Saya pikir akan ada pengumuman yang penting, bombastis, dan spektakuler pada apel gabungan pagi tadi. Namun, ternyata biasa sajalah. Dari ribuan lebih patah kata yang disampaikan pejabat karir tertinggi di pemerintah lokal tempat saya mencari sesuap nasi tersebut, setidaknya dua hal yang saya tangkap sebagai intinya. Pertama, (maaf kalau vulgar) kampanye terselubung terhadap petahana yang bakal bertarung beberapa bulan lagi menjadi kepala daerah. So, inga’ inga’ ting... semua harus memilih sang petahana. “Panwas, mana panwas!!!”
Kedua, memberitahukan kepada khalayak, kalau doi eh maaf beliau, sudah lulus ujian disertasi alias doktor. Ehm, mudah-mudahan ilmunya barokah, dunia akherat. Amin ya robbal ‘alamin. Waduh, beberapa konsep surat dinas yang terlanjur saya bikin kemarin harus direvisi lagi dong. Jadi teringat dulu, waktu saya sengaja tidak mencantumkan gelar H di depan namanya. Sukses, konsep surat musti dikembalikan.
Saya lupa menghitung berapa kali tepukan tangan para hadirin cetar membahana. Sengat terik sang surya yang menerpa ratusan peserta apel tak membuat lupa keharusan bertepuk tangan atas klaim kesuksesan program pemerintah.
Dulu, dulu sekali, kalau tak salah ada seorang menteri yang menyatakan bahwa tepuk tangan berbanding lurus dengan tingkat popularitas pemimpin. Ceritanya, ada sebuah lembaga survei yang melansir jika kinerja presiden menurun. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa peristiwa yang menjadi perhatian publik, seperti belum tuntasnya kasus pembunuhan aktivis HAM, bailout sebuah bank, kasus korupsi, dan kasus-kasus pidana yang diduga melibatkan petinggi partai. Dengan kata lain rakyat makin tak puas dengan kinerja pemerintah yang sekarang.
Akhirnya salah satu menteri menanggapi. Ia tak setuju jika ada penilaian popularitas Presiden menurun seiring banyaknya kasus yang ada selama ini. Diceritakan banyak warga bertepuk tangan saat ia menyebut nama Presiden tersebut dalam pidato kunjungan kerja di daerah. Karena itu ia merasa ada sesuatu yang tidak benar dari penilaian tersebut.
Saya jadi teringat saat masih duduk di bangku SMA, belasan tahun silam. Setiap hari Senin secara rutin kami, para siswa, guru, dan pegawai sekolah mengadakan upacara bendera. Yang menjadi pembina upacara seringkali adalah kepala sekolah, namun tak jarang juga digilir di antara guru yang kebetulan menjadi wali kelas. Dalam salah satu upacara pasti ada amanat dari pembina upacara yang berisi ceramah atau pembacaan pidato pejabat negara.
Yang paling membosankan adalah jika ceramah atau pembacaan pidato terlalu lama. Padahal kami mendengarkan sambil posisi tubuh berdiri terpanggang sinar matahari. Tapi ternyata ada beberapa teman yang punya cara jitu untuk segera menghentikan ”ketersiksaan” itu, yakni dengan tepuk tangan.
Saat jeda pergantian kalimat dari ceramah atau pidato pembina upacara itu, beberapa teman bertepuk tangan. Kami awalnya heran, tak biasanya di tengah-tengah pidato ada tepuk tangan, apalagi bermula dari barisan siswa. Kontan, siswa yang lain juga ikut bertepuk tangan, hingga akhirnya semua ikut bertepuk tangan, tak terkecuali para guru dan pegawai sekolah. Sang pembina upacara girang tak kepalang, merasa pidatonya mengena di hati para pendengar. Namun benarkah demikian? Tentu saja tidak.
Tepuk tangan itu bukan tanda puasnya peserta upacara mendengar pidato, malah mungkin banyak yang tidak menghayati makna dari pidato itu. Tepuk tangan itu hanya cara agar pidato segera diakhiri, namun dengan cara yang halus. Sang pembina pun merasa senang, seolah-olah pidatonya mengena. Padahal pada kenyataannya bukan seperti itu.
Tiga empat kali kami berhasil menghemat durasi waktu pembina yang berpidato dalam upacara. Namun lama kelamaan para guru pun menyadari trik itu, sehingga ada juga pembina upacara yang tak terpengaruh dengan tepuk tangan. Hasilnya kami terus terpanggang di sinar matahari. Hehehe...gak pa-pa-lah, belajar mencintai negeri, belajar banyak mendengar, dan sekaligus menyerap vitamin D dari sinar matahari, sehat.
Lalu apa intisari tulisan di atas? Yap, menjadi tua itu pilihan. Menjadi peserta upacara itu pilihan. Halah...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya