Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga PT Pertamina (Persero) ikut melakukan praktek kartel dan monopoli terkait sektor minyak, mengacu kepada pernyataan pejabat Pertamina terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax. Dugaan tersebut sudah ditelusuri sejak awal Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang menaikkan harga BBM kemudian menurunkannya kembali. Ketika harga BBM diturunkan kembali, sempat ada statement petinggi Pertamina yang akan menurunkan harga Pertamax kalau dua perusahaan kompetitor lainnya ikut menurunkan harga. Hal ini mengindikasikan adanya praktek kartel karena seolah-olah beberapa perusahaan minyak mengondisikan harga. Saat ini KPPU masih melakukan proses penelitian terkait dugaan kartel yang dilakukan pihak Pertamina.
Memang pada jamaknya, praktek kartel dilakukan pada aktivitas ekonomi. Kartel merupakan kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. Market power ini memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. Pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi wilayah penjualan.
Sederhananya, beberapa pelaku usaha bersekongkol untuk mempengaruhi harga dengan mengatur volume produksi, jalur pemasaran, dan sebagainya. Mereka juga menutup peluang pelaku usaha lain yang akan berkompetisi secara sehat untuk masuk. Akibatnya konsumen harus membayar lebih mahal dari harga seharusnya. Konsumen tak memiliki refererensi berapa seharusnya harga yang harus dibayar sampai akhirnya tahu jika barang dan jasa sejenis di luar negeri berharga lebih murah. Tak menutup kemungkinan, untuk melindungi kekuatan, pelaku kartel harus menyuap aparat, terjadilah kong kalingkong, manipulasi, dan korupsi. KPPU pernah berhasil membongkar praktek kartel yang dilakukan enam perusahaan seluler selama tahun 2004-2008 yang menetapkan persekongkolan harga tarif SMS. Kerugian yang diderita konsumen mencapai Rp 2,827 triliun.
Di berbagai negara praktek kartel merupakan pelanggaran hukum. Dalam hukum positif Indonesia pun praktek kartel telah dilarang. UU Nomor 5 Tahun 1999 mengatur hal tersebut. Dalam Pasal 11 disebutkan pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Melihat tingginya keuntungan, praktek kartel akhirnya merambah dunia politik praktis. Dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 dalam edisi pertama jurnal Party Politics, kedua ilmuwan politik ini beranggapan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi perjuangan partai politik dari catch-all party menjadi cartel party. Tipologi cartel party lebih menekankan aspek profesionalitas dari politisi dalam upaya memenangkan partainya dengan berbagai cara apapun. Di samping itu, partai dalam tipe ini memandang penting akses dan sumber daya di pemerintahan sebagai orientasi kekuasaannya. Oleh karenanya, setiap partai politik menganggap bahwa berada dalam lingkaran kekuasaan negara adalah sebuah keharusan, meskipun dukungan pemilih terhadap partai tersebut rendah. Negara, dalam hal ini berbagai instansi dan lembaga pemerintahan, dianggap mampu menyediakan limpahan sumber daya bagi keberlanjutan hidup partai politik (Perdana, 2015).
Dengan menggunakan teori Katz, Dody Ambardi (dalam Kurniawan, 2015) mengemukakan lima ciri politik kartel di Indonesia. Pertama, hilangnya faktor ideologi dalam penentuan koalisi. Kedua, sikap menghindari konflik sehingga terkesan tutup mata terhadap kesalahan pihak lain demi menjaga kekuasaan. Ketiga, akibatnya adalah hilangnya sikap beroposisi. Keempat, hasil pemilu hampir tidak memengaruhi perilaku partai politik dan hanya menentukan komposisi “kue” kekuasaan. Kelima, hilangnya sifat kompetitif dan cenderung bersikap secara kolektif.
Melihat kecenderungan partai politik lokal di Ngawi menghadapi Pilkada 2015 mengindikasikan menuju arah kartel politik. Hampir seluruh parpol yang memiliki wakil di DPRD mengusung satu calon yang sama, yakni Budi Sulistyono sebagai calon bupati dan Ony Anwar sebagai calon wakil bupati. Keduanya merupakan petahana. Budi Sulistyono merupakan mantan Ketua DPD PDI Perjuangan setempat yang sekarang pengurus di PDI-P provinsi Jawa Timur. Sedangkan Ony Anwar merupakan putra mantan bupati sebelum Budi Sulistyono.
Saat mendaftar ke KPUD Ngawi pasangan tersebut resmi diusung 9 parpol dengan total 478.863 suara sah atau 94 persen. Sembilan parpol itu meliputi PDI-P, Partai NasDem, PKS, PAN, Partai Golkar, PKB, Partai Demokrat, Partai Hanura, dan Partai Gerindra. Hanya, PPP yang punya dua kursi di dewan yang tidak ikut mengusung. Dengan berkoalisinya 9 parpol itu, praktis menutup kesempatan pasangan calon lain yang berniat berangkat via partai politik.
Parpol-parpol bersikap pragmatis dan enggan berkompetisi untuk mencari aman. Mereka paham jika memunculkan calon lain akan bernasib kalah. Budi Sulistyono-Ony Anwar bisa dikatakan calon kuat, apalagi mereka adalah petahana. Keuntungan dari calon petahana adalah mereka leluasa “berkampanye” menebar pesona dan melakukan pencitraan jauh-jauh hari sebelum dihelatnya pilkada. Tak jarang kegiatan mendongkrak popularitas pun dibalut dengan agenda kedinasan yang sejatinya menggunakan anggaran rakyat.
Selain anggapan merasa akan kalah sebelum bertarung, tak dipungkiri transaksi politik biasanya muncul pada praktek kartel. Pola koalisi tak lagi mengindahkan ideologi, namun seberapa besar kue kekuasaan yang bakal diterima. Akibat lebih lanjut adalah hilangnya oposisi kepada pemerintah. Jika calon yang diusung oleh 9 dari 10 parpol yang ada di parlemen tersebut kembali menang, sulit dibayangkan parpol-parpol pendukungnya bakal bersuara kritis kepada kepala daerah. Siapa lagi yang akan mengontrol jalannya pemerintahan? Di saat yang sama Lembaga Swadaya Masyarakat dan pers daerah terdengar senyap. Sayup-sayup sampai.
Efek lain dari politik kartel adalah rendahnya partisipasi masyarakat, baik dalam pelaksanaan pilkada maupun kebijakan kepala daerah terpilih. Bayang-bayang golput bisa saja menghantui pelaksanaan pilkada mengingat calon yang disediakan oleh parpol hanya satu. Dan hanya itu-itu saja. Masyarakat tidak diberi pilihan lain. Ini belum lagi mengkaji kemungkinan kejenuhan atas seringnya pemilu dan pilkada dengan segala tetek bengeknya (kampanye, pemasangan baliho, money politic, perseteruan, dendam, dan lain-lain).
Lahirnya oligarki dari praktek kartel politik mengakibatkan enggannya partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik. Masyarakat dipaksa dan terpaksa menjadi penonton. Pengadaan proyek, misalnya, hanya melingkar pada korporasi tertentu, elit politik, dan pemerintah. Di tingkat nasional dan banyak daerah, oligarki antara ketiganya menumbuhsuburkan korupsi. Hal inilah yang berkali-kali terbongkar dalam kasus yang ditangani oleh lembaga anti rasuah maupun kejaksaan.
Sebenarnya gejala politik kartel yang ada di Ngawi muncul pula di berbagai daerah yang bakal menghelat pilkada serentak pada akhir tahun 2015 ini. Bahkan beberapa daerah mengalami hal yang lebih parah, yakni hanya muncul 1 calon peserta sehingga pilkada diundur. Terbuanglah dana milyaran rupiah. Ngawi lebih beruntung karena calon petahana bakal berhadapan dengan calon independen. Asal tahu saja bahwa nama calon independen itu kurang dikenal di telinga masyarakat Ngawi. Kalau meminjam bahasanya mas Aris Sudanang dalam opininya di Radar Madiun, kelihatan sekali kalau dipaksa untuk turun bertanding. Kelasnya "ayam sayur".
Ke depan kita berharap partai politik kembali ke khittahnya. Memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dan menyiapkan pemimpin masa depan. Bukakah peran partai politik adalah merekrut calon pemimpin berkualitas dan menawarkannya kepada publik? Dalam ranah lokal pertontonkanlah sikap politik yang tidak mencederai demokrasi dengan memberikan alternatif pemimpin daerah agar bersama-sama bersaing dalam kompetisi yang jujur.
Mudah-mudahan tak ada dusta di antara kita. Hehehe... pissssssss!!! Ini cuma pendapat sederhana saya yang berpura-pura jadi pengamat politik lokal kelas teri. Tak usah diambil hati.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya