komiocykid.wordpress.com |
Teriring hembusan lembut angin yang menerpa wajah, terasa segar. Melambaikan dedaunan bergemisik dan tak luput berguguran di bumi, sebagian. Rintik air itu pun hampir usai menangis. Tanah ini masih basah, meninggalkan genangan-genangan air yang tampak keruh kecoklatan. Dan terkadang memantulkan kembali sinar sang surya yang tampak malu-malu tersenyum. Wajahnya bersemu merah timbul tenggelam di balik awan nan berarak-arak. Sebentar lagi kembali ke peraduannya. Purna sudah tugasnya di belahan bumi ini. Sesaat lagi sang rembulan akan menampakkan pijar penerangan. Bertemankan kerlap-kerlip bintang di langit bak lentera beribu-ribu. Tak jemu-jemu. Kan kutuliskan memori alam itu untuk mengukir kenangan tentang kaummu wahai wanita. Ukhti, jangan pernah jemu. Jadilah melati yang menebarkan aroma lembut keharuman. Di mana pun berada. Apa pun namanya, melati kan tetap wangi. Dan kalianlah melati itu.
Ukhti...
Sesekali suara kelepak sayap burung yang hinggap di pucuk pepohonan itu terdengar. Setelah itu hening kembali. Senyap. Kesunyian yang datang tiba-tiba menyergap melahirkan kembali jalinan kisah yang telah lalu. Usang memang, tapi tetap terpatri di dalam angan. Terkenang kembali masa lalu. Teringat kembali sosok-sosok yang dulu terlihat asing dalam pandangan. Ada keanehan dan kejanggalan terasa tatkala langkah-langkah itu begitu tegar berpijak di negeri ini. Kenapa Ukhti? Kenapa kalian begitu kuatnya menutupi apa yang biasa ditampakkan oleh sebagian kaummu. Tidakkah itu keterbelakangan. Tidakkah itu kemunduran. Apa yang kalian banggakan dengan busana yang hanya menyisakan muka dan telapak tangan. Kadang mereka yang kebanyakan itu mengatakanmu dengan nada sinis, bahwa itu kuno, kolot, ekstrem, dan ketinggalan jaman. Aku takjup. Kalian membalasnya hanya dengan senyuman tulus kedamaian dan memahamkannya dengan lemah lembut. Aku heran, aku heran. Dan aku masih terus mencari jawaban demi jawaban. Tapi itu dulu. Sampai kemudian berlabuhlah hati ini ke pantai kedamaian. Telah tertambat perasaan memenuhi kalbu syiar agama Islam. Dan sekaligus memahami kalian. Terjawablah sudah.
Ukhti...
Rerumputan di hadapan ini masih tetap menyegarkan, hijau menyala. Basah memang, tapi menyejukkan tatapan. Kadang kerontang diterpa terik mentari yang teramat sangat ketika siang. Bunga-bunga pun gerah kepanasan, luruh menunduk. Entahlah, apa yang kupikirkan sesaat ini pernah jua kalian pikirkan. Tidakkah kalian rasakan betapa tidak nyamannya berpakaian lebar sedangkan matahari begitu semangat membakar. Peluhku saja bercucuran bahka rambutku pun sampai kemerahan. Duhai, apa yang kalian rasakan. Kecintaan kepada Rabbmu lebih dirasakan daripada sekadar panas terik menggelegar. Kalian tebarkan keindahan di tengah kekeringan. Dan kalian teduhkan panas menjadi sejuk membeku. Keteguhan yang kuat sedahsyat karang berbatu.
Ukhti...
Titik-titik air telah reda. Bunga-bunga semakin segar bermandikan tirta. Nun jauh di sana tampak pelangi berselang-seling berwarna-warni. Agak kabur memang bayangannya, tapi tetap anggun. Mengingatkan legenda pada turunnya para bidadari yang akan hadir ke telaga. Masaku telah sampai dan ingin terus kupijakkan dengan kokoh di atas bumi. Tekad yang tajam berjuang meneruskan generasi mulia. Bersama kalian Ukhti, yang semakin bertebaran. Populasi yang kalian lahirkan semakin hari semakin bertambah. Tidak cukup di masjid, tapi juga di kampus, di kampung, di sekolah, dan di mana-mana. Bahkan acapkali aku temui suara kalian membahana turun ke laga melawan kezaliman. Kharisma apa yang kalian ciptakan hingga terus terang membuatku semakin cemburu. Aku tak berdaya. Kalian datang tebarkan dakwahmu. Iringi waktu yang tak lagi membeku. Menyambung hidayah Ilahi. Memenuhi panggilan Robbi. Begitu eratnya kalian songsong para saudarimu dengan penuh perhatian. Tatapan simpati dan perhatian tulus. Akhlak mulia dan senyum keikhlasan. Menahan pandangan dan kokoh berazzam. Kesederhanaan. Kecerdasan. Kelembutan. Ketekunan. Apa lagi Ukhti. Aku semakin tak berdaya. Kutatap wajah kusut pada cermin yang tak mungkin berdusta. Ada malu di sana, semakin pasi, semakin pasi.
Ukhti...
Burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Lelah sudah seharian menyusuri awan. Kadang-kadang berceloteh riuh berkonser ria. Indah bak tembang nan merdu. Simponi alam yang berpadu-padu dan berikat-ikat. Kalau boleh kuilustrasikan kalian seperti burung yang melayang meninggalkan sarang sejak pagi hingga petang ’kan menjelang. Jarang atau bahkan hampir tidak pernah menemui kalian berkeliaran malam-malam di jalanan. Apalagi berpasang-pasangan. Tidak seperti para wanita muda kebanyakan yang merasa menguasai peradaban. Malam adalah surga bagi mereka. Kebebasan nafsu adalah kenikmatan. Begitu mudahnya tangannya dipegang erat oleh orang yang bukan haknya. Atau demikian mudahnya bergantian dipeluk tanpa bosan-bosan, dengan orang yang berbeda sekalipun. Mereka telah menjungkirbalikkan tuntunan menjadi tontonan dan tontonan menjadi tuntunan. Tempat ibadahnya diskotik dan pub malam. Tata etikanya dansa dan tarian. Nyanyian setan zikirnya. Umpatan kotor doanya. Tegarlah Ukhti. Pakaianmu adalah ketakwaan. Lipstikmu adalah istighfar. Make up-mu adalah air wudhu yang terpancar.
Ukhti...
Senja pun sudah hampir menjelang. Cakrawala makin samar-samar membias cahaya. Angin telah berhenti sejak lalu. Bisu. Ukhti, pandanglah sekelilingmu. Apa yang telah dilakukan sebagian dari kaummu. Tidakkah kalian merasa terhina. Kecantikan telah dipuja. Kemolekan semakin menjadi berhala. Merasa rugi kalau tubuh indahnya tidak dilihat orang. Merasa rugi jika rambut lebatnya tidak dipuji orang. Malah tak jarang mengobral nafsu syahwat dengan amat murahnya, di pinggir jalan sekalipun. Apalagi yang masih tersisa dalam diri seseorang yang sedikit pun tidak merasa risih memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya. Itu pun dengan gratis dan tanpa malu-malu. Bahkan sembari tersenyum dan tertawa terbahak-bahak. Seolah melakukan dua hal sekaligus: membunuh rasa jijiknya dan menimbulkan rasa jijik pada orang lain. Jagalah iffah dan izzahmu Ukhti. Ingatlah pesan seorang ulama, kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan terletak pada wajah dan pakaiannya. Kalian raih lembutnya mimpi. Duh, bila cinta Ilahi indah bersemi, bahagianya.
Ukhti...
Matahari tinggal menjadi aksara. Punah sudah bersemayam di sisi langit sebelah barat. Sesekali rintik gerimis menjatuhkan titik-titik air. Jatuh ke tanah dan terserap musnah. Kadang bergulir dari daun yang hendak tertidur pulas. Di langit yang lain rembulan sepotong pias. Kuntumnya merona merundukkan senyum. Sinarnya lembut tertutup mega, terkadang. Bayangnya gelap menggapai damai, datangkan kembali kasih menuai. Terlalu beku untuk memakna. Alam ’kan mendakwa insan berkhayal menjadi pujangga.
Ukhti...
Bait terakhir dari sebuah elegi. Maafkan aku. Kututup seraya berbisik, lirih. Alunan suara azan telah mulai bergema berkumandang di penjuru alam. Sayup-sayup sampai. Kan kuhentikan pena ini, kan kuhadapkan insan ini ke wajah Ilahi, segera. Karya ini bukan sekadar goresan. Bukan maksudku untuk membuat kalian tersanjung. Ukhti, jangan GR ya. Tapi kalian memang pantas menyandang pepujian. Aku haru membiru, bangga membahana. Dan akan aku siapkan segalanya. Memetik bunga melati yang tercium wangi. Untuk mendampingi satu di antara kalian menyusuri bahtera rumah tangga suatu saat nanti. Serta menjadi ayah buat anak-anak kita, kelak di kemudian hari. Tunggu saja Ukhti. Sebab aku manusia sebab aku cinta. Semoga...
Sumber: Mading Komsat KAMMI UGM tahun 2001. Ditulis di Mushola Baitul Hakim FH UGM sekitar Maret 2001, ba’da Asar. Tulisan aslinya ada pada Buku Pesan KMFH. Sayang, buku itu sendiri telah musnah dibakar saat terjadi kegaduhan di antara personel gerakan mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya