Tasroh, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang menulis opini di MEDIA INDONESIA, 18 Juli 2012 dengan judul Strategi Membangun PNS ala Jepang. Disampaikannya bahwa birokrasi Indonesia amat lekat dengan birokrasi kotor. Berbagai kasus yang mendera PNS kian menambah daftar panjang birokrat yang terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wajar apabila citra birokrasi Indonesia amat terpuruk.
Menurut Tasroh, Pemerintah Indonesia sudah harus mengubah strategi pembangunan disiplin dan mutu aparaturnya. Salah satunya ialah strategi membangun ‘mental bersih’ ala Jepang yang sudah dilakukan pemerintah ‘Negeri Matahari Terbit’ itu sejak 1978. Pemerintah Jepang dikenal sebagai pemerintah yang amat ngopeni semua hasrat dan harapan birokrat/aparatur/pegawai layanan publik Jepang. Hal itu terlihat dari minimnya pelanggaran, penyelewengan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh aparatur di satu sisi, serta jarangnya keluhan, protes, dan demonstrasi rakyat/warga Jepang atas hasil kerja dan kinerja pegawai pemerintah.
Mengutip pendapat pakar manajemen pemerintahan dari Kyoto University, Tadaro Hanna dalam bukunya Beyond Productive Mental of Japan’s Public Officials (1998), Tasroh menyebutkan salah satu penyebab mental ‘bersih’ ala Jepang terbangun karena dua faktor simultan yang dikembangkan pemerintah dari generasi ke generasi.
Pertama, negara/pemerintah mendorong tumbuhnya sanksi sosial. Untuk alasan itu, pemerintah Jepang melakukan langkah revolusioner, yakni dengan cara membangun sanksi sosial secara sistemis. Antara lain, setiap pegawai negeri di sana wajib menandatangani pakta integritas dan sosial terkait dengan perubahan perilaku dan mental selama menjadi pegawai/aparatur. Pakta itu diteken di bawah sumpah dengan disaksikan semua elemen negeri, termasuk para guru spiritual dan intelektual.
Kedua, membatasi aktivitas pegawai negeri Jepang untuk berbisnis murni atau membisniskan kerja negara. Pemerintah sudah lama melarang pegawai negeri menjalankan atau berafiliasi dengan pihak bisnis/investor baik berafiliasi atas nama usaha/bisnis diri sendiri, keluarga, ataupun handai tolan hingga level ketiga (tidak boleh istri, anak, dan/atau anggota keluarga dari keturunan suami/istri) menjalankan bisnis murni layaknya pihak swasta.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya Pemerintah Indonesia telah memiliki instrumen yang serupa dengan Jepang, malah lebih dahulu terbit. Menurut PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji PNS, setiap Calon PNS segera setelah diangkat menjadi PNS wajib mengucapkan sumpah/janji kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengambilan sumpah ini dilakukan dalam suatu upacara yang khidmat didampingi seorang rohaniwan. Isi dari sumpah yang diucapkan itu tentu saja berisi hal yang baik-baik saja, seperti janji untuk bekerja dengan jujur. Sumpah/janji yang telah diucapkan itu dituangkan dalam bentuk berita acara dan ditandatangani oleh PNS yang bersangkutan. PNS yang melanggar sumpah/janji diancam dengan pemberhentian sesuai UU Kepegawaian (UU Nomor 43 Tahun 1999 jo UU Nomor 8 Tahun 1974).
Selain itu untuk mewujudkan PNS yang kuat, kompak, dan bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat, diwujudkan melalui pembinaan korps PNS dan kode etiknya. Maka itulah terbit PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Menurut peraturan itu setiap PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam negara, dalam penyelenggaraan pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama PNS. Sekali lagi instrumen itu berisi hal-hal yang baik. Bila ternyata ada pelanggaran, maka ada sanksi moral yang menantinya.
Sanksi moral barangkali tidak begitu memberikan efek jera bagi PNS. Regulasi yang lain adalah PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Instrumen ini merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 30 Tahun 1980 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Peraturan ini berisi kewajiban dan larangan bagi PNS, misalnya kewajiban untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat dan larangan untuk menyalahgunakan wewenang atau menerima hadiah dari siapa pun yang berhubungan dengan jabatan. Pelanggaran atas kewajiban dan larangan akan dikenai sanksi. Sanksi diberikan secara bertingkat sesuai berat ringan pelanggaran, mulai teguran lisan hingga pemecatan. Bahkan atasan yang enggan memberikan sanksi kepada anak buahnya pun diancam untuk diberikan hukuman disiplin pula. Begitu seterusnya secara berjenjang.
Regulasi terbaru adalah pedoman umum pakta integritas di lingkungan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang diterbitkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tanggal 28 Oktober 2011 (Permenpan dan RB Nomor 29 Tahun 2011). Setiap pimpinan kementerian, lembaga, dan pemda, serta para pejabat dan seluruh PNS wajib melaksanakan pakta integritas yang didahului dengan penandatanganan Dokumen Pakta Integritas. Tujuan pelaksanaan pakta ini adalah memperkuat komitmen bersama dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, menumbuhkembangkan keterbukaan dan kejujuran, serta memperlancar pelaksanaan tugas yang berkualitas, efektif, efisien, dan akuntabel, serta untuk mewujudkan pemerintah dan masyarakat Indonesia yang maju, mandiri, bertanggung jawab, dan bermartabat.
Selanjutnya, sama dengan Jepang, PNS di Indonesia secara legal formal juga dibatasi dalam usaha bisnis. Aturannya adalah PP Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta. PNS golongan tertentu dan pejabat eselon tertentu termasuk istrinya dilarang memiliki seluruh atau sebagian perusahaan swasta, duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas perusahaan swasta, dan melakukan usaha dagang baik secara resmi maupun sambilan. Sedangkan PNS dengan golongan lebih rendah diperbolehkan melaksanakan usaha bisnis asalkan mendapatkan izin dari pejabat berwenang.
Mencermati berbagai peraturan perundang-undangan di atas, bagaimanakah dengan prakteknya? Ternyata Indonesia kaya dengan regulasi, namun miskin aplikasi. Sepertinya bukan masalah ada tiadanya aturan semata yang menyebabkan munculnya berbagai kasus di kalangan PNS. Namun sikap mental, kebiasaan, pendidikan, dan keteladanan yang juga perlu dibutuhkan.
Pembangunan PNS, Antara Jepang dan Indonesia
Minggu, 12 Agustus 2012
Label:
hukum,
peraturan,
pustaka,
tentang madiun,
tentang ngawi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Wah, lebih baik nggak punya jabatan daripada tidak bisa berbisnis. :D
Klo aturan PNS di Jepang diterapkan seluruhnya apalagi soal bisnis ini rasanya sulit. Karena gaji PNS di Indonesia sendiri masih jauh di bawah Jepang.
:)
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya