangka.
Bangsa Yang Sakit
Senin, 07 Desember 2015
Keluarga Nyonya Siami hanyalah keluarga penjahit biasa saja yang tinggal di Surabaya. Tak tampak tanda-tanda kalau keluarganya vokalis anti korupsi layaknya aktivis mahasiswa. Namun, tahun 2011 itu menjadi tahun yang tak terlupakan bagi Siami. Ia tak pernah membayangkan niat tulus mengajarkan kejujuran kepada anaknya akan menuai petaka. Ia diusir oleh ratusan warga yang notabene tetangganya sendiri setelah melaporkan guru SD yang memaksa anaknya, sebut saja Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian nasional.
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan ujian, Al dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Oknum guru itu juga diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan. Al pun bimbang. Anak yang belum dewasa ini mesti menghadapi persoalan pelik. Karena tertekan, saat hari H, Al tetap memberikan contekan namun dengan cerdiknya, ia plesetkan jawabannya.
Siami baru mengetahui kasus itu beberapa hari seusai ujian. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al diplot untuk memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan taktik kotor itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al mengaku. Siami kemudian menemui kepala sekolah. Dalam pertemuan itu, kepala sekolah hanya menyampaikan permohonan maaf. Ini tidak memuaskan Siami. Dia penasaran, apakah skenario contek-mencontek itu memang didesain pihak sekolah atau hanya dilakukan secara pribadi oleh guru kelas 6.
Setelah itu, dia mengadu pada Komite Sekolah, namun tidak mendapat respon memuaskan, sehingga akhirnya dia melaporkan masalah ini ke Dinas Pendidikan serta berbicara kepada media, sehingga kasus itu menjadi perhatian publik. Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami. Keluarga Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, menghujat tindakan Siami. Miris, di negeri ini orang yang melaporkan kecurangan, malah hendak diusir dari kampungnya.
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan ujian, Al dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Oknum guru itu juga diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan. Al pun bimbang. Anak yang belum dewasa ini mesti menghadapi persoalan pelik. Karena tertekan, saat hari H, Al tetap memberikan contekan namun dengan cerdiknya, ia plesetkan jawabannya.
Siami baru mengetahui kasus itu beberapa hari seusai ujian. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al diplot untuk memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan taktik kotor itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al mengaku. Siami kemudian menemui kepala sekolah. Dalam pertemuan itu, kepala sekolah hanya menyampaikan permohonan maaf. Ini tidak memuaskan Siami. Dia penasaran, apakah skenario contek-mencontek itu memang didesain pihak sekolah atau hanya dilakukan secara pribadi oleh guru kelas 6.
Setelah itu, dia mengadu pada Komite Sekolah, namun tidak mendapat respon memuaskan, sehingga akhirnya dia melaporkan masalah ini ke Dinas Pendidikan serta berbicara kepada media, sehingga kasus itu menjadi perhatian publik. Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami. Keluarga Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, menghujat tindakan Siami. Miris, di negeri ini orang yang melaporkan kecurangan, malah hendak diusir dari kampungnya.
Karya Anak Negeri
Jumat, 04 Desember 2015
Di Staffordshire, seorang remaja berusia 15 tahun, Tom Wagg berhasil mengalahkan para astronom profesional setelah menemukan sebuah planet baru dengan bantuan kamera teleskop. Ia sedang bekerja magang di Universitas Keele, Inggris ketika melihat sebuah titik kecil di depan cahaya sebuah bintang yang berjarak 1.000 tahun cahaya dari Bumi. Setelah penelitian saksama selama dua tahun, para ilmuwan menetapkan bahwa titik itu adalah sebuah planet yang tengah melintasi sebuah bintang sehingga menghalangi cahaya bintang itu. Planet baru ini diyakini berukuran sebesar Jupiter, planet terbesar dalam galaksi Bima Sakti, dan mengelilingi mataharinya hanya dalam waktu dua hari.
Di Jombang, tepatnya di Dusun Joho Clumprit, Desa Sumobito, seorang gadis sepantaran dengan Tom Wagg berhasil membuat kehebohan. Bukan karena penemuan planet baru. Ineke Puspitasari, remaja 14 tahun tersebut menemukan 11 tuyul. Ia mengaku memiliki indera keenam yang mampu melihat makhluk gaib. Ditangkapnya mahkluk kasat mata itu lalu dimasukkan ke sebuah toples kaca. Menurut Pipit, panggilan si penemu tuyul, belasan tuyul yang kini terpenjara di dalam toples itu memiliki wujud yang menyerupai anak kecil dengan tinggi badan tak sampai 100 cm. Tubuh makhluk gaib yang kerap dikaitkan untuk pesugihan ini berwarna merah. Kedua telinganya seperti telinga kelelawar, matanya merah menyala seperti api, mulutnya vertikal, kakinya hanya berjari 3, kalau berjalan berjinjit.
Penemuan tuyul oleh seorang remaja ini melengkapi penemuan heboh beberapa tahun sebelumnya, yakni penemuan batu oleh seorang bocah bernama Ponari. Kebetulan keduanya sama-sama berasal dari Jombang. Batu Ponari diyakini dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Batu yang dipegang oleh Ponari cukup dicelupkan ke dalam wadah yang berisi air, maka air itupun dianggap berkhasiat. Air tersebut bisa diminum atau diusapkan ke tubuh yang sakit, begitulah metode pengobatannya, sangat simpel. Bahkan, air bekas mandi Ponari pun menjadi rebutan. Maka, berduyun-duyun ribuan orang antre berobat ke “dukun cilik” Ponari. Ponari menjadi jutawan mendadak. Namanya menjadi buah bibir seantero negeri.
Rakyat negeri ini memang menyukai hal-hal yang berbau ghaib, klenik, dan mistik. Lihat saja acara televisi yang akrab dengan tayangan sejenis. Pemirsa suka menonton seorang berjubah dan bersorban putih mendatangi tempat-tempat yang katanya angker. Kadang dia beradu kekuatan dengan “sesuatu” yang tak tampak. “Sesuatu” itu disebutkan sebagai mahkluk gaib. Ada yang konon wujudnya perempuan berambut panjang, ada yang anak kecil, ada yang orang bule yang katanya orang Belanda, ada yang harimau, ada yang kuda, ada yang cantik, ada yang menyeramkan, pokoknya macam-macam.
Di Jombang, tepatnya di Dusun Joho Clumprit, Desa Sumobito, seorang gadis sepantaran dengan Tom Wagg berhasil membuat kehebohan. Bukan karena penemuan planet baru. Ineke Puspitasari, remaja 14 tahun tersebut menemukan 11 tuyul. Ia mengaku memiliki indera keenam yang mampu melihat makhluk gaib. Ditangkapnya mahkluk kasat mata itu lalu dimasukkan ke sebuah toples kaca. Menurut Pipit, panggilan si penemu tuyul, belasan tuyul yang kini terpenjara di dalam toples itu memiliki wujud yang menyerupai anak kecil dengan tinggi badan tak sampai 100 cm. Tubuh makhluk gaib yang kerap dikaitkan untuk pesugihan ini berwarna merah. Kedua telinganya seperti telinga kelelawar, matanya merah menyala seperti api, mulutnya vertikal, kakinya hanya berjari 3, kalau berjalan berjinjit.
Penemuan tuyul oleh seorang remaja ini melengkapi penemuan heboh beberapa tahun sebelumnya, yakni penemuan batu oleh seorang bocah bernama Ponari. Kebetulan keduanya sama-sama berasal dari Jombang. Batu Ponari diyakini dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Batu yang dipegang oleh Ponari cukup dicelupkan ke dalam wadah yang berisi air, maka air itupun dianggap berkhasiat. Air tersebut bisa diminum atau diusapkan ke tubuh yang sakit, begitulah metode pengobatannya, sangat simpel. Bahkan, air bekas mandi Ponari pun menjadi rebutan. Maka, berduyun-duyun ribuan orang antre berobat ke “dukun cilik” Ponari. Ponari menjadi jutawan mendadak. Namanya menjadi buah bibir seantero negeri.
Rakyat negeri ini memang menyukai hal-hal yang berbau ghaib, klenik, dan mistik. Lihat saja acara televisi yang akrab dengan tayangan sejenis. Pemirsa suka menonton seorang berjubah dan bersorban putih mendatangi tempat-tempat yang katanya angker. Kadang dia beradu kekuatan dengan “sesuatu” yang tak tampak. “Sesuatu” itu disebutkan sebagai mahkluk gaib. Ada yang konon wujudnya perempuan berambut panjang, ada yang anak kecil, ada yang orang bule yang katanya orang Belanda, ada yang harimau, ada yang kuda, ada yang cantik, ada yang menyeramkan, pokoknya macam-macam.
Kita Bikin Ramai
Senin, 23 November 2015
“Hal-hal yang menyangkut kedaulatan, akan kita buat ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa tegas. Karena tegas menurut saya adalah berani memutuskan dan berani mengambil resiko!” demikian janji tegas Jokowi saat menjawab pertanyaan calon presiden Prabowo Subianto dalam acara debat capres di Hotel Holiday Inn, 22 Juni 2014. Menurutnya, resiko “membuat ramai” tersebut adalah resiko yang ia tempuh jika ada ancaman terhadap kedaulatan.
Takdir telah berkata bahwa Jokowi-lah pemenang dalam pemilihan presiden. Hari berganti hari, sekian bulan menduduki singgasana presiden, kita bersyukur ancaman terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak muncul, setidaknya belum muncul, walaupun potensi untuk itu selalu ada. Meski begitu janji tuan presiden untuk “kita buat ramai” saat ini tertunaikan. Ramai dalam bentuk yang lain. Ramai yang tak disangka-sangka. Awalnya, aparat kepolisian dibuat ramai dengan pencalonan Kapolri yang ternyata dijadikan tersangka. Tragisnya, Kapolri yang akan digantikan jabatannya itu sedang tidak menjelang pensiun.
Berikutnya publik disuguhi tontonan keramaian antar menteri yang bersilang pendapat. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Menteri Perdagangan (saat itu Rahmad Gobel) bergesekan mengenai kebijakan impor garam industri yang dinilai merugikan petani garam. Sebagai imbasnya, Menteri Susi yang juga bos maskapai Susi Air mengancam tidak akan melaksanakan tugas yang sudah dicanangkan tuan presiden mengenai pemberdayaan petani garam. Sementara Rahmad Gobel menegaskan bahwa garam yang diimpor beda spesifikasi dengan garam yang diproduksi di dalam negeri yang tidak bisa dimakan.
Setelah itu kita dikejutkan berita Mendagri Tjahjo Kumolo melaporkan menteri yang telah menghina dan menjelekan tuan presiden. Pada saat bersamaan di internal elit PDIP, partai pendukung tuan presiden, beredar teks mirip transkrip percakapan seorang menteri. Teks tersebut berbunyi, “Kalau memang saya harus dicopot, silakan! Yg penting presiden bisa tunjukan apa kesalahan saya dan jelaskan bahwa atas kesalahan itu, saya pantas dicopot! Belum tentu juga Presiden ngerti, apa tugas saya. Wong presiden juga nggak ngerti apa-apa.” Sejumlah elit PDIP ada yang gamblang menyebut orang yang merendahkan tuan presiden itu adalah menteri perempuan di sektor ekonomi. Satu-satunya menteri perempuan di sektor ekonomi adalah Menteri BUMN Rini Soemarno.
Takdir telah berkata bahwa Jokowi-lah pemenang dalam pemilihan presiden. Hari berganti hari, sekian bulan menduduki singgasana presiden, kita bersyukur ancaman terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tak muncul, setidaknya belum muncul, walaupun potensi untuk itu selalu ada. Meski begitu janji tuan presiden untuk “kita buat ramai” saat ini tertunaikan. Ramai dalam bentuk yang lain. Ramai yang tak disangka-sangka. Awalnya, aparat kepolisian dibuat ramai dengan pencalonan Kapolri yang ternyata dijadikan tersangka. Tragisnya, Kapolri yang akan digantikan jabatannya itu sedang tidak menjelang pensiun.
Berikutnya publik disuguhi tontonan keramaian antar menteri yang bersilang pendapat. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Menteri Perdagangan (saat itu Rahmad Gobel) bergesekan mengenai kebijakan impor garam industri yang dinilai merugikan petani garam. Sebagai imbasnya, Menteri Susi yang juga bos maskapai Susi Air mengancam tidak akan melaksanakan tugas yang sudah dicanangkan tuan presiden mengenai pemberdayaan petani garam. Sementara Rahmad Gobel menegaskan bahwa garam yang diimpor beda spesifikasi dengan garam yang diproduksi di dalam negeri yang tidak bisa dimakan.
Setelah itu kita dikejutkan berita Mendagri Tjahjo Kumolo melaporkan menteri yang telah menghina dan menjelekan tuan presiden. Pada saat bersamaan di internal elit PDIP, partai pendukung tuan presiden, beredar teks mirip transkrip percakapan seorang menteri. Teks tersebut berbunyi, “Kalau memang saya harus dicopot, silakan! Yg penting presiden bisa tunjukan apa kesalahan saya dan jelaskan bahwa atas kesalahan itu, saya pantas dicopot! Belum tentu juga Presiden ngerti, apa tugas saya. Wong presiden juga nggak ngerti apa-apa.” Sejumlah elit PDIP ada yang gamblang menyebut orang yang merendahkan tuan presiden itu adalah menteri perempuan di sektor ekonomi. Satu-satunya menteri perempuan di sektor ekonomi adalah Menteri BUMN Rini Soemarno.
Negeri Para Pahlawan
Kamis, 19 November 2015
Suatu saat, Buya Hamka membawa istrinya ke dalam sebuah majelis, di mana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol juga mempersilahkan istri beliau untuk berceramah. Mereka tentu berprasangka baik: istri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, istrinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”
Cerita tentang pahlawan sastra dan istrinya tersebut merupakan satu di antara sekian hikmah yang bisa ditemui dalam buku “Mencari Pahlawan Indonesia”. Buku tersebut adalah himpunan 76 kolom serial kepahlawanan di majalah Tarbawi yang ditulis oleh Anis Matta. Selama ini kita mengenal Anis sebagai politikus. Ia pernah menjadi ketua partai politik dan wakil ketua parlemen. Politik, dimaklumi sebagai dunia bergetah, juga beranjau. Namun pada sisi yang lain, meminjam ungkapan sastrawan Taufiq Ismail dalam pengantarnya, kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sana-sini, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.
Tulisan-tulisan Anis lahir akibat kegelisahannya akan kelangkaan pahlawan. Dalam bahasa yang puitis, menurutnya, negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit, sementara perempuan-perempuannya sedang tidak subur, mereka makin pelit melahirkan pahlawan. “Saya tidak pernah merisaukan benar krisis yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini. Krisis adalah takdir semua bangsa. Apa yang memiriskan hati adalah kenyataan bahwa ketika krisis besar itu terjadi, kita justru mengalami kelangkaan pahlawan. Fakta ini jauh lebih berbahaya, sebab di sini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa,” tulisnya.
Bagi Anis, seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya. Karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Pahlawan tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya.
Cerita tentang pahlawan sastra dan istrinya tersebut merupakan satu di antara sekian hikmah yang bisa ditemui dalam buku “Mencari Pahlawan Indonesia”. Buku tersebut adalah himpunan 76 kolom serial kepahlawanan di majalah Tarbawi yang ditulis oleh Anis Matta. Selama ini kita mengenal Anis sebagai politikus. Ia pernah menjadi ketua partai politik dan wakil ketua parlemen. Politik, dimaklumi sebagai dunia bergetah, juga beranjau. Namun pada sisi yang lain, meminjam ungkapan sastrawan Taufiq Ismail dalam pengantarnya, kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sana-sini, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.
Tulisan-tulisan Anis lahir akibat kegelisahannya akan kelangkaan pahlawan. Dalam bahasa yang puitis, menurutnya, negeri ini sedang melintasi sebuah persimpangan sejarah yang rumit, sementara perempuan-perempuannya sedang tidak subur, mereka makin pelit melahirkan pahlawan. “Saya tidak pernah merisaukan benar krisis yang melilit setiap sudut kehidupan negeri ini. Krisis adalah takdir semua bangsa. Apa yang memiriskan hati adalah kenyataan bahwa ketika krisis besar itu terjadi, kita justru mengalami kelangkaan pahlawan. Fakta ini jauh lebih berbahaya, sebab di sini tersimpan isyarat kematian sebuah bangsa,” tulisnya.
Bagi Anis, seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya. Karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Pahlawan tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya.
Pembedaan Golongan
Minggu, 15 November 2015
Pada masa penjajahan kolonial Belanda pembagian kelas penduduk di Indonesia diatur secara hukum oleh Pasal 162 juncto Pasal 131 Indische Staatregeling (IS). Dalam pasal tersebut komposisi penduduk dibagi menjadi 3 golongan yang juga menentukan tingkatan kelas. Kelas yang tinggi tentu saja lebih mendapatkan keistimewaan.
Pertama, Golongan Kulit Putih (Eropa, Amerika, Jepang, warga campuran (indo) dengan kriteria tertentu). Kedua, Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India). Ketiga, Golongan Bumiputera (pribumi/inlander/penduduk asli).
Penduduk pribumi yang dimasukkan sebagai rakyat kelas ketiga atau kelas paling bawah, sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Diskriminasi bisa terjadi pada lapangan pekerjaan, upah, jenis sekolah, tempat duduk dalam acara. Bahkan di sebuah gedung pernah dituliskan, "Anjing dan inlander dilarang masuk".
Politik segregasi peninggalan kolonial ini sekarang sudah dihapus. Indonesia telah merdeka, puluhan tahun usianya. Namun dalam keseharian, pembedaan golongan masyarakat masih dijumpai. Berikut, Kiai Haji Anwar Zahid, mubaligh kondang dari tanah Bojonegoro ini bertutur.
"Wong sugih karo wong melarat kuwi pancen beda, mangkat iring kemanten wae wis ketok beda.
Pertama, Golongan Kulit Putih (Eropa, Amerika, Jepang, warga campuran (indo) dengan kriteria tertentu). Kedua, Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab, India). Ketiga, Golongan Bumiputera (pribumi/inlander/penduduk asli).
Penduduk pribumi yang dimasukkan sebagai rakyat kelas ketiga atau kelas paling bawah, sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Diskriminasi bisa terjadi pada lapangan pekerjaan, upah, jenis sekolah, tempat duduk dalam acara. Bahkan di sebuah gedung pernah dituliskan, "Anjing dan inlander dilarang masuk".
Politik segregasi peninggalan kolonial ini sekarang sudah dihapus. Indonesia telah merdeka, puluhan tahun usianya. Namun dalam keseharian, pembedaan golongan masyarakat masih dijumpai. Berikut, Kiai Haji Anwar Zahid, mubaligh kondang dari tanah Bojonegoro ini bertutur.
"Wong sugih karo wong melarat kuwi pancen beda, mangkat iring kemanten wae wis ketok beda.
Kekerasan Polisi
Jumat, 13 November 2015
Francesco Vincent Serpico, lahir di kawasan hitam Brooklyin pada tahun 1936 sebagai anak bungsu dari pasangan Vincenzo dan Maria Giovanna Serpico, imigran Italia. Pernah menjadi tentara Amerika Serikat dan ditempatkan dua tahun di Korea Selatan sebagai infanteri hingga akhirnya ia bergabung menjadi anggota kepolisian di New York. Di sinilah kisah Serpico dimulai. Namanya menjadi legenda, tenar, dibukukan, dan dibuatkan film yang diperankan oleh aktor Al Pacino dengan judul yang sama dengan namanya, “Serpico”.
Awalnya Serpico adalah polisi biasa nan sederhana. Sampai suatu saat ia mulai menyadari bahwa berbagai penyimpangan terjadi di sekitar lingkungannya, sesama rekan polisi. Anggota kepolisian dihinggapi penyakit kronis. Mulai memeras, melindungi praktek perjudian, penyalur narkoba, terlibat penyuapan, dan korupsi. Serpico tak ikut arus, dan akibatnya ia dimusuhi. Pada tanggal 3 Februari 1971, dalam penggrebekan bandar besar narkoba, ia dikhianati. Ia ditembak oleh penjahat yang telah bermain mata dengan rekan-rekannya. Peluru memutuskan syaraf pendengaran, menyebabkan tuli pada salah satu telinga, dan sakit kronis.
Pada Oktober dan Desember 1971, Serpico bersaksi di depan Komisi Knapp, sebuah komisi yang dibentuk untuk mengungkap skandal suap di tubuh kepolisian. Hasilnya, dugaan penyimpangan terbukti benar adanya. Petinggi kepolisian akhirnya menindak mereka yang bersalah dan melakukan reformasi besar-besaran. Atas jasanya, Serpico diganjar penghargaan Medal of Honor. Sebulan kemudian, pada bulan Juni 1972 ia berhenti dari dinas kepolisian.
Kisah Serpico di Amerika Serikat ini mirip dengan Novel di Indonesia. Sama-sama mengungkap kebusukan ulah petinggi sebuah institusi namun akhirnya dimusuhi sendiri sesama anggota korps. Komisaris Polisi Novel Baswedan adalah seorang penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian. Ia sedang memimpin proses penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi dan menengah kepolisian. Hingga tiba-tiba, beberapa saat kemudian Novel berbalik disangka melakukan kejahatan saat bertugas di Bengkulu bertahun-tahun sebelumnya. Secara demonstratif, polisi dalam jumlah banyak berusaha menangkap Novel di kantor KPK. Timbullah selisih paham yang akhirnya membawa konflik antara KPK dan Kepolisian, kedua lembaga yang sama-sama diberi amanah menegakkan hukum. Presiden pun turun tangan.
Awalnya Serpico adalah polisi biasa nan sederhana. Sampai suatu saat ia mulai menyadari bahwa berbagai penyimpangan terjadi di sekitar lingkungannya, sesama rekan polisi. Anggota kepolisian dihinggapi penyakit kronis. Mulai memeras, melindungi praktek perjudian, penyalur narkoba, terlibat penyuapan, dan korupsi. Serpico tak ikut arus, dan akibatnya ia dimusuhi. Pada tanggal 3 Februari 1971, dalam penggrebekan bandar besar narkoba, ia dikhianati. Ia ditembak oleh penjahat yang telah bermain mata dengan rekan-rekannya. Peluru memutuskan syaraf pendengaran, menyebabkan tuli pada salah satu telinga, dan sakit kronis.
Pada Oktober dan Desember 1971, Serpico bersaksi di depan Komisi Knapp, sebuah komisi yang dibentuk untuk mengungkap skandal suap di tubuh kepolisian. Hasilnya, dugaan penyimpangan terbukti benar adanya. Petinggi kepolisian akhirnya menindak mereka yang bersalah dan melakukan reformasi besar-besaran. Atas jasanya, Serpico diganjar penghargaan Medal of Honor. Sebulan kemudian, pada bulan Juni 1972 ia berhenti dari dinas kepolisian.
Kisah Serpico di Amerika Serikat ini mirip dengan Novel di Indonesia. Sama-sama mengungkap kebusukan ulah petinggi sebuah institusi namun akhirnya dimusuhi sendiri sesama anggota korps. Komisaris Polisi Novel Baswedan adalah seorang penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian. Ia sedang memimpin proses penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi dan menengah kepolisian. Hingga tiba-tiba, beberapa saat kemudian Novel berbalik disangka melakukan kejahatan saat bertugas di Bengkulu bertahun-tahun sebelumnya. Secara demonstratif, polisi dalam jumlah banyak berusaha menangkap Novel di kantor KPK. Timbullah selisih paham yang akhirnya membawa konflik antara KPK dan Kepolisian, kedua lembaga yang sama-sama diberi amanah menegakkan hukum. Presiden pun turun tangan.
Kedaulatan Pangan
Selasa, 10 November 2015
“Tempe. Ibu pulang dari pasar. Tidak lupa membawa tempe. Aku suka makan tempe. Karena tempe banyak gizinya”.
Lantang saya teriakkan deklamasi di depan kelas, di hadapan teman-teman. Muka saya masih imut. Rambut saya masih cepak, potongan kuncung. Ruangan kelas, yang memang satu-satunya, masih berlantai tanah. Di samping saya, Bu Titik, guru TK tersenyum geli. Kini, almarhumah menjadi legenda dunia pertamankanak-kanakan. Coba tanya orang-orang di Taman, Madiun, terutama yang berusia 20-an ke atas, siapa yang tak kenal nama beliau. Dari kakak saya yang sekarang berumur 50-an tahun, hingga anaknya yang sekarang punya anak lagi seusia TK, pernah diajar oleh Bu Titik.
Tempe, yang disebutkan di muka tadi, merupakan salah satu makanan favorit saya, barangkali juga seluruh nusantara, terutama Jawa. Penduduk Jawa memang dikenal menyukai dan menyayangi tempe. Sejak jaman kerajaan dulu tempe sudah menjadi santapan. Prof. Mary Astuti, seorang peneliti tempe dari UGM, menyatakan bahwa tempe semula dikembangkan oleh masyarakat Jawa pada beberapa abad yang lalu. Pada sekitar tahun 1600 telah tercatat bahwa Pangeran Bayat pernah menyuguhi tamunya dengan tempe.
Dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …” Sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut. Pada jilid 12, kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…”
Presiden RI pertama, Bung Karno dikabarkan sebagai penggemar tempe. Tempe, selain gulai daun singkong adalah dua makanan yang tak pernah absen dari meja makan Bung Karno. Berkat Bung Karno pula, nama tempe menggelegar di seantero negeri memesankan rakyat agar bekerja keras tidak menjadi bangsa kuli. “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita”, teriaknya. Karena pembuatan tempe secara tradisional adalah dengan cara diinjak-injak, maka penggambaran bangsa tempe adalah bangsa yang mudah diinjak-injak (harga diri dan kedaulatannya).
Tragedi Tambang
Jumat, 06 November 2015
Di balik peralatan elektronik yang sering kita pergunakan sehari-hari, ternyata ada peluh keringat dan tetes darah ribuan penambang di Afrika, terutama di Kongo. Telepon pintar, laptop, komputer, DVD player, kamera digital termasuk di antaranya. Beberapa produk elektronik menggunakan logam tantalum, yang merupakan hasil pengolahan dari biji coltan. Logam tersebut memiliki kekuatan untuk menahan panas, menahan karat, dan menahan kekuatan listrik tingkat tinggi. Pertambangan coltan terdapat di Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Ethiopia, Mozambique, dan Kongo. Diperkirakan 80 persen dari produksi coltan di dunia dihasilkan di Kongo.
Demikian vitalnya coltan mengakibatkan harganya membumbung tinggi, konon dua sampai tiga kali lipat dari harga emas. Ironisnya, hal tersebut tak sebanding dengan pendapatan para penambang. Upah per hari mereka USD 5 dengan bekerja rata-rata 12 jam setiap hari di bawah tekanan dan kondisi berbahaya. Coltan ditambang melalui proses yang cukup primitif, manual, dan sederhana. Di Kongo, banyak tempat pertambangan yang dikontrol oleh pemberontak selama bertahun-tahun. Hasilnya digunakan membeli senjata untuk berperang. Sekitar 6,9 juta jiwa menjadi korban perang sejak tahun 1998 akibat konflik di Kongo.
Penguasaan tempat pertambangan untuk pembelian senjata digambarkan di dalam film besutan Edward Zwick, berjudul Blood Diamond. Sutradara The Last Samurai ini menyuguhkan cerita tentang pencarian berlian merah muda yang berukuran lebih besar dari lainnya dengan latar kisah nyata konflik etnis yang mengakibatkan terjadinya perang saudara di Sierra Leone, salah satu negara benua hitam Afrika. Di film yang diaktori oleh Leonardo Dicaprio ini kita disuguhi kisah pilu, tentang pembunuhan warga sipil, perbudakan di tambang berlian, dan penculikan para bocah untuk dijadikan tentara pemberontak.
Film lain tentang konflik tambang adalah Fire Down Below yang dibintangi oleh Steven Seagel sebagai Jack Taggart yang merupakan agen EPA. EPA adalah Environmental Protection Agency, sebuah lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Taggart menyamar sebagai relawan pada gereja setempat di kota Jackson, Kentucky untuk menyelidiki dugaan pencemaran yang dilakukan perusahaan pertambangan. Masyarakat tidak banyak memberikan keterangan karena didera ketakutan. Gereja tempatnya bekerja dibakar, pendetanya dibunuh. Taggart sendiri beberapa kali mendapat ancaman fisik pembunuhan. Namun berkat keahlian bela dirinya, ia selamat. Aparat keamanan dan pejabat lokal yang seharusnya melindungi kotanya dari kerusakan, tragisnya bersekongkol dengan pemilik tambang yang dikawal preman.
Demikian vitalnya coltan mengakibatkan harganya membumbung tinggi, konon dua sampai tiga kali lipat dari harga emas. Ironisnya, hal tersebut tak sebanding dengan pendapatan para penambang. Upah per hari mereka USD 5 dengan bekerja rata-rata 12 jam setiap hari di bawah tekanan dan kondisi berbahaya. Coltan ditambang melalui proses yang cukup primitif, manual, dan sederhana. Di Kongo, banyak tempat pertambangan yang dikontrol oleh pemberontak selama bertahun-tahun. Hasilnya digunakan membeli senjata untuk berperang. Sekitar 6,9 juta jiwa menjadi korban perang sejak tahun 1998 akibat konflik di Kongo.
Penguasaan tempat pertambangan untuk pembelian senjata digambarkan di dalam film besutan Edward Zwick, berjudul Blood Diamond. Sutradara The Last Samurai ini menyuguhkan cerita tentang pencarian berlian merah muda yang berukuran lebih besar dari lainnya dengan latar kisah nyata konflik etnis yang mengakibatkan terjadinya perang saudara di Sierra Leone, salah satu negara benua hitam Afrika. Di film yang diaktori oleh Leonardo Dicaprio ini kita disuguhi kisah pilu, tentang pembunuhan warga sipil, perbudakan di tambang berlian, dan penculikan para bocah untuk dijadikan tentara pemberontak.
Film lain tentang konflik tambang adalah Fire Down Below yang dibintangi oleh Steven Seagel sebagai Jack Taggart yang merupakan agen EPA. EPA adalah Environmental Protection Agency, sebuah lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Taggart menyamar sebagai relawan pada gereja setempat di kota Jackson, Kentucky untuk menyelidiki dugaan pencemaran yang dilakukan perusahaan pertambangan. Masyarakat tidak banyak memberikan keterangan karena didera ketakutan. Gereja tempatnya bekerja dibakar, pendetanya dibunuh. Taggart sendiri beberapa kali mendapat ancaman fisik pembunuhan. Namun berkat keahlian bela dirinya, ia selamat. Aparat keamanan dan pejabat lokal yang seharusnya melindungi kotanya dari kerusakan, tragisnya bersekongkol dengan pemilik tambang yang dikawal preman.
Lelucon Presiden
Senin, 02 November 2015
Jayanagara adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah di kala masih berusia belia. Ayahnya, Raden Wijaya, merupakan pendiri kerajaan sekaligus raja pertamanya. Pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan atau kudeta, misalnya yang dilakukan oleh Juru Demung, Gajah Biru, Nambi, dan Ra Kuti. Bahkan Ra Kuti sempat berhasil menduduki istana sebelum akhirnya upaya kudetanya digagalkan oleh Gajah Mada, komandan Bayangkara, pengawal khusus raja. Nama terakhir ini di kemudian hari menjadi mahapatih Kerajaan Majapahit. Dan beratus tahun kemudian namanya diabadikan menjadi sebuah perguruan tinggi yang salah satu produknya saat ini menjadi tuan presiden.
Kisah tentang Jayanagara ini dulu banyak didengar oleh generasi tahun 1990-an yang konon kabarnya diklaim sebagai generasi yang amat menyenangkan. Pada era tersebut muncul sandiwara radio berjudul Mahkota Mayangkara yang berarti sebuah kekuasaan semu atau bersifat sementara yang dicapai dengan penuh angkara dan pertumpahan darah. Mahkota Mayangkara merupakan sekuel dari Tutur Tinular, sebuah sandirawa radio legendaris karya S. Tidjab yang menceritakan perjalanan hidup ksatria Arya Kamandanu dengan latar belakang sejarah berdirinya kerajaan Majapahit. Sedangkan Mahkota Mayangkara sendiri berkisah tentang sejarah Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Jayanagara.
Dalam sandirawa tersebut Jayanagara dikisahkan sebagai raja yang dipenuhi perilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul di masanya. Ia juga dilanda rasa takut kehilangan tahta. Kedua adik perempuan dari lain ibu ia larang untuk menikah, bahkan hendak ia nikahi sendiri. Dalam kitab Pararaton nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet. Nama tersebut bernada ejekan, karena Kalagemet bermakna jahat dan lemah, mungkin juga suka bermain perempuan. Ia terkena penyakit kelamin. Kehidupannya berakhir tragis. Seorang tabib istana, Ra Tanca, yang istrinya diganggu, akhirnya membunuh sang raja dengan cara ditikam saat mengobati sakit bisul.
Bermain api dengan perempuan, di jaman modern pun dilakoni oleh sebagian pemimpin negara. Bill Clinton salah satunya. Presiden Amerika Serikat ke-42 ini tersandung skandal dengan seorang perempuan bernama Monica Lewinsky, pekerja magang di Gedung Putih dan Pentagon. Akibat kejadian ini sang presiden musti terseok-seok dan hampir dipecat dari jabatannya (pemakzulan). Ternyata di negara seperti Amerika Serikat, hal seperti ini bisa membuat seorang pemimpin negara menjadi perhatian publik dan nyaris berakhir karirnya. Negara yang terkenal dengan seks bebasnya, namun tak rela jika presidennya menjalin hubungan terlarang dengan perempuan yang bukan istrinya. Sekali lagi urusan moral membawa peran penting.
Kisah tentang Jayanagara ini dulu banyak didengar oleh generasi tahun 1990-an yang konon kabarnya diklaim sebagai generasi yang amat menyenangkan. Pada era tersebut muncul sandiwara radio berjudul Mahkota Mayangkara yang berarti sebuah kekuasaan semu atau bersifat sementara yang dicapai dengan penuh angkara dan pertumpahan darah. Mahkota Mayangkara merupakan sekuel dari Tutur Tinular, sebuah sandirawa radio legendaris karya S. Tidjab yang menceritakan perjalanan hidup ksatria Arya Kamandanu dengan latar belakang sejarah berdirinya kerajaan Majapahit. Sedangkan Mahkota Mayangkara sendiri berkisah tentang sejarah Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Jayanagara.
Dalam sandirawa tersebut Jayanagara dikisahkan sebagai raja yang dipenuhi perilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul di masanya. Ia juga dilanda rasa takut kehilangan tahta. Kedua adik perempuan dari lain ibu ia larang untuk menikah, bahkan hendak ia nikahi sendiri. Dalam kitab Pararaton nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet. Nama tersebut bernada ejekan, karena Kalagemet bermakna jahat dan lemah, mungkin juga suka bermain perempuan. Ia terkena penyakit kelamin. Kehidupannya berakhir tragis. Seorang tabib istana, Ra Tanca, yang istrinya diganggu, akhirnya membunuh sang raja dengan cara ditikam saat mengobati sakit bisul.
Bermain api dengan perempuan, di jaman modern pun dilakoni oleh sebagian pemimpin negara. Bill Clinton salah satunya. Presiden Amerika Serikat ke-42 ini tersandung skandal dengan seorang perempuan bernama Monica Lewinsky, pekerja magang di Gedung Putih dan Pentagon. Akibat kejadian ini sang presiden musti terseok-seok dan hampir dipecat dari jabatannya (pemakzulan). Ternyata di negara seperti Amerika Serikat, hal seperti ini bisa membuat seorang pemimpin negara menjadi perhatian publik dan nyaris berakhir karirnya. Negara yang terkenal dengan seks bebasnya, namun tak rela jika presidennya menjalin hubungan terlarang dengan perempuan yang bukan istrinya. Sekali lagi urusan moral membawa peran penting.
Pelajaran Antri
Jumat, 23 Oktober 2015
Tak banyak yang mengenal nama Bagus Burhan. Tapi jika disebutkan Ranggawarsita? Banyak yang paham. Bagus Burhan adalah nama asli dari Ranggawarsita, pujangga besar budaya Jawa (1802-1873). Ayahnya keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya keturunan Kesultanan Demak. Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro.
Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tahun 1845. Pada masa inilah dia melahirkan banyak karya sastra. Ia terkenal karena menuliskan tentang datangnya Zaman Edan. Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkannya dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah satu ungkapan yang paling terkenal adalah: “Amenangi zaman edan, yen ora edan ora keduman”.
Amenangi zaman edan, yen ora edan ora keduman. Kurang lebihnya berarti mengalami zaman kegilaan, kalau tidak ikut-ikutan gila tidak akan kebagian. Bila dikaitkan atau dihubungkan dengan kondisi sekarang, zaman edan mendapatkan relevansinya. Banyak orang menghalalkan segala cara (edan, gila) untuk mendapatkan yang diinginkan. Cara edan itu bisa dengan maling, mbegal, menipu, menyuap, korupsi untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita, serta pria (biar imbang). Saling gasak, gesek, gosok.
Amenangi zaman edan ning dalan aspal, yen ora ngedan bakal ditabrak sedan. Ini petuah Ranggawarsita pula? Ah tidak, mana ada sedan di jaman Ranggawarsita. Kalaupun ada, tak sebanyak di zaman Andrea Hirata. Itu sekadar ungkapan untuk perilaku pengendara jalan sekarang. Mengalami kegilaan di jalan raya, kalau tidak ikut-ikutan gila (ugal-ugalan, arogan, mbegundhal) malah celaka ditabrak kendaraan lain.
Polisi Tidur
Senin, 19 Oktober 2015
Suatu pagi dalam perjalanan menuju ke kantor. Saya berhentikan sepeda motor sesaat. Tiga remaja putri berbaju seragam sekolah masih termangu. Terjerat dalam kebimbangan. Ragu-ragu. Sengaja saya berhenti memberinya kesempatan guna menyeberang jalan. Sesaat kami berada dalam kebisuan. Waktu serasa membeku. Bumi berhenti berotasi. Hingga tangan saya pun memberi tanda, barulah mereka yakin bahwa saya benar-benar mempersilakan mereka.
Saya sadari jika mereka ragu, karena seringkali pejalan kaki seolah tak dianggap oleh pengendara kendaraan bermotor. Dalam belantara jalanan, di sini, saat ini, perilaku individual menjadi kelaziman. Mungkin tak ubahnya begal. Sama-sama merugikan sesama pengguna jalan, apalagi pejalan kaki. Mengalah untuk mendahulukan orang lain menjadi cerita usang di masa lalu.
Di kota seramai Jakarta atau Surabaya, untuk menyeberang jalan dibutuhkan nyali besar. Terkadang rambu lalu lintas serupa lampu merah bukan jaminan, karena seringkali pengendara tak acuh. Jembatan penyeberangan merupakan pilihan yang paling aman meskipun perlu waktu dan sedikit tenaga untuk melaluinya.
Di Jogja, di sekitar kampus UGM, beberapa ruas jalan diberi speed jump. Hal ini dikandung maksud agar para pengendara mengurangi kecepatan laju kendaraannya. Di situ seringkali menjadi tempat penyeberangan pejalan kaki maupun pengendara sepeda. Apakah ini membawa efek keamanan? Belum tentu juga.
Saya sadari jika mereka ragu, karena seringkali pejalan kaki seolah tak dianggap oleh pengendara kendaraan bermotor. Dalam belantara jalanan, di sini, saat ini, perilaku individual menjadi kelaziman. Mungkin tak ubahnya begal. Sama-sama merugikan sesama pengguna jalan, apalagi pejalan kaki. Mengalah untuk mendahulukan orang lain menjadi cerita usang di masa lalu.
Di kota seramai Jakarta atau Surabaya, untuk menyeberang jalan dibutuhkan nyali besar. Terkadang rambu lalu lintas serupa lampu merah bukan jaminan, karena seringkali pengendara tak acuh. Jembatan penyeberangan merupakan pilihan yang paling aman meskipun perlu waktu dan sedikit tenaga untuk melaluinya.
Di Jogja, di sekitar kampus UGM, beberapa ruas jalan diberi speed jump. Hal ini dikandung maksud agar para pengendara mengurangi kecepatan laju kendaraannya. Di situ seringkali menjadi tempat penyeberangan pejalan kaki maupun pengendara sepeda. Apakah ini membawa efek keamanan? Belum tentu juga.
Bencana Asap
Jumat, 16 Oktober 2015
“Senang. Saya sudah tua, tapi nggak mati-mati”, kata Milati. Tak ada yang tahu pasti berapa usia perempuan tua itu. Mungkin 80 tahun. Atau bisa jadi 90 tahun. Bahkan mungkin 100 tahun. Bisa juga lebih. Yang disepakati oleh cucu dan para menantunya, usianya tak kurang dari 140 tahun! Di usianya tersebut indera penglihatan dan pendengarannya masih sangat baik. Kegiatan ibadah sholat lima waktu pun masih dilakoni tiap hari di masjid yang berada 150 meter dari rumahnya.
Keluarga Milati menjadi salah satu ikon Gili Iyang. Gili Iyang adalah sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Pulau seluas tak kurang dari 10 kilometer persegi tersebut memiliki julukan sebagai “pulau awet muda”. Kepala desa setempat menuturkan kepada Jawa Pos bahwa rata-rata usia harapan hidup penduduk di atas 80 tahun. Bandingkan dengan angka harapan hidup nasional yang ‘baru’ mencapai 70,1 tahun.
Kandungan oksigen di pulau Gili Iyang merupakan tertinggi nomor dua di seantero jagat setelah Laut Mati di Yordania. Hal itu dianggap menjadi salah satu penyebab panjang umurnya penduduk setempat. Berdasarkan hasil riset disimpulkan kandungan oksigen menembus angka 21,5 persen atau di atas rata-rata 20 persen. Sebaliknya, CO2 (karbon dioksida) mencapai 265 ppm, jauh di ambang batas 387 ppm. Sedangkan tingkat kebisingan 36,5 db. Sungguh, tempat yang ideal untuk hidup sehat. Udara segar melimpah di sana, meskipun tidak terdapat perbukitan atau gunung. Bernafas pun leluasa.
Di belahan bumi Indonesia lainnya. Di Sumatra dan Kalimantan, berjuta penduduknya kesulitan bernafas. Bencana asap akibat kebakaran (pembakaran?) hutan telah melanda dalam hitungan bulan. Seakan tak berkesudahan. Orang-orang sesak nafas. Bayi-bayi kesakitan, sebagian meninggal. Anak-anak sekolah diliburkan. Aktivitas masyarakat terbengkalai. Tahun 2015 menjadi tahun terparah bencana asap. Melengkapi kepungan asap yang rutin melanda setiap tahun.
Keluarga Milati menjadi salah satu ikon Gili Iyang. Gili Iyang adalah sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Pulau seluas tak kurang dari 10 kilometer persegi tersebut memiliki julukan sebagai “pulau awet muda”. Kepala desa setempat menuturkan kepada Jawa Pos bahwa rata-rata usia harapan hidup penduduk di atas 80 tahun. Bandingkan dengan angka harapan hidup nasional yang ‘baru’ mencapai 70,1 tahun.
Kandungan oksigen di pulau Gili Iyang merupakan tertinggi nomor dua di seantero jagat setelah Laut Mati di Yordania. Hal itu dianggap menjadi salah satu penyebab panjang umurnya penduduk setempat. Berdasarkan hasil riset disimpulkan kandungan oksigen menembus angka 21,5 persen atau di atas rata-rata 20 persen. Sebaliknya, CO2 (karbon dioksida) mencapai 265 ppm, jauh di ambang batas 387 ppm. Sedangkan tingkat kebisingan 36,5 db. Sungguh, tempat yang ideal untuk hidup sehat. Udara segar melimpah di sana, meskipun tidak terdapat perbukitan atau gunung. Bernafas pun leluasa.
Di belahan bumi Indonesia lainnya. Di Sumatra dan Kalimantan, berjuta penduduknya kesulitan bernafas. Bencana asap akibat kebakaran (pembakaran?) hutan telah melanda dalam hitungan bulan. Seakan tak berkesudahan. Orang-orang sesak nafas. Bayi-bayi kesakitan, sebagian meninggal. Anak-anak sekolah diliburkan. Aktivitas masyarakat terbengkalai. Tahun 2015 menjadi tahun terparah bencana asap. Melengkapi kepungan asap yang rutin melanda setiap tahun.
Sepuluh Tahun Pernikahan
Jumat, 25 September 2015
4 September 1972, kelompok perlawanan Palestina melancarkan aksi penculikan bersandi operasi Berim Ikrit. Sasarannya perkampungan atlet Israel peserta Olimpiade Munich, Jerman Barat. Saat itu Jerman masih dipisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Setelah menawan atlet, mereka menuntut dibebaskannya 234 tawanan Palestina dari penjara Israel dan 2 pemimpin kelompok kiri Baader-Meinhoff dari penjara Jerman Barat dan rute aman menuju Mesir. Untuk pembebasan tahanan Palestina, pemerintah Israel menolak, sedangkan untuk rute aman tujuan Kairo disanggupi pihak Jerman. Drama penyanderaan 21 jam itu berakhir dengan aksi baku tembak di Bandara Furstenfeldbruck dan peledakan helikopter hingga mengakibatkan kematian semua sandera.
Kelompok perlawanan tersebut dikenal dengan nama Black September, kelompok yang didiskualifikasi dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Peristiwa heroik ini diangkat oleh Steven Spielberg dalam film Munich yang dibintangi oleh Eric Bana. 33 tahun kemudian, pada bulan yang sama lewat beberapa hari menjadi hari yang heroik dalam hidup saya. Sejarah yang manis. Bolehlah disebut White September. Atau Pink September. Atau apalah terserah. Bukan, saya tidak mengukir sejarah dengan aksi culik-menculik. Ini hari, sebenarnya biasa saja bagi sebagian besar orang. Namun tidak untuk saya. Dan dia.
Bergotong royong. Bekerja sama. Bersatu padu. Bersekutu tambah mutu, kata cik gu. Ya, hari ini, tepat sepuluh tahun yang lalu kami berdua berkolaborasi. Bukan membuat album lagu layaknya penyanyi Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora. Atau merilis film percintaan ala aktor Sophan Sopian dan Widyawati. Bukan pula menyandingkan emas olimpiade seperti pasangan atlit tepok bulu Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Apalagi kolaborasi pasangan pendekar Gotawa dan Mantili yang menjaga kedaulatan Kerajaan Madangkara di sandiwara radio Saur Sepuh.
Sepultura, sepuluh tahun lalu yang tak terasa. Kolaborasi kami berdua mewujud dalam bentuk buku. Cukup 2 eksemplar, tak lebih. Tak ada niat untuk cetak ulang. Meski saya bukan orang penting, buku tersebut bertandatangan orang penting di negeri ini, kelasnya menteri. Jangan tanya rasa nasionalisme kami, sampul mukanya saja burung garuda mengepakkan kedua sayapnya.
Kelompok perlawanan tersebut dikenal dengan nama Black September, kelompok yang didiskualifikasi dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Peristiwa heroik ini diangkat oleh Steven Spielberg dalam film Munich yang dibintangi oleh Eric Bana. 33 tahun kemudian, pada bulan yang sama lewat beberapa hari menjadi hari yang heroik dalam hidup saya. Sejarah yang manis. Bolehlah disebut White September. Atau Pink September. Atau apalah terserah. Bukan, saya tidak mengukir sejarah dengan aksi culik-menculik. Ini hari, sebenarnya biasa saja bagi sebagian besar orang. Namun tidak untuk saya. Dan dia.
Bergotong royong. Bekerja sama. Bersatu padu. Bersekutu tambah mutu, kata cik gu. Ya, hari ini, tepat sepuluh tahun yang lalu kami berdua berkolaborasi. Bukan membuat album lagu layaknya penyanyi Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora. Atau merilis film percintaan ala aktor Sophan Sopian dan Widyawati. Bukan pula menyandingkan emas olimpiade seperti pasangan atlit tepok bulu Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Apalagi kolaborasi pasangan pendekar Gotawa dan Mantili yang menjaga kedaulatan Kerajaan Madangkara di sandiwara radio Saur Sepuh.
Sepultura, sepuluh tahun lalu yang tak terasa. Kolaborasi kami berdua mewujud dalam bentuk buku. Cukup 2 eksemplar, tak lebih. Tak ada niat untuk cetak ulang. Meski saya bukan orang penting, buku tersebut bertandatangan orang penting di negeri ini, kelasnya menteri. Jangan tanya rasa nasionalisme kami, sampul mukanya saja burung garuda mengepakkan kedua sayapnya.
Ternak Relawan
Kamis, 17 September 2015
Lelaki setengah baya itu, kini rambutnya dominan memutih. Tak lagi gondrong sebahu. Kumis hitam tebal yang dulu menghias atas bibirnya, tak lagi nampak. Dicukur habis. Suaranya sedikit serak, sama seperti dulu, namun enak didengar bila berdendang. Sebingkai kacamata menemani kedua matanya di usia senja. Lagu-lagu yang diciptakannya pernah menjadi ikon gerakan melawan kemapanan. Syair-syair yang dibuatnya telah menjadi kritik sosial. Tak heran, kuping penguasa terutama di era Orde Baru kerap memerah mendengarnya.
Lebih dasa warsa silam lantang dia menyuarakan lagu untuk presiden baru. Suara yang keluar dari dalam goa penuh lumut kebosanan. Turunkan harga secepatnya. Berikan kami pekerjaan. Tegakan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu. Bila itu terwujud akan kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa, katanya.
Berselang lama kemudian, presiden baru itu pun berganti presiden baru yang lain. Lelaki setengah baya itu pun semakin menua. Entahlah, apakah dia masih sanggup berteriak seperti dulu mengkritik penguasa sebagaimana lagu-lagunya. Karena tampaknya dia mulai menemukan sosok manusia setengah dewa.
Seusai perebutan singgasana presiden yang menguras banyak energi, lelaki itu pun didaulat sebagai duta desa. Harga yang setimpal, mengingat pengorbanannya yang luar biasa di masa kampanye. Hebatnya, ia tak sendiri. Berduyun-duyun relawan maupun politisi pendukung tuan presiden mendapatkan jatah layaknya. Anggota kabinet sebagian diisi oleh orang-orang partai. Lingkar istana diisi oleh eks tim sukses. Posisi terhormat di BUMN diberikan kepada orang-orang yang dulu berjerih payah. Memang, relawan sedang naik daun, kayak ulat bulu.
Lebih dasa warsa silam lantang dia menyuarakan lagu untuk presiden baru. Suara yang keluar dari dalam goa penuh lumut kebosanan. Turunkan harga secepatnya. Berikan kami pekerjaan. Tegakan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu. Bila itu terwujud akan kuangkat engkau menjadi manusia setengah dewa, katanya.
Berselang lama kemudian, presiden baru itu pun berganti presiden baru yang lain. Lelaki setengah baya itu pun semakin menua. Entahlah, apakah dia masih sanggup berteriak seperti dulu mengkritik penguasa sebagaimana lagu-lagunya. Karena tampaknya dia mulai menemukan sosok manusia setengah dewa.
Seusai perebutan singgasana presiden yang menguras banyak energi, lelaki itu pun didaulat sebagai duta desa. Harga yang setimpal, mengingat pengorbanannya yang luar biasa di masa kampanye. Hebatnya, ia tak sendiri. Berduyun-duyun relawan maupun politisi pendukung tuan presiden mendapatkan jatah layaknya. Anggota kabinet sebagian diisi oleh orang-orang partai. Lingkar istana diisi oleh eks tim sukses. Posisi terhormat di BUMN diberikan kepada orang-orang yang dulu berjerih payah. Memang, relawan sedang naik daun, kayak ulat bulu.
Mencintai Bahasa Indonesia
Rabu, 09 September 2015
Sekolah Pascasarjana Universita Indonesia pernah kedatangan tamu beberapa orang profesor dari Universitas Leiden, Belanda. Setelah ngobrol ngalor-ngidul (dalam bahasa Inggris, tentunya) bertukar visi, misi, dan informasi antara kedua pihak, tiba-tiba ada salah satu anggota delegasi Belanda yang bertanya, ”Apakah di sini digunakan bahasa Inggris sebagai pengantar?” Para doktor dan profesor UI bengong semua.
Kemudian salah satu dari pihak UI menjelaskan bahwa di UI yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk kelas-kelas khusus internasional. Atas pertanyaan itu, profesor Belanda malah tambah bingung, ”Nah, terus apa gunanya dipersyaratkan tes TOEFL dengan skor minimum 550?” tanya dia lagi.
Beberapa orang dari UI mencoba memberi alasan bahwa bahasa Inggris diperlukan karena buku-buku banyak berbahasa Inggris, agar mahasiswa dan lulusan mampu berkomunikasi di tingkat internasional, istilah-istilah dalam internet pun menggunakan bahasa Inggris. Tetapi sang profesor dari Belanda tampak tetap tidak mengerti. Mengapa harus 550? Untuk memahami bahasa Inggris secara pasif cukup skor 300 sampai dengan 400-an saja. Bahkan untuk mengoperasikan program komputer tidak perlu bisa bahasa Inggris sama sekali.
Kisah di atas diceritakan oleh Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berpendapat bahwa tes TOEFL untuk ujian masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah sia-sia. Mahasiswa Amerika yang mau kuliah di UI harus mengambil tes kemampuan bahasa Indonesia, tetapi mahasiswa Indonesia tidak perlu dites TOEFL untuk kuliah di negeri sendiri.
Kemudian salah satu dari pihak UI menjelaskan bahwa di UI yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk kelas-kelas khusus internasional. Atas pertanyaan itu, profesor Belanda malah tambah bingung, ”Nah, terus apa gunanya dipersyaratkan tes TOEFL dengan skor minimum 550?” tanya dia lagi.
Beberapa orang dari UI mencoba memberi alasan bahwa bahasa Inggris diperlukan karena buku-buku banyak berbahasa Inggris, agar mahasiswa dan lulusan mampu berkomunikasi di tingkat internasional, istilah-istilah dalam internet pun menggunakan bahasa Inggris. Tetapi sang profesor dari Belanda tampak tetap tidak mengerti. Mengapa harus 550? Untuk memahami bahasa Inggris secara pasif cukup skor 300 sampai dengan 400-an saja. Bahkan untuk mengoperasikan program komputer tidak perlu bisa bahasa Inggris sama sekali.
Kisah di atas diceritakan oleh Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang berpendapat bahwa tes TOEFL untuk ujian masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah sia-sia. Mahasiswa Amerika yang mau kuliah di UI harus mengambil tes kemampuan bahasa Indonesia, tetapi mahasiswa Indonesia tidak perlu dites TOEFL untuk kuliah di negeri sendiri.
Ayo Tepuk Tangan
Senin, 24 Agustus 2015
Saya pikir akan ada pengumuman yang penting, bombastis, dan spektakuler pada apel gabungan pagi tadi. Namun, ternyata biasa sajalah. Dari ribuan lebih patah kata yang disampaikan pejabat karir tertinggi di pemerintah lokal tempat saya mencari sesuap nasi tersebut, setidaknya dua hal yang saya tangkap sebagai intinya. Pertama, (maaf kalau vulgar) kampanye terselubung terhadap petahana yang bakal bertarung beberapa bulan lagi menjadi kepala daerah. So, inga’ inga’ ting... semua harus memilih sang petahana. “Panwas, mana panwas!!!”
Kedua, memberitahukan kepada khalayak, kalau doi eh maaf beliau, sudah lulus ujian disertasi alias doktor. Ehm, mudah-mudahan ilmunya barokah, dunia akherat. Amin ya robbal ‘alamin. Waduh, beberapa konsep surat dinas yang terlanjur saya bikin kemarin harus direvisi lagi dong. Jadi teringat dulu, waktu saya sengaja tidak mencantumkan gelar H di depan namanya. Sukses, konsep surat musti dikembalikan.
Saya lupa menghitung berapa kali tepukan tangan para hadirin cetar membahana. Sengat terik sang surya yang menerpa ratusan peserta apel tak membuat lupa keharusan bertepuk tangan atas klaim kesuksesan program pemerintah.
Dulu, dulu sekali, kalau tak salah ada seorang menteri yang menyatakan bahwa tepuk tangan berbanding lurus dengan tingkat popularitas pemimpin. Ceritanya, ada sebuah lembaga survei yang melansir jika kinerja presiden menurun. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa peristiwa yang menjadi perhatian publik, seperti belum tuntasnya kasus pembunuhan aktivis HAM, bailout sebuah bank, kasus korupsi, dan kasus-kasus pidana yang diduga melibatkan petinggi partai. Dengan kata lain rakyat makin tak puas dengan kinerja pemerintah yang sekarang.
Kedua, memberitahukan kepada khalayak, kalau doi eh maaf beliau, sudah lulus ujian disertasi alias doktor. Ehm, mudah-mudahan ilmunya barokah, dunia akherat. Amin ya robbal ‘alamin. Waduh, beberapa konsep surat dinas yang terlanjur saya bikin kemarin harus direvisi lagi dong. Jadi teringat dulu, waktu saya sengaja tidak mencantumkan gelar H di depan namanya. Sukses, konsep surat musti dikembalikan.
Saya lupa menghitung berapa kali tepukan tangan para hadirin cetar membahana. Sengat terik sang surya yang menerpa ratusan peserta apel tak membuat lupa keharusan bertepuk tangan atas klaim kesuksesan program pemerintah.
Dulu, dulu sekali, kalau tak salah ada seorang menteri yang menyatakan bahwa tepuk tangan berbanding lurus dengan tingkat popularitas pemimpin. Ceritanya, ada sebuah lembaga survei yang melansir jika kinerja presiden menurun. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa peristiwa yang menjadi perhatian publik, seperti belum tuntasnya kasus pembunuhan aktivis HAM, bailout sebuah bank, kasus korupsi, dan kasus-kasus pidana yang diduga melibatkan petinggi partai. Dengan kata lain rakyat makin tak puas dengan kinerja pemerintah yang sekarang.
Tua Itu Pasti, Lupa Itu Pilihan
Senin, 10 Agustus 2015
Namanya manusia, siapa sih yang tak pernah lupa. Saya, aku, gue, gua, ane, ana, inyong. Anda, kamu, elo, ente, antum, sampeyan, panjenengan. Kita semua pasti pernah mengalaminya. Bahkan pepatah Arab mengatakan, Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Itulah sebabnya setiap hari kita dianjurkan membaca istighfar minimal 100 kali. Kamu makan minum di siang hari saat bulan Ramadan pun tidak dihukumi dosa, asalkan lupa.
Pernah dengar cerita suami yang lupa meninggalkan istrinya di jalan? Cerita ini pernah saya baca di Jayabaya, sebuah majalah berbahasa Jawa. Mungkin kejadiannya pada tahun 1980-an. Begini ceritanya sob, eng ing eng. Kebiasaan orang dulu kalau berboncengan sepeda, di bagjo saat berhenti karena lampu merah sedang menyala, orang yang dibonceng di belakang (lha iya masak dibonceng di depan) pasti turun. Jika lampu menyala hijau, yang dibonceng segera naik ke peraduan, eh boncengan, si pengendara pun kembali mengayuh pedalnya. Kamu boleh cek kepada ayah ibu kamu kebenaran kebiasaan ini. Saya yang mengalami menjadi bocah di tahun 1980-an masih sempat menyaksikan kebiasaan tersebut.
Nah, suatu hari ada suami istri yang berboncengan sepeda motor. Suami di depan. Si istri di belakang duduk menyamping. Tiba di perempatan, lampu bangjo menyala merah. Si suami menghentikan motor. Karena kebiasaan, si istri pun turun. Ketika lampu menyala hijau, seketika si suami melajukan motor. Ia tak menyadari kalau istrinya belum sempat naik ke boncengan. Ia tersadar karena sepanjang perjalanan itu tiap kali mengobrol tak ada yang menanggapi. Begitu menengok ke belakang, eh ladhalah, istrinya tak ada. Saat kembali ke tempat bagjo tadi di dapatinya si istri duduk di pinggir trotoar termenung sembari bersenandung ala Nia Daniati, “Pulangkan saja, aku pada ibuku, atau ayahkuuuuuu. Uwo-uwo.” Nggak, yang terakhir itu ngarang bebas.
Saya punya kakak yang termasuk pelupa. Pernah kami berdua menuju ke masjid untuk sholat dhuhur berjamaah. Berboncengan motor, ia di depan, saya belakang. Usai sholat ia tampak kebingungan. Rogoh kantong baju. Rogoh kantong celana. Samping kiri, samping kanan. Gelandang kiri, gelandang kanan. Depan, striker. Kunci motor tak ada di sekujur tubuhnya. Segera saja saya lari keluar menuju parkiran motor, takut jangan-jangan motor turut raib. Tuh kan, kunci motor masih menancap di sana. Ternyata ia lupa tak mencabut kunci setelah memarkir motor. Untunglah tak ada penjahat yang berniat mencurinya. Kata bang Napi, kejahatan muncul karena ada niat dan kesempatan. Padahal lho, masjid tersebut berada di area pasar yang pada siang hari begitu padat dengan banyaknya orang beraneka ragam.
Pernah dengar cerita suami yang lupa meninggalkan istrinya di jalan? Cerita ini pernah saya baca di Jayabaya, sebuah majalah berbahasa Jawa. Mungkin kejadiannya pada tahun 1980-an. Begini ceritanya sob, eng ing eng. Kebiasaan orang dulu kalau berboncengan sepeda, di bagjo saat berhenti karena lampu merah sedang menyala, orang yang dibonceng di belakang (lha iya masak dibonceng di depan) pasti turun. Jika lampu menyala hijau, yang dibonceng segera naik ke peraduan, eh boncengan, si pengendara pun kembali mengayuh pedalnya. Kamu boleh cek kepada ayah ibu kamu kebenaran kebiasaan ini. Saya yang mengalami menjadi bocah di tahun 1980-an masih sempat menyaksikan kebiasaan tersebut.
Nah, suatu hari ada suami istri yang berboncengan sepeda motor. Suami di depan. Si istri di belakang duduk menyamping. Tiba di perempatan, lampu bangjo menyala merah. Si suami menghentikan motor. Karena kebiasaan, si istri pun turun. Ketika lampu menyala hijau, seketika si suami melajukan motor. Ia tak menyadari kalau istrinya belum sempat naik ke boncengan. Ia tersadar karena sepanjang perjalanan itu tiap kali mengobrol tak ada yang menanggapi. Begitu menengok ke belakang, eh ladhalah, istrinya tak ada. Saat kembali ke tempat bagjo tadi di dapatinya si istri duduk di pinggir trotoar termenung sembari bersenandung ala Nia Daniati, “Pulangkan saja, aku pada ibuku, atau ayahkuuuuuu. Uwo-uwo.” Nggak, yang terakhir itu ngarang bebas.
Saya punya kakak yang termasuk pelupa. Pernah kami berdua menuju ke masjid untuk sholat dhuhur berjamaah. Berboncengan motor, ia di depan, saya belakang. Usai sholat ia tampak kebingungan. Rogoh kantong baju. Rogoh kantong celana. Samping kiri, samping kanan. Gelandang kiri, gelandang kanan. Depan, striker. Kunci motor tak ada di sekujur tubuhnya. Segera saja saya lari keluar menuju parkiran motor, takut jangan-jangan motor turut raib. Tuh kan, kunci motor masih menancap di sana. Ternyata ia lupa tak mencabut kunci setelah memarkir motor. Untunglah tak ada penjahat yang berniat mencurinya. Kata bang Napi, kejahatan muncul karena ada niat dan kesempatan. Padahal lho, masjid tersebut berada di area pasar yang pada siang hari begitu padat dengan banyaknya orang beraneka ragam.
Gejala Politik Kartel Dalam Pilkada Ngawi
Rabu, 05 Agustus 2015
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga PT Pertamina (Persero) ikut melakukan praktek kartel dan monopoli terkait sektor minyak, mengacu kepada pernyataan pejabat Pertamina terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax. Dugaan tersebut sudah ditelusuri sejak awal Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang menaikkan harga BBM kemudian menurunkannya kembali. Ketika harga BBM diturunkan kembali, sempat ada statement petinggi Pertamina yang akan menurunkan harga Pertamax kalau dua perusahaan kompetitor lainnya ikut menurunkan harga. Hal ini mengindikasikan adanya praktek kartel karena seolah-olah beberapa perusahaan minyak mengondisikan harga. Saat ini KPPU masih melakukan proses penelitian terkait dugaan kartel yang dilakukan pihak Pertamina.
Memang pada jamaknya, praktek kartel dilakukan pada aktivitas ekonomi. Kartel merupakan kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. Market power ini memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. Pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi wilayah penjualan.
Sederhananya, beberapa pelaku usaha bersekongkol untuk mempengaruhi harga dengan mengatur volume produksi, jalur pemasaran, dan sebagainya. Mereka juga menutup peluang pelaku usaha lain yang akan berkompetisi secara sehat untuk masuk. Akibatnya konsumen harus membayar lebih mahal dari harga seharusnya. Konsumen tak memiliki refererensi berapa seharusnya harga yang harus dibayar sampai akhirnya tahu jika barang dan jasa sejenis di luar negeri berharga lebih murah. Tak menutup kemungkinan, untuk melindungi kekuatan, pelaku kartel harus menyuap aparat, terjadilah kong kalingkong, manipulasi, dan korupsi. KPPU pernah berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama tahun 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS. Kerugian yang diderita konsumen mencapai Rp 2,827 triliun.
Di berbagai negara praktek kartel merupakan pelanggaran hukum. Dalam hukum positif Indonesia pun praktek kartel telah dilarang. UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur hal tersebut. Dalam Pasal 11 disebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Memang pada jamaknya, praktek kartel dilakukan pada aktivitas ekonomi. Kartel merupakan kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. Market power ini memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. Pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi wilayah penjualan.
Sederhananya, beberapa pelaku usaha bersekongkol untuk mempengaruhi harga dengan mengatur volume produksi, jalur pemasaran, dan sebagainya. Mereka juga menutup peluang pelaku usaha lain yang akan berkompetisi secara sehat untuk masuk. Akibatnya konsumen harus membayar lebih mahal dari harga seharusnya. Konsumen tak memiliki refererensi berapa seharusnya harga yang harus dibayar sampai akhirnya tahu jika barang dan jasa sejenis di luar negeri berharga lebih murah. Tak menutup kemungkinan, untuk melindungi kekuatan, pelaku kartel harus menyuap aparat, terjadilah kong kalingkong, manipulasi, dan korupsi. KPPU pernah berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama tahun 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS. Kerugian yang diderita konsumen mencapai Rp 2,827 triliun.
Di berbagai negara praktek kartel merupakan pelanggaran hukum. Dalam hukum positif Indonesia pun praktek kartel telah dilarang. UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur hal tersebut. Dalam Pasal 11 disebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adakah Pelaksana Tugas Harian?
Senin, 03 Agustus 2015
Tepat 27 Juli 2015, Bupati Ngawi Budi “Kanang” Sulistyono beserta wakilnya Ony Anwar Harsono resmi lengser dari jabatannya. Bukan karena meninggal, sakit, dipenjara, atau mengundurkan diri. Tapi, karena masa kontraknya telah habis. Mereka berdua memang termasuk PTT, namun bukan PTT yang seringkali menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Kalau itu namanya PTT yang Pegawai Tidak Tetap. Kalau PTT yang bupati dan wakilnya namanya Pejabat Tidak Tetap. Hehehe.... Tidak tetap karena kontraknya hanya sampai 5 tahun. Boleh diperpanjang jika terpilih dalam pemilihan.
Sebenarnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo sudah mengajukan nama bawahannya kepada Menteri Dalam Negeri untuk menjadi Penjabat (Pj) Bupati. Pengajuan itu sebelum tanggal berakhirnya masa periode bupati dan wakil bupati. Dengan harapan, seketika bupati lengser, sudah ada Pj Bupati yang memimpin pemda Ngawi sampai dilantiknya bupati hasil pilkada. Akan tetapi sampai hari H, Surat Keputusan dari Mendagri tersebut belum terbit juga. Mungkin pak menteri yang berasal dari partai banteng gemuk berwarna merah itu sedang sibuk.
Untuk mengisi kekosongan, gubernur menunjuk Sekda Ngawi Siswanto untuk jadi Bupati. “Pejabat asal Jombang itu menunjukkan SK Gubernur Jawa Timur Nomor 131.1/15.358/011/2015 tentang penunjukkannya sebagai Plt Bupati Ngawi terhitung mulai tanggal 27 Juli 2015. Sayangnya, Siswanto mengaku tidak tahu sampai kapan dirinya menjabat sebagai Plt. Itu mengingat di SK tersebut tidak mencantumkan batas akhir jabatan Plt”. (Dikutip dari Radar Ngawi, 28 Juli 2015).
Gerak cepat pun segera dilakukan oleh Pak Siswanto sebagai Sekda Ngawi. Tanggal 30 Juli 2015 diedarkan surat kepada kantor-kantor dinas tentang penulisan naskah dinas pelaksana tugas harian Bupati Ngawi. Pelaksana tugas harian tersebut disingkat menjadi Plh. Saya kurang tahu apakah penulisan Plh tersebut mengulang apa yang tercantum dalam SK Gubernur. Atau mungkin hasil kreativitas beliau. Jujur, saya baru mengenal istilah ini, “Pelaksana Tugas Harian”. Hal tersebut berarti gabungan antara Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian. Dua hal yang sejatinya berbeda.
Sebenarnya Gubernur Jawa Timur Soekarwo sudah mengajukan nama bawahannya kepada Menteri Dalam Negeri untuk menjadi Penjabat (Pj) Bupati. Pengajuan itu sebelum tanggal berakhirnya masa periode bupati dan wakil bupati. Dengan harapan, seketika bupati lengser, sudah ada Pj Bupati yang memimpin pemda Ngawi sampai dilantiknya bupati hasil pilkada. Akan tetapi sampai hari H, Surat Keputusan dari Mendagri tersebut belum terbit juga. Mungkin pak menteri yang berasal dari partai banteng gemuk berwarna merah itu sedang sibuk.
Untuk mengisi kekosongan, gubernur menunjuk Sekda Ngawi Siswanto untuk jadi Bupati. “Pejabat asal Jombang itu menunjukkan SK Gubernur Jawa Timur Nomor 131.1/15.358/011/2015 tentang penunjukkannya sebagai Plt Bupati Ngawi terhitung mulai tanggal 27 Juli 2015. Sayangnya, Siswanto mengaku tidak tahu sampai kapan dirinya menjabat sebagai Plt. Itu mengingat di SK tersebut tidak mencantumkan batas akhir jabatan Plt”. (Dikutip dari Radar Ngawi, 28 Juli 2015).
Gerak cepat pun segera dilakukan oleh Pak Siswanto sebagai Sekda Ngawi. Tanggal 30 Juli 2015 diedarkan surat kepada kantor-kantor dinas tentang penulisan naskah dinas pelaksana tugas harian Bupati Ngawi. Pelaksana tugas harian tersebut disingkat menjadi Plh. Saya kurang tahu apakah penulisan Plh tersebut mengulang apa yang tercantum dalam SK Gubernur. Atau mungkin hasil kreativitas beliau. Jujur, saya baru mengenal istilah ini, “Pelaksana Tugas Harian”. Hal tersebut berarti gabungan antara Pelaksana Tugas dan Pelaksana Harian. Dua hal yang sejatinya berbeda.
Curhat Kantor
Kamis, 30 Juli 2015
Saya mengibaratkan memimpin sebuah organisasi seperti mengendarai kendaraan. Dalam kendaraan paling tidak ada bodi, roda, dan pengemudi. Masalah onderdil yang lain semisal mesin, spion, rem, apalagi bahan bakar untuk sementara belum disebut, ini kan cuma permisalan. Mau dibawa kemana kendaraan tersebut, merupakan kewenangan pengemudi yang sangat vital. Namun demikian kendaraan tersebut tak ada artinya jika roda yang telah terpasang tak berfungsi dengan baik.
Maka jika dikaitkan antara organisasi dan kendaraan, pimpinan adalah pengemudi sedangkan staf adalah roda. Sekali lagi ini hanya permisalan, bukan berarti karena posisi roda di bawah, maka staf harus diperlakukan semena-mena. Apalah artinya pengemudi yang hebat jika roda tak mau bekerja dengannya. Sekaliber pengebut juara formula F1 pun, tanpa roda yang ada di kendaraannya, bisalah apa ia. Pembalap ompong, eh macan ompong. Maka, betapa indahnya bila pengemudi mampu menjaga roda kendaraannya, atau sebaliknya roda mau menjalani perintah kemudinya.
Namun, bisa jadi, boleh jadi, seringkali, kadangkala, mungkin, atau barangkali harapan tak seindah kenyataan, atau dibalik saja kenyataan tak seindah harapan. Makanya, di situ kadang saya merasa sedih hehehe....
Akhirnya, dengan membaca, menimbang, mengingat, akhirnya saya putuskan satu roda lagi dalam kendaraan, saya lepaskan. Saya lepas bukan berarti saya campakkan. Minimal masih saya taruh dalam kendaraan, karena dari sononya (sesuatu yang tak kuasa saya tolak) roda tersebut harus ada di kendaraan saya. Entahlah akan saya gunakan untuk apa roda tersebut.
Maka jika dikaitkan antara organisasi dan kendaraan, pimpinan adalah pengemudi sedangkan staf adalah roda. Sekali lagi ini hanya permisalan, bukan berarti karena posisi roda di bawah, maka staf harus diperlakukan semena-mena. Apalah artinya pengemudi yang hebat jika roda tak mau bekerja dengannya. Sekaliber pengebut juara formula F1 pun, tanpa roda yang ada di kendaraannya, bisalah apa ia. Pembalap ompong, eh macan ompong. Maka, betapa indahnya bila pengemudi mampu menjaga roda kendaraannya, atau sebaliknya roda mau menjalani perintah kemudinya.
Namun, bisa jadi, boleh jadi, seringkali, kadangkala, mungkin, atau barangkali harapan tak seindah kenyataan, atau dibalik saja kenyataan tak seindah harapan. Makanya, di situ kadang saya merasa sedih hehehe....
Akhirnya, dengan membaca, menimbang, mengingat, akhirnya saya putuskan satu roda lagi dalam kendaraan, saya lepaskan. Saya lepas bukan berarti saya campakkan. Minimal masih saya taruh dalam kendaraan, karena dari sononya (sesuatu yang tak kuasa saya tolak) roda tersebut harus ada di kendaraan saya. Entahlah akan saya gunakan untuk apa roda tersebut.
Sidak, sidak, sidak
Sabtu, 25 Juli 2015
Tradisi rutin yang terus terulang tiap tahun di kantor pemerintah saban pasca lebaran tak lain dan tak bukan adalah sidak. Sidak adalah kependekan dari Inspeksi Mendadak. Maksudnya pengawasan atau pengecekan secara langsung ada tidaknya pegawai di kantor yang pelaksanaannya secara diam-diam. Kenapa diam-diam? Karena kalau jauh hari sudah diberitahu tentu saja para pegawai akan rajin datang. Memangnya para pegawai jarang rajin datang? Yap, sejumlah oknum pegawai punya hobi bolosan.
Beberapa instansi (termasuk pemda) berlomba-lomba mengadakan tradisi sidak. Lihat saja, esoknya media massa cetak menampilkan berita tentang sidak. Koran Radar Madiun, misalnya, salah satu koran lokal di Ngawi yang kebetulan kantor saya turut berlangganan tiap harinya. Esok setelah hari pertama masuk kerja, berita yang ditonjolkan adalah sidak, sidak, sidak... Mulai dari Madiun kota, Madiun desa eh maaf Madiun kabupaten, Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan eing ing eng ... Ngawi.
Bahkan kolom Jati Diri Jawa Pos pada tanggal 23 Juli 2015 membahas tentang sidak, soalnya judulnya saja “Stop Sidak PNS”. Tradisi yang telah berjalan tahunan ini (entah mulai kapan diadakan) dianggap jauh dari kata efektif. Alasannya? Pertama, sidak tak lagi terkesan mengejutkan. Kedua, pelaksanaannya lebih kental seremonial. Ketiga, ancaman sanksi hanya sebatas janji.
Sidak tak lagi mengejutkan karena sudah bergeser dari arti awalnya. Para pegawai sudah tahu bin yakin alias paham bahwa pelaksanaan sidak pasti di hari pertama setelah libur dan cuti lebaran. Sehingga pada hari pertama masuk kerja para pegawai sudah siap-siap datang ke kantor pagi hari, mengisi daftar absen, selanjutnya menunggu kedatangan tim sidak sembari silaturahmi sesama rekan. Sidak tak lagi bersifat mendadak. Sidak kehilangan makna rahasianya.
Beberapa instansi (termasuk pemda) berlomba-lomba mengadakan tradisi sidak. Lihat saja, esoknya media massa cetak menampilkan berita tentang sidak. Koran Radar Madiun, misalnya, salah satu koran lokal di Ngawi yang kebetulan kantor saya turut berlangganan tiap harinya. Esok setelah hari pertama masuk kerja, berita yang ditonjolkan adalah sidak, sidak, sidak... Mulai dari Madiun kota, Madiun desa eh maaf Madiun kabupaten, Magetan, Ponorogo, Pacitan, dan eing ing eng ... Ngawi.
Bahkan kolom Jati Diri Jawa Pos pada tanggal 23 Juli 2015 membahas tentang sidak, soalnya judulnya saja “Stop Sidak PNS”. Tradisi yang telah berjalan tahunan ini (entah mulai kapan diadakan) dianggap jauh dari kata efektif. Alasannya? Pertama, sidak tak lagi terkesan mengejutkan. Kedua, pelaksanaannya lebih kental seremonial. Ketiga, ancaman sanksi hanya sebatas janji.
Sidak tak lagi mengejutkan karena sudah bergeser dari arti awalnya. Para pegawai sudah tahu bin yakin alias paham bahwa pelaksanaan sidak pasti di hari pertama setelah libur dan cuti lebaran. Sehingga pada hari pertama masuk kerja para pegawai sudah siap-siap datang ke kantor pagi hari, mengisi daftar absen, selanjutnya menunggu kedatangan tim sidak sembari silaturahmi sesama rekan. Sidak tak lagi bersifat mendadak. Sidak kehilangan makna rahasianya.
Jaminan Sosial Bagi PNS
Rabu, 10 Juni 2015
Dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) negara menyelenggarakan program jaminan sosial yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Sebelum pelaksanaan SJSN, negara telah menjalankan beberapa program jaminan sosial untuk sebagian kecil warga, yakni bagi PNS melalui PT Taspen dan PT Askes, pekerja swasta melalui PT Jamsostek, dan anggota TNI/Polri melalui PT Asabri. Berdasarkan UU No 24/2011, SJSN diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Saat ini telah lahir BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes dan BPJS Ketenagakerjaan (Naker) yang merupakan tranformasi dari PT Jamsostek. Jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan sudah dimulai tahun 2014, sedangkan jaminan sosial bagi pekerja oleh BPJS Naker di tahun 2015 ini.
Satu hal yang menarik dikaji adalah tranformasi dari PT Jamsostek menjadi BPJS Naker terutama terkait dengan PNS. Di beberapa daerah BPJS Naker mulai berekspansi menyasar pemerintah daerah agar mendaftarkan PNS-nya menjadi peserta jaminan sosial, terutama jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Pada saat yang sama, PT Taspen yang selama puluhan tahun menyelenggarakan jaminan sosial bagi PNS masih diakui keberadaannya. Secara tidak langsung terjadilah perebutan segmen. Hal yang mirip bisa saja terjadi antara BPJS Naker dan PT Asabri yang berebut segmen anggota TNI/Polri.
Menurut Lukman Cahyono dalam Opini Jawa Pos 11 Mei 2015, PT Taspen dan PT Asabri hanya menyelenggarakan program-program bagi para aparatur negara, bukan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dua lembaga itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai BPJS sehingga tidak dapat menyelenggarakan program SJSN Naker yang hanya bisa diselenggarakan oleh BPJS Naker. Begitu pula sebaliknya, BPJS Naker tidak dapat menyelenggarakan program di luar program SJSN Naker. Sebab, sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPJS Naker hanya menyelenggarakan program SJSN Naker.
Sebelum pelaksanaan SJSN, negara telah menjalankan beberapa program jaminan sosial untuk sebagian kecil warga, yakni bagi PNS melalui PT Taspen dan PT Askes, pekerja swasta melalui PT Jamsostek, dan anggota TNI/Polri melalui PT Asabri. Berdasarkan UU No 24/2011, SJSN diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Saat ini telah lahir BPJS Kesehatan yang merupakan transformasi dari PT Askes dan BPJS Ketenagakerjaan (Naker) yang merupakan tranformasi dari PT Jamsostek. Jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan sudah dimulai tahun 2014, sedangkan jaminan sosial bagi pekerja oleh BPJS Naker di tahun 2015 ini.
Satu hal yang menarik dikaji adalah tranformasi dari PT Jamsostek menjadi BPJS Naker terutama terkait dengan PNS. Di beberapa daerah BPJS Naker mulai berekspansi menyasar pemerintah daerah agar mendaftarkan PNS-nya menjadi peserta jaminan sosial, terutama jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Pada saat yang sama, PT Taspen yang selama puluhan tahun menyelenggarakan jaminan sosial bagi PNS masih diakui keberadaannya. Secara tidak langsung terjadilah perebutan segmen. Hal yang mirip bisa saja terjadi antara BPJS Naker dan PT Asabri yang berebut segmen anggota TNI/Polri.
Menurut Lukman Cahyono dalam Opini Jawa Pos 11 Mei 2015, PT Taspen dan PT Asabri hanya menyelenggarakan program-program bagi para aparatur negara, bukan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dua lembaga itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai BPJS sehingga tidak dapat menyelenggarakan program SJSN Naker yang hanya bisa diselenggarakan oleh BPJS Naker. Begitu pula sebaliknya, BPJS Naker tidak dapat menyelenggarakan program di luar program SJSN Naker. Sebab, sesuai dengan tugas dan fungsinya, BPJS Naker hanya menyelenggarakan program SJSN Naker.
Jabatan Struktural Dalam Birokrasi
Senin, 11 Mei 2015
kppnpalembang.net |
Jabatan struktural dalam birokrasi diartikan sebagai suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam rangka memimpin suatu organisasi negara. Jabatan tersebut disusun dalam bentuk eselon atau hirarki jabatan yang menunjukkan tingkatan tanggung jawab, wewenang, dan hak.
Menurut Burhanuddin A. Tayibnapis (dalam Muslim, 2007: 53) jabatan struktural merupakan jabatan pimpinan seperti yang terlihat dalam struktur organisasi. Jabatan struktural merupakan jabatan yang ditujukan bagi pegawai yang diarahkan ke jenjang yang lebih tinggi dalam organisasi (Martoyo dalam Muslim, 2007: 53). Dalam jabatan struktural, pengembangan karir diarahkan menjadi pimpinan dalam suatu organisasi berdasarkan tingkat eselon mulai dari eselon Va sampai dengan eselon Ia.
Di tingkat daerah jabatan struktural merupakan jabatan yang sangat diidamkan. Beberapa alasan bisa diungkapkan di sini, misalnya tunjangan jabatan yang lebih besar. Sebagai perbandingan, seorang PNS bergolongan III jika tidak berada dalam jalur struktural hanya akan mendapatkan tunjangan Rp 185.000,00 per bulan, namun bila PNS menduduki jabatan struktural dengan eselon IIIb maka ia mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp 980.000,00 per bulan. Uang lembur dan Uang Harian Kembali (UHK) yang didapatkan jika melakukan perjalanan dinas pun lebih besar diperoleh pejabat struktural.
DIsharmoni Hukum Kepegawaian (Bagian Kedua)
Kamis, 07 Mei 2015
Kebijakan publik umumnya dilegalisasikan dalam bentuk hukum sedangkan hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Maksudnya, sebuah produk hukum tanpa adanya proses kebijakan publik maka produk hukum tersebut kehilangan makna substansinya. Sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari hukum, maka dimensi operasionalisasinya akan menjadi lemah. Dengan demikian, kebijakan publik perlu dilegalisasi dalam bentuk hukum dengan tujuan untuk menjamin legalitasnya di lapangan (Kurniawan, 2012: 34).
Menurut Salim (2011) salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata usaha negara yang digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum pemerintahan. Selain dari sarana berupa keputusan tata usaha negara (beschikking), sarana tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:
Pejabat atau badan administrasi negara dilekati wewenang untuk membuat berbagai keputusan. Selain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaksanaan wewenang tersebut dilakukan juga berdasarkan atas kebebasan bertindak (beleidsvrijheid atau beoordelingvrijheid) atau lazim disebut freies Ermessen (Kurniawan, 2012: 6). Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen adalah membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut discretionary power (Salim, 2010).
Menurut Salim (2010) meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebas tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang, namun dalam kerangka negara hukum harus dipahami bahwa unsur-unsur freies Ermessen dalam negara adalah sebagai berikut:
Menurut Salim (2011) salah satu topik bahasan di kalangan ahli hukum administrasi adalah tentang sarana tata usaha negara yang digunakan oleh pemerintahan dalam menyelenggarakan urusan umum pemerintahan. Selain dari sarana berupa keputusan tata usaha negara (beschikking), sarana tata usaha negara lainnya adalah dalam bentuk:
- Peraturan perundang-undangan dan keputusan tata usaha negara yang memuat pengaturan yang bersifat umum;
- Peraturan-peraturan kebijaksanaan (beleidsregels);
- Rencana (het plan);
- Penggunaan sarana hukum keperdataan; dan
- Perbuatan materiil (feitelijke handelingan).
Pejabat atau badan administrasi negara dilekati wewenang untuk membuat berbagai keputusan. Selain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, pelaksanaan wewenang tersebut dilakukan juga berdasarkan atas kebebasan bertindak (beleidsvrijheid atau beoordelingvrijheid) atau lazim disebut freies Ermessen (Kurniawan, 2012: 6). Tercakup pula dalam pengertian freies Ermessen adalah membuat peraturan tentang hal-hal yang belum ada pengaturannya, atau mengimplementasikan peraturan yang ada sesuai dengan kenyataan. Pencakupan demikian disebut discretionary power (Salim, 2010).
Menurut Salim (2010) meskipun terdapat peluang melaksanakan tugas pemerintahan secara bebas tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang, namun dalam kerangka negara hukum harus dipahami bahwa unsur-unsur freies Ermessen dalam negara adalah sebagai berikut:
Disharmoni Hukum Kepegawaian (Bagian Pertama)
Senin, 04 Mei 2015
Secara terminologi sederhana hukum merupakan rangkaian terpenting dalam menentukan keputusan atau pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan negara. Hal tersebut disebabkan karena hukum merupakan salah satu instrumen kebijakan yang digunakan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan legal (Kurniawan, 2012: 9).
Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan mempunyai ciri memerintah serta melarang serta bersifat memaksa agar ditaati dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Hal ini sejalan dengan fungsi hukum bagi kehidupan masyarakat yang menurut Soerjono Dirdjo Sisworo (dalam Kurniawan, 2012: 9-10) ada empat yaitu:
Pertama, fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana perilaku di dalam masyarakat sehingga masing-masing sudah jelas apa yang harus diperbuat dan yang tidak boleh diperbuat.
Kedua, fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat baik fisik maupun psikologis. Ketiga, fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Hukum merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Keempat, fungsi kritis hukum yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawas dan aparatur pemerintah.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengandung pernyataan konstitusional bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Willem Koninjnenbelt (dalam Salim, 2010) terdapat empat unsur penting gagasan negara hukum yaitu:
Adapun unsur-unsur yang terkandung di dalam hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur dan menjaga tata tertib kehidupan masyarakat dan mempunyai ciri memerintah serta melarang serta bersifat memaksa agar ditaati dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Hal ini sejalan dengan fungsi hukum bagi kehidupan masyarakat yang menurut Soerjono Dirdjo Sisworo (dalam Kurniawan, 2012: 9-10) ada empat yaitu:
Pertama, fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana perilaku di dalam masyarakat sehingga masing-masing sudah jelas apa yang harus diperbuat dan yang tidak boleh diperbuat.
Kedua, fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat baik fisik maupun psikologis. Ketiga, fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Hukum merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju. Keempat, fungsi kritis hukum yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pengawas dan aparatur pemerintah.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengandung pernyataan konstitusional bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Willem Koninjnenbelt (dalam Salim, 2010) terdapat empat unsur penting gagasan negara hukum yaitu:
Jadi Anak Band
Kamis, 30 April 2015
Tidak
ada yang menyangka jika saya pernah main band dan tampil di panggung di
hadapan ratusan penonton. Pengalaman ini terjadi saat saya masih
berseragam putih abu-abu. Ya, saat itu masih di bangku SMA, tepatnya
kelas tiga, sekitar 15 tahun yang lalu. Tampil dalam rangka hari ulang
tahun SMA 3 Madiun. Momennya dinamakan SISO CUP. Dalam ajang itu
beraneka ragam seni dan pertunjukan ditampilkan para murid. Dari yang
tradisional hingga modern. Ada musik, nyanyi, menari, disco, teater,
peragaan busana, dan lain-lain. Biasanya pentas seni ini merupakan
puncak acara dari serangkaian acara sebelumnya, yakni lomba-lomba.
Sehingga sekaligus dalam acara itu pula diumumkan juara berbagai lomba.
Saya masih ingat acara itu dilangsungkan pada tanggal 17 Agustus 1996, hari Sabtu. Saat itu SMA 3 masih dibagi dalam 2 lokasi, yakni di Jalan Suhud Nosingo (sekolah timur) dan Jalan HA Salim (sekolah barat). Sekarang kedua lokasi itu sudah ditinggalkan dan SMA 3 telah menempati lokasi baru di Ring Road sebagai Rintisan Sekolah Internasional. Setelah mengikuti upacara hari kemerdekaan di sekolah timur, para murid berbondong-bondong ke sekolah barat yang berjarak sekitar 5 km, karena pertunjukan diadakan di sana. Panggung telah tersedia di aula, tinggal memasang asesoris.
Adakah kebanggaan? Sedikit sekali, namun yang jelas ada rasa senang. Tapi sejujurnya ada rasa malu juga, karena kemampuan memainkan alat musik saya tidak begitu bagus, yah bernilai rata-rata-lah. Saya, atau tepatnya kami berlima main band. Saya pegang gitar bas. Teman saya yang lain adalah Hamid sebagai vocalis, Yohanes sebagai melodi, Santo sebagai drummer, dan Toni sebagai keyboard. Kami semua kebetulan aktif di kegiatan kepramukaan.
Saya masih ingat acara itu dilangsungkan pada tanggal 17 Agustus 1996, hari Sabtu. Saat itu SMA 3 masih dibagi dalam 2 lokasi, yakni di Jalan Suhud Nosingo (sekolah timur) dan Jalan HA Salim (sekolah barat). Sekarang kedua lokasi itu sudah ditinggalkan dan SMA 3 telah menempati lokasi baru di Ring Road sebagai Rintisan Sekolah Internasional. Setelah mengikuti upacara hari kemerdekaan di sekolah timur, para murid berbondong-bondong ke sekolah barat yang berjarak sekitar 5 km, karena pertunjukan diadakan di sana. Panggung telah tersedia di aula, tinggal memasang asesoris.
Adakah kebanggaan? Sedikit sekali, namun yang jelas ada rasa senang. Tapi sejujurnya ada rasa malu juga, karena kemampuan memainkan alat musik saya tidak begitu bagus, yah bernilai rata-rata-lah. Saya, atau tepatnya kami berlima main band. Saya pegang gitar bas. Teman saya yang lain adalah Hamid sebagai vocalis, Yohanes sebagai melodi, Santo sebagai drummer, dan Toni sebagai keyboard. Kami semua kebetulan aktif di kegiatan kepramukaan.
Perburuan Rente BPJS Naker
Senin, 13 April 2015
Di tengah hiruk-pikuk politik kekuasaan, penggambaran intensif media terkait hak-hak istimewa dan tanggung jawab konstitusional Badan Hukum Publik BPJS Ketenagakerjaan (Naker), hasil transformasi PT Jamsostek (Persero), menarik dikaji lebih spesifik.
Pertama, bandingkan langsung Jaminan Pensiun (JP) berdasar UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsos TK) berdasar UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKI). Faktanya, secara progresif BPJS Naker-didukung penuh Menaker M Hanif Dhakiri-mempertunjukkan sumber daya politik konstitusionalnya dengan menetapkan sepihak iuran JP (8 persen dari total gaji bersih diterima/take home pay) untuk pekerja formal, efektif 1 Juli 2015. Anehnya, manfaat pensiun diterima setelah karyawan-peserta memenuhi syarat wajib masa iur 15 tahun.
Penjelasan Pasal 42 Ayat 2 UU SJSN menyatakan, ketentuan 15 tahun diperlukan agar ada kecukupan dan akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka waktu yang ditetapkan UU. Makna penjelas lain, manfaat jaminan pensiun diterima peserta pada ulang tahun program ke-16. Mengutip Direktur Utama BPJS Naker Elvyn G Masassya, "Apabila ada pekerja yang akan pensiun dalam waktu dekat, tak akan bisa memperoleh manfaat program JP jika belum masuk sebagai peserta. Meski sudah jadi peserta pada saat program JP berjalan, hak pensiun pekerja akan diberikan setelah memberikan iuran selama 15 tahun".
Apa benar dugaan selama ini, syarat wajib masa iur 15 tahun-aturan penjelasan Pasal 41 Ayat 5 UU SJSN menyatakan karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun diberlakukan sebagai tabungan wajib-adalah kompensasi atau alat tukar politik akibat hilangnya jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) Jamsostek? Apakah syarat pemblokiran iuran sangat dibutuhkan BPJS Naker demi kecukupan pembiayaan program dan operasional sehingga dihalalkan menabrak aturan baku sistem pengelolaan program, bahkan menutup mata atas duplikasi manfaat program jaminan hari tua (Pasal 35-38 UU SJSN). Normatifnya, manfaat pensiun adalah pembayaran berkala selama seumur hidup terhitung sejak setoran iuran pertama. Pembuktian lain, tak ada pembayaran manfaat pensiun berkala selama 15 tahun sehingga penetapan iuran 8 persen dari take home pay dinilai sangat berlebihan dan tak rasional.
Pertama, bandingkan langsung Jaminan Pensiun (JP) berdasar UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsos TK) berdasar UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKI). Faktanya, secara progresif BPJS Naker-didukung penuh Menaker M Hanif Dhakiri-mempertunjukkan sumber daya politik konstitusionalnya dengan menetapkan sepihak iuran JP (8 persen dari total gaji bersih diterima/take home pay) untuk pekerja formal, efektif 1 Juli 2015. Anehnya, manfaat pensiun diterima setelah karyawan-peserta memenuhi syarat wajib masa iur 15 tahun.
Penjelasan Pasal 42 Ayat 2 UU SJSN menyatakan, ketentuan 15 tahun diperlukan agar ada kecukupan dan akumulasi dana untuk memberi jaminan pensiun sampai jangka waktu yang ditetapkan UU. Makna penjelas lain, manfaat jaminan pensiun diterima peserta pada ulang tahun program ke-16. Mengutip Direktur Utama BPJS Naker Elvyn G Masassya, "Apabila ada pekerja yang akan pensiun dalam waktu dekat, tak akan bisa memperoleh manfaat program JP jika belum masuk sebagai peserta. Meski sudah jadi peserta pada saat program JP berjalan, hak pensiun pekerja akan diberikan setelah memberikan iuran selama 15 tahun".
Apa benar dugaan selama ini, syarat wajib masa iur 15 tahun-aturan penjelasan Pasal 41 Ayat 5 UU SJSN menyatakan karena belum memenuhi syarat masa iur, iuran jaminan pensiun diberlakukan sebagai tabungan wajib-adalah kompensasi atau alat tukar politik akibat hilangnya jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) Jamsostek? Apakah syarat pemblokiran iuran sangat dibutuhkan BPJS Naker demi kecukupan pembiayaan program dan operasional sehingga dihalalkan menabrak aturan baku sistem pengelolaan program, bahkan menutup mata atas duplikasi manfaat program jaminan hari tua (Pasal 35-38 UU SJSN). Normatifnya, manfaat pensiun adalah pembayaran berkala selama seumur hidup terhitung sejak setoran iuran pertama. Pembuktian lain, tak ada pembayaran manfaat pensiun berkala selama 15 tahun sehingga penetapan iuran 8 persen dari take home pay dinilai sangat berlebihan dan tak rasional.
Sistem Pekerja Rumahan
Perlawanan buruh atas sistem kerja fleksibilitas: buruh alih daya, kontrak kerja dengan melanggar hukum, dan tidak ada hubungan kerja, telah memasuki rentang waktu 12 tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dimulai.
Sejauh ini kelompok kapitalis nakal memenangi pertarungan, terbukti dengan terus meningkatnya eskalasi buruh alih daya yang menggusur pekerja tetap. Saya jadi teringat ungkapan pakar strategi militer Jerman Jenderal Carl Von Clausewitz tentang strategi perang, ”never engage the same enemy for too long or they will adapt your strategy (jangan pernah menghadapi musuh yang sama untuk waktu panjang karena mereka akan beradaptasi dengan strategimu).” Kelihatannya ini yang telah berhasil dilakukan kaum kapitalis. Akibat gerakan buruh terlalu lama melawan sistem fleksibilitas dengan pola sama, kaum kapitalis sudah bisa beradaptasi menghadapi perlawanan buruh.
Praktik yang saat ini sedang gencar terjadi adalah pemborongan pekerjaan yang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Atau yang populer disebut pekerja rumahan (putting out system). Modusnya, menawarkan pekerjaan ke kaum ibu rumah tangga dengan kesepakatan lisan. Sistem seperti ini sebenarnya sudah lama ada, khususnya untuk bisnis makanan dan industri mikro, tetapi berkembang marak akibat tekanan kompetisi global dan absennya pengawasan hukum.
Pelakunya pun tidak lagi sebatas industri mikro, tetapi sudah melibatkan perusahaan multinasional besar, seperti Nike, Samsung, Ripcurl (merek sport dari Australia), Cressida, Jeans, produk celana dalam GT Man, sepatu sport Alaska, dan sepatu merek ARA dari perusahaan Jerman. Kegiatan bisnis ini berlangsung di permukiman kawasan industri. Sistem ini melengkapi keberhasilan kaum kapitalis yang berhasil mempraktikkan sistem kerja buruh alih daya, kontrak kerja lisan, kerja magang ilegal, bekerja dengan periode sangat pendek, dan sebagainya.
Sejauh ini kelompok kapitalis nakal memenangi pertarungan, terbukti dengan terus meningkatnya eskalasi buruh alih daya yang menggusur pekerja tetap. Saya jadi teringat ungkapan pakar strategi militer Jerman Jenderal Carl Von Clausewitz tentang strategi perang, ”never engage the same enemy for too long or they will adapt your strategy (jangan pernah menghadapi musuh yang sama untuk waktu panjang karena mereka akan beradaptasi dengan strategimu).” Kelihatannya ini yang telah berhasil dilakukan kaum kapitalis. Akibat gerakan buruh terlalu lama melawan sistem fleksibilitas dengan pola sama, kaum kapitalis sudah bisa beradaptasi menghadapi perlawanan buruh.
Praktik yang saat ini sedang gencar terjadi adalah pemborongan pekerjaan yang dilakukan di rumah-rumah penduduk. Atau yang populer disebut pekerja rumahan (putting out system). Modusnya, menawarkan pekerjaan ke kaum ibu rumah tangga dengan kesepakatan lisan. Sistem seperti ini sebenarnya sudah lama ada, khususnya untuk bisnis makanan dan industri mikro, tetapi berkembang marak akibat tekanan kompetisi global dan absennya pengawasan hukum.
Pelakunya pun tidak lagi sebatas industri mikro, tetapi sudah melibatkan perusahaan multinasional besar, seperti Nike, Samsung, Ripcurl (merek sport dari Australia), Cressida, Jeans, produk celana dalam GT Man, sepatu sport Alaska, dan sepatu merek ARA dari perusahaan Jerman. Kegiatan bisnis ini berlangsung di permukiman kawasan industri. Sistem ini melengkapi keberhasilan kaum kapitalis yang berhasil mempraktikkan sistem kerja buruh alih daya, kontrak kerja lisan, kerja magang ilegal, bekerja dengan periode sangat pendek, dan sebagainya.
BPJS Ketenagakerjaan
Kamis, 09 April 2015
Program jaminan sosial bagi tenaga kerja, sesuai dengan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, kiranya akan dimulai tahun 2015. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, badan publik yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja, yang merupakan transformasi PT (Persero) Jamsostek, telah mempersiapkan diri memikul tanggung jawab itu. Jika semua berjalan sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), semua pekerja akan memiliki jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (JKM).
Jaminan kesehatan akan diperoleh dari BPJS Kesehatan yang telah dimulai 2014. Dengan kondisi seperti itu, kiranya Indonesia akan mampu memberi rasa aman sosial bagi setiap tenaga kerja dan keluarganya, sejak lahir hingga meninggal. Dampaknya, mungkin akan sangat besar dari aspek peningkatan daya saing dan produktivitas kerja.
Persiapan Regulasi
Meskipun waktu sudah sangat mendesak, kita masih menunggu berbagai regulasi turunan, yaitu peraturan pemerintah dan peraturan presiden, yang diperlukan. Adalah harapan kita berbagai peraturan perundangan itu bisa terbit dalam waktu yang cukup untuk dapat disosialisasikan sehingga ketergesa-gesaan sebagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan/Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat dihindari.
Ada kesan, terjadinya keterlambatan selama ini disebabkan masih ada perbedaan persepsi dari para pengambil keputusan, yang notabene memutuskan terbitnya regulasi itu. Selain itu, juga keberatan sebagian dunia usaha, antara pemberi kerja dan pekerja, yang merasa terbebani iuran jaminan sosial. Formula besaran iuran jaminan sosial kabarnya telah menyita perdebatan yang alot antara pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. Selain itu, juga terkait jaminan pensiun antara konsep ”manfaat pasti” dan ”iuran pasti” agar keberlanjutannya terjamin.
Jaminan kesehatan akan diperoleh dari BPJS Kesehatan yang telah dimulai 2014. Dengan kondisi seperti itu, kiranya Indonesia akan mampu memberi rasa aman sosial bagi setiap tenaga kerja dan keluarganya, sejak lahir hingga meninggal. Dampaknya, mungkin akan sangat besar dari aspek peningkatan daya saing dan produktivitas kerja.
Persiapan Regulasi
Meskipun waktu sudah sangat mendesak, kita masih menunggu berbagai regulasi turunan, yaitu peraturan pemerintah dan peraturan presiden, yang diperlukan. Adalah harapan kita berbagai peraturan perundangan itu bisa terbit dalam waktu yang cukup untuk dapat disosialisasikan sehingga ketergesa-gesaan sebagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan/Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dapat dihindari.
Ada kesan, terjadinya keterlambatan selama ini disebabkan masih ada perbedaan persepsi dari para pengambil keputusan, yang notabene memutuskan terbitnya regulasi itu. Selain itu, juga keberatan sebagian dunia usaha, antara pemberi kerja dan pekerja, yang merasa terbebani iuran jaminan sosial. Formula besaran iuran jaminan sosial kabarnya telah menyita perdebatan yang alot antara pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja. Selain itu, juga terkait jaminan pensiun antara konsep ”manfaat pasti” dan ”iuran pasti” agar keberlanjutannya terjamin.
Reformasi Ketenagakerjaan
Senin, 06 April 2015
Baru kali ini, 1 Mei 2014, pemerintah menetapkan Hari Buruh Internasional sebagai hari libur nasional. Meski istimewa bagi buruh, agaknya perjuangan para buruh dalam memperjuangkan kesejahteraan dan hak-haknya masih jauh dari usai. Belum lagi dua masalah besar lain yang perlu dicermati, yaitu pengangguran dan lapangan kerja. Sepuluh tuntutan buruh perlu menjadi perhatian siapa pun calon presiden RI mendatang.
Saya tertarik mencermati sepuluh tuntutan para buruh. Buruh menuntut: (1) naikkan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi komponen standar kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi 84 item; (2) tolak penangguhan upah minimum; (3) jalankan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015; (4) jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 tentang tarif serta ganti INA-CBG dengan fee for service, audit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; (5) hapus alih daya (outsourcing), khususnya alih daya di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja alih daya.
Selanjutnya; (6) sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39 Tahun 2004; (7) cabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan; (8) angkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru honorer; (9) sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh; (10) jalankan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.
Daftar tuntutan buruh tentu masih bisa ditambah. Inti masalah buruh adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan kualitas buruh Indonesia. Masalah buruh wajib menjadi agenda bagi pemerintah baru nanti. Memang tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, yang pada Februari 2014 mencapai 5,7 persen, mengalami penurunan dibandingkan Agustus 2013 sebesar 6,2 persen dan Februari 2013 sebesar 5,8 persen. Namun, data BPS terbaru menunjukkan, (1) sebanyak 81,2 juta orang (68,7 persen dari total angkatan kerja) bekerja di atas 35 jam per minggu, sedangkan pekerja tidak penuh dengan jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per minggu meningkat 320.000 orang dan penduduk bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 15 jam per minggu mencapai 7,3 juta orang (6,2 persen); (2) sebanyak 47,5 juta orang (40,2 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7 juta orang (59,8 persen) bekerja pada sektor informal; (3) buruh dengan jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi, yakni 55,3 juta orang (46,80 persen), diikuti SMP dan SMA masing-masing 21,1 juta dan 18,91 juta orang.
Saya tertarik mencermati sepuluh tuntutan para buruh. Buruh menuntut: (1) naikkan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi komponen standar kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi 84 item; (2) tolak penangguhan upah minimum; (3) jalankan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada Juli 2015; (4) jalankan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan cara cabut Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 tentang tarif serta ganti INA-CBG dengan fee for service, audit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; (5) hapus alih daya (outsourcing), khususnya alih daya di BUMN dan pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja alih daya.
Selanjutnya; (6) sahkan RUU PRT dan Revisi UU Perlindungan TKI Nomor 39 Tahun 2004; (7) cabut UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan; (8) angkat pegawai dan guru honorer menjadi PNS, serta subsidi Rp 1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru honorer; (9) sediakan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh; (10) jalankan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.
Daftar tuntutan buruh tentu masih bisa ditambah. Inti masalah buruh adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan dan kualitas buruh Indonesia. Masalah buruh wajib menjadi agenda bagi pemerintah baru nanti. Memang tingkat pengangguran terbuka di Indonesia, yang pada Februari 2014 mencapai 5,7 persen, mengalami penurunan dibandingkan Agustus 2013 sebesar 6,2 persen dan Februari 2013 sebesar 5,8 persen. Namun, data BPS terbaru menunjukkan, (1) sebanyak 81,2 juta orang (68,7 persen dari total angkatan kerja) bekerja di atas 35 jam per minggu, sedangkan pekerja tidak penuh dengan jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per minggu meningkat 320.000 orang dan penduduk bekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 15 jam per minggu mencapai 7,3 juta orang (6,2 persen); (2) sebanyak 47,5 juta orang (40,2 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 70,7 juta orang (59,8 persen) bekerja pada sektor informal; (3) buruh dengan jenjang pendidikan SD ke bawah masih tetap mendominasi, yakni 55,3 juta orang (46,80 persen), diikuti SMP dan SMA masing-masing 21,1 juta dan 18,91 juta orang.
BPJS Ketenagakerjaan dan Sektor Informal
Kamis, 02 April 2015
Bekerja di sektor informal memang harus siap menerima risiko absennya sejumlah aspek perlindungan sosial, seperti upah minimum, uang pesangon, cuti, upah lembur, jaminan kecelakaan, kematian, hari tua, dan pensiun. Sebaliknya, pekerja di sektor formal dapat menegosiasi upah minimum, cuti, dan upah lembur dari perusahaan tempat mereka bekerja, serta memperoleh sejumlah jaminan sosial sebagai keanggotaan Jamsostek.
Secara faktual, rendahnya aspek perlindungan sosial pekerja di sektor informal menyebabkan mereka hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sektor itu umumnya cenderung tidak stabil dan pekerjanya rentan terperangkap dalam pengangguran dan kemiskinan.
Sektor Formal Terdistorsi
Celakanya, hadirnya pekerja sektor informal tidak bisa dihindari karena hal itu berkaitan dengan kinerja ekonomi yang belum mampu menciptakan kesempatan kerja formal secara memadai. Secara faktual, hanya sepertiga penduduk yang bekerja di sektor formal. Sisanya (sekitar 62,7%) penduduk bekerja di sektor informal (BPS, 2012).
Di pihak lain, rendahnya kualitas angkatan kerja cukup menyulitkan pemerintah untuk menciptakan peluang bekerja di sektor formal guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Lebih dari setengah angkatan kerja kita hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah.
Bahkan, keberadaan sektor tersebut diperkirakan terus tumbuh seiring dengan kian mengglobalnya sistem ekonomi. Dengan globalisasi, meski suatu usaha diuntungkan akibat berkurangnya regulasi, usahanya dituntut melakukan efisiensi agar berdaya saing guna memenangi pasar global.
Secara faktual, rendahnya aspek perlindungan sosial pekerja di sektor informal menyebabkan mereka hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sektor itu umumnya cenderung tidak stabil dan pekerjanya rentan terperangkap dalam pengangguran dan kemiskinan.
Sektor Formal Terdistorsi
Celakanya, hadirnya pekerja sektor informal tidak bisa dihindari karena hal itu berkaitan dengan kinerja ekonomi yang belum mampu menciptakan kesempatan kerja formal secara memadai. Secara faktual, hanya sepertiga penduduk yang bekerja di sektor formal. Sisanya (sekitar 62,7%) penduduk bekerja di sektor informal (BPS, 2012).
Di pihak lain, rendahnya kualitas angkatan kerja cukup menyulitkan pemerintah untuk menciptakan peluang bekerja di sektor formal guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Lebih dari setengah angkatan kerja kita hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah.
Bahkan, keberadaan sektor tersebut diperkirakan terus tumbuh seiring dengan kian mengglobalnya sistem ekonomi. Dengan globalisasi, meski suatu usaha diuntungkan akibat berkurangnya regulasi, usahanya dituntut melakukan efisiensi agar berdaya saing guna memenangi pasar global.
Instalasi Pengolahan Air Limbah
Selasa, 17 Maret 2015
Saya baru mengetahui istilah itu saat pertemuan warga, tahun 2014 silam. Malam hari, sekira bulan Mei. Jadi bisa dikatakan ketinggalan zaman, mengingat sekolah dan kuliah saya tempuh di kota, namun herannya baru tahu saat itu. Jadi, belum tentu lho orang yang sekolah di kota dan tinggal di kota cukup lama mengetahui segalanya, yang berbau modern.
IPAL, kependekan dari Instalasi Pengelohan Air Limbah. Agar tidak keliru saya carikan referensi melalui wikipedia. Lanjut gan! Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) adalah sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain.
Fungsi dari IPAL mencakup pengolahan air limbah pertanian, untuk membuang kotoran hewan, residu pestisida, dan sebagainya dari lingkungan pertanian. Selain itu untuk mengolah air limbah perkotaan, untuk membuang limbah manusia, dan limbah rumah tangga lainnya. Selanjutnya berfungsi untuk mengolah air limbah industri, untuk mengolah limbah cair dari aktivitas manufaktur sebuah industri dan komersial, termasuk juga aktivitas pertambangan.
Perumahan tempat tinggal saya (dan tempat tinggal para tetangga saya, tentunya) mendapat anugerah, kesempatan, titipan, kepercayaan, amanah, tanggung jawab, atau terserah lah apa namanya untuk dipasang IPAL. Malam itu, sebagian warga berkumpul dan bertemu dengan kepala desa dan perangkatnya serta pejabat pemda (Bappeda dan Dinas PU). Intinya adalah sosialisasi tentang IPAL komunal. Komunal itu maksudnya IPAL-nya nanti dimanfaatkan secara bersama oleh warga.
IPAL, kependekan dari Instalasi Pengelohan Air Limbah. Agar tidak keliru saya carikan referensi melalui wikipedia. Lanjut gan! Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) adalah sebuah struktur yang dirancang untuk membuang limbah biologis dan kimiawi dari air sehingga memungkinkan air tersebut untuk digunakan pada aktivitas yang lain.
Fungsi dari IPAL mencakup pengolahan air limbah pertanian, untuk membuang kotoran hewan, residu pestisida, dan sebagainya dari lingkungan pertanian. Selain itu untuk mengolah air limbah perkotaan, untuk membuang limbah manusia, dan limbah rumah tangga lainnya. Selanjutnya berfungsi untuk mengolah air limbah industri, untuk mengolah limbah cair dari aktivitas manufaktur sebuah industri dan komersial, termasuk juga aktivitas pertambangan.
Perumahan tempat tinggal saya (dan tempat tinggal para tetangga saya, tentunya) mendapat anugerah, kesempatan, titipan, kepercayaan, amanah, tanggung jawab, atau terserah lah apa namanya untuk dipasang IPAL. Malam itu, sebagian warga berkumpul dan bertemu dengan kepala desa dan perangkatnya serta pejabat pemda (Bappeda dan Dinas PU). Intinya adalah sosialisasi tentang IPAL komunal. Komunal itu maksudnya IPAL-nya nanti dimanfaatkan secara bersama oleh warga.
Lapanganku Malang
Jumat, 13 Maret 2015
Masa kecil saya lewati di Madiun, daerah yang terkenal dengan pecel, juga terkenal dengan pemberontakan PKI di tahun 1948 silam. Rumah saya terbilang masuk perkotaan, namun bukan kawasan elit. Hanya perkampungan biasa yang padat penduduk. Bahkan rumah saya masuk gang sempit, yang mobil pun tak bisa masuk. Karena sempitnya gang, tak jarang pinggir jalan menjadi salah satu alternatif tempat bermain, meskipun dengan resiko tertabrak kendaraan. Saya termasuk salah satu korbannya. Kepala pernah bocor terseret sebuah motor yang kebetulan dikendarai polisi.
Di dekat rumah ada sebuah tanah lapang. Tak terlalu luas memang, kira-kira seluas lapangan badminton, lebih luas sedikit. Orang-orang menyebutnya len. Mungkin menyebutkan lapangan dalam bahasa Inggris, land. Lapangan itulah yang menjadi tempat favorit kami, para bocah, bermain. Dari bermain bola, main layang-layang, lompat tali, gobag sodor. Biasanya kami yang anak-anak bermain pada saat siang, seusai pulang sekolah. Saat sore gantian para remaja, seusia kakak saya yang waktu itu duduk di bangku SMA yang bermain bulutangkis.
Lapangan yang tanpa rumput tersebut nyaris tak pernah sepi. Selain anak-anak dan pemuda, jika Minggu pagi gantian para orang tua memanfaatkannya untuk Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilanjutkan dengan main bulutangkis. Saat malam, gantian para pemuda yang cangkruk main gitar di pinggir jalan dekat lapangan. Kadangkala para pemuda dan remaja yang tergabung dalam Karang Taruna mengadakan layar tancap bekerja sama dengan perusahaan bumbu masak. Saat peringatan hari kemerdekaan diadakan panggung gembira.
Seingat saya, suasana tersebut berjalan dengan menyenangkan. Mulai saya balita sampai menginjak usia SD. Hingga pada akhirnya datanglah “malapetaka” itu. Hehehe... terlalu membesar-besarkan deh. Saya sebut malapetaka karena adanya perasaan masa kanak-kanak saya (dan kawan-kawan) yang terenggut.
Di dekat rumah ada sebuah tanah lapang. Tak terlalu luas memang, kira-kira seluas lapangan badminton, lebih luas sedikit. Orang-orang menyebutnya len. Mungkin menyebutkan lapangan dalam bahasa Inggris, land. Lapangan itulah yang menjadi tempat favorit kami, para bocah, bermain. Dari bermain bola, main layang-layang, lompat tali, gobag sodor. Biasanya kami yang anak-anak bermain pada saat siang, seusai pulang sekolah. Saat sore gantian para remaja, seusia kakak saya yang waktu itu duduk di bangku SMA yang bermain bulutangkis.
Lapangan yang tanpa rumput tersebut nyaris tak pernah sepi. Selain anak-anak dan pemuda, jika Minggu pagi gantian para orang tua memanfaatkannya untuk Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilanjutkan dengan main bulutangkis. Saat malam, gantian para pemuda yang cangkruk main gitar di pinggir jalan dekat lapangan. Kadangkala para pemuda dan remaja yang tergabung dalam Karang Taruna mengadakan layar tancap bekerja sama dengan perusahaan bumbu masak. Saat peringatan hari kemerdekaan diadakan panggung gembira.
Seingat saya, suasana tersebut berjalan dengan menyenangkan. Mulai saya balita sampai menginjak usia SD. Hingga pada akhirnya datanglah “malapetaka” itu. Hehehe... terlalu membesar-besarkan deh. Saya sebut malapetaka karena adanya perasaan masa kanak-kanak saya (dan kawan-kawan) yang terenggut.
Serangan Umum Bulan Maret
Selasa, 10 Maret 2015
ngobrolpanas.blogspot.com |
Saat momentum peringatan hari besar nasional atau terkait dengan sejarah bangsa, TVRI biasanya berbaik hati menayangkan film-film yang bertema perjuangan yang kebanyakan bergenre peperangan. Sebut saja Kereta Api Terakhir, Pasukan Berani Mati, Serangan Fajar, Bandung Lautan Api, Surabaya ‘45, Nagabonar, Pengkhianatan G 30 S/PKI, Operasi Trisula. Film-film tersebut bisa dinikmati saban malam minggu jam setengah 11 malam (kalau nggak salah) dalam program andalan Cerita Akhir Pekan.
Salah satu film yang masih saya ingat adalah Janur Kuning. Film ini menggambarkan serangan umum pada tanggal 1 Maret 1949 yang dilakukan oleh TNI terhadap kedudukan tentara Belanja di kota Jogja. Jogja merupakan ibukota RI saat itu yang dikuasai oleh Belanda. Serangan tersebut dilakukan pada jam 6 pagi secara serentak sehingga dinamakan serangan umum. Sebagai identitas, pasukan TNI mengenakan janur atau daun kelapa yang berwarna kuning.
Kota Jogja dibagi dalam berbagai sektor, dan masing-masing sektor melakukan serangan secara mendadak. Jogja berhasil dikuasasi selama 6 jam. Berita ini tersebar di dunia. Diklaim serangan secara militer memperkuat serangan diplomasi yang juga digencarkan oleh para pejuang bangsa. Alhasil Negara Indonesia yang baru lahir pun diakui.
Peradaban Setor
Jumat, 06 Maret 2015
Kata
teman saya ada beberapa jenis pekerjaan yang mensyaratkan adanya barang
atau uang sebagai jaminan. Barang itu bisa berwujud sertifikat
rumah/tanah, BPKB motor/mobil, ijazah, dan lain-lain. Tentu saja barang
jaminan itu asli sehingga nilainya amat berharga. Amat berharga karena
dengan meninggalkan barang jaminan kepada penguasaan orang lain, pekerja
menjadi terikat dengan syarat dan ketentuan dari orang yang memberikan
pekerjaan itu.
Selain barang, yang bisa dijadikan jaminan adalah uang. Misalnya sebagai syarat diterima bekerja pada sebuah unit usaha, pelamar harus menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik unit usaha (majikan). Uang ini tidak berubah menjadi hak milik majikan meskipun berada dalam penguasaannya. Fungsinya sebagai jaminan agar pekerja tidak main-main dalam bekerja, atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh pekerja, atau alasan lain. Konon jika si pekerja memutuskan keluar dari pekerjaannya maka uang itu dikembalikan, meskipun mungkin tidak utuh 100%. Demikian juga barang-barang lain yang dijaminkan.
Bekerja dengan memberikan jaminan seperti di atas mungkin saja terjadi pada sektor swasta dan bisa dibenarkan. Hal ini tergantung pada kebijakan pemilik perusahaan. Tapi bagaimanakah kalau terjadi di pemerintahan. Layakkah pemerintah menarik uang kepada masyarakat sebagai jaminan penerimaan pegawai. Mestinya tidak. Kalau ini terjadi akan menimbulkan diskriminasi, karena semakin besar jaminan yang diberikan tentunya semakin besar pula peluang diterima menjadi pegawai. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjadi pegawai pemerintah, tak peduli pintar atau bodoh. Dan imbasnya, masyarakat juga yang ikut menanggung karena pajak yang kita bayarkan kepada negara dipergunakan untuk gaji mereka.
Saya sering mendengar isu adanya setoran sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri, baik itu untuk menjadi polisi, tentara, maupun PNS. Tapi terus terang saya tidak pernah melihat langsung. Orang yang melakukannya pun mestinya enggan untuk bercerita, bahkan cenderung menutup-nutupinya. Meski begitu suara yang berkembang di masyarakat gencar terdengar adanya setoran uang. Konon kabarnya pula, jumlah setoran itu bervariasi, tergantung seberapa tinggi pangkat yang akan disandangnya nanti.
Selain barang, yang bisa dijadikan jaminan adalah uang. Misalnya sebagai syarat diterima bekerja pada sebuah unit usaha, pelamar harus menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik unit usaha (majikan). Uang ini tidak berubah menjadi hak milik majikan meskipun berada dalam penguasaannya. Fungsinya sebagai jaminan agar pekerja tidak main-main dalam bekerja, atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh pekerja, atau alasan lain. Konon jika si pekerja memutuskan keluar dari pekerjaannya maka uang itu dikembalikan, meskipun mungkin tidak utuh 100%. Demikian juga barang-barang lain yang dijaminkan.
Bekerja dengan memberikan jaminan seperti di atas mungkin saja terjadi pada sektor swasta dan bisa dibenarkan. Hal ini tergantung pada kebijakan pemilik perusahaan. Tapi bagaimanakah kalau terjadi di pemerintahan. Layakkah pemerintah menarik uang kepada masyarakat sebagai jaminan penerimaan pegawai. Mestinya tidak. Kalau ini terjadi akan menimbulkan diskriminasi, karena semakin besar jaminan yang diberikan tentunya semakin besar pula peluang diterima menjadi pegawai. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjadi pegawai pemerintah, tak peduli pintar atau bodoh. Dan imbasnya, masyarakat juga yang ikut menanggung karena pajak yang kita bayarkan kepada negara dipergunakan untuk gaji mereka.
Saya sering mendengar isu adanya setoran sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri, baik itu untuk menjadi polisi, tentara, maupun PNS. Tapi terus terang saya tidak pernah melihat langsung. Orang yang melakukannya pun mestinya enggan untuk bercerita, bahkan cenderung menutup-nutupinya. Meski begitu suara yang berkembang di masyarakat gencar terdengar adanya setoran uang. Konon kabarnya pula, jumlah setoran itu bervariasi, tergantung seberapa tinggi pangkat yang akan disandangnya nanti.
Menyopakan Pelacur
Jumat, 27 Februari 2015
Orang
bilang pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Pelacuran
muncul sebagai akibat kebutuhan manusia yang bersifat biologis.
Sebenarnya agama telah menyediakan pranata berupa perkawinan. Antara
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan mendapatkan
kesempatan menikmati hubungan biologis secara sah. Namanya juga manusia,
perintah agama pun diabaikan. Sebagaimana kebutuhan akan makan dan
minum, dalam hal ini ada pula manusia yang melanggar. Kebutuhan makan
dan minum dilanggar dengan mencuri. Agar hasil lebih besar lagi dengan
merampok. Kebutuan biologis dipenuhi dengan mendatangi pelacur. Maka,
pencurian, perampokan, dan pelacuran pun menjadi bagian kriminal.
Pelacur menurut kamus Bahasa Indonesia artinya perempuan yang melacur. Melacur sendiri berarti menjual dirinya dengan imbalan uang. Dengan uang itu seorang perempuan bersedia melakukan hubungan biologis dengan orang lain. Bukan karena cinta, bukan pula karena ikatan perkawinan, tetapi lebih karena hubungan dagang. Istilah lain pelacur adalah sundal. Dulu malah ada istilah yang lebih kasar yakni lonte. Namun seiring berkembangnya jaman istilah pelacur berubah menjadi wanita tuna susila (WTS). Tapi, tetap saja mengacu pada perempuan.
Tuna artinya luka, kurang, rusak, atau tidak memiliki. Tuna secara umum biasanya berkaitan dengan kurang atau tidak sempurnanya fungsi bagian tubuh serta mental. Tuna netra berarti buta alias terganggu penglihatannya. Tuna daksa berarti cacat tubuh alias terganggu alat geraknya. Tuna grahita berarti keterbelakangan mental alias terganggu intelegensinya. Tuna rungu berarti tuli alias terganggu pendengarannya. Tuna wicara berarti bisu alias terganggu lisannya. Ada sekolah khusus bagi orang-orang (anak-anak) ini yakni Sekolah Luar Biasa. Untuk pendidikan negara memberikan kesempatan. Banyak pula di antara mereka yang berhasil dengan berwiraswasta.
Lalu bagaimana dengan tuna susila? Berbeda dengan tuna yang lain, negara dengan aparatnya seringkali memburunya untuk ditangkap. Mereka bukan terganggu, malah dianggap mengganggu ketertiban umum. Tuna susila berarti tidak punya susila, kesopanan. Dengan demikian wanita tuna susila mengandung arti wanita yang tidak memiliki kesopanan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaannya yakni menjual tubuh yang menurut agama dan hukum dilarang. Entahlah apakah SLB juga menampung penyandang ini atau tidak. Saya rasa tidak. Wanita tuna susila biasanya dikumpulkan dalam area tertentu yang dinamakan lokalisasi. Ada pajak yang disetor ke negara. Di sinilah negara menemukan anomalinya. Menerima upeti dari perkara yang dilarangnya.
Pelacur menurut kamus Bahasa Indonesia artinya perempuan yang melacur. Melacur sendiri berarti menjual dirinya dengan imbalan uang. Dengan uang itu seorang perempuan bersedia melakukan hubungan biologis dengan orang lain. Bukan karena cinta, bukan pula karena ikatan perkawinan, tetapi lebih karena hubungan dagang. Istilah lain pelacur adalah sundal. Dulu malah ada istilah yang lebih kasar yakni lonte. Namun seiring berkembangnya jaman istilah pelacur berubah menjadi wanita tuna susila (WTS). Tapi, tetap saja mengacu pada perempuan.
Tuna artinya luka, kurang, rusak, atau tidak memiliki. Tuna secara umum biasanya berkaitan dengan kurang atau tidak sempurnanya fungsi bagian tubuh serta mental. Tuna netra berarti buta alias terganggu penglihatannya. Tuna daksa berarti cacat tubuh alias terganggu alat geraknya. Tuna grahita berarti keterbelakangan mental alias terganggu intelegensinya. Tuna rungu berarti tuli alias terganggu pendengarannya. Tuna wicara berarti bisu alias terganggu lisannya. Ada sekolah khusus bagi orang-orang (anak-anak) ini yakni Sekolah Luar Biasa. Untuk pendidikan negara memberikan kesempatan. Banyak pula di antara mereka yang berhasil dengan berwiraswasta.
Lalu bagaimana dengan tuna susila? Berbeda dengan tuna yang lain, negara dengan aparatnya seringkali memburunya untuk ditangkap. Mereka bukan terganggu, malah dianggap mengganggu ketertiban umum. Tuna susila berarti tidak punya susila, kesopanan. Dengan demikian wanita tuna susila mengandung arti wanita yang tidak memiliki kesopanan. Hal ini berkaitan dengan pekerjaannya yakni menjual tubuh yang menurut agama dan hukum dilarang. Entahlah apakah SLB juga menampung penyandang ini atau tidak. Saya rasa tidak. Wanita tuna susila biasanya dikumpulkan dalam area tertentu yang dinamakan lokalisasi. Ada pajak yang disetor ke negara. Di sinilah negara menemukan anomalinya. Menerima upeti dari perkara yang dilarangnya.
Media Pendidikan Politik Rakyat
Kamis, 26 Februari 2015
Seorang
Ramadhan Pohan pernah mencatat rekor di MURI sebagai anggota dewan yang
pertama kali mengelola website sebagai ruang komunikasi dan informasi
dengan konstituen. Wakil rakyat dari Partai Demokrat ini dulu memang
berprofesi sebagai wartawan, jadi urusan jurnalistik sudah tidak begitu
asing lagi. Pak AM Fatwa, saat menjadi anggota DPR dari PAN juga pernah
menorehkan prestasi, yakni penulis buku terbanyak selama berkiprah di
Senayan.
Anggota dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka, seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali bila direkam.
Orang dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya. Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu terlanjur memberikan suara di kota ini.
Anggota dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka, seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali bila direkam.
Orang dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya. Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu terlanjur memberikan suara di kota ini.
Langganan:
Postingan (Atom)