Namanya manusia, siapa sih yang tak pernah lupa. Saya, aku, gue, gua, ane, ana, inyong. Anda, kamu, elo, ente, antum, sampeyan, panjenengan. Kita semua pasti pernah mengalaminya. Bahkan pepatah Arab mengatakan, Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Itulah sebabnya setiap hari kita dianjurkan membaca istighfar minimal 100 kali. Kamu makan minum di siang hari saat bulan Ramadan pun tidak dihukumi dosa, asalkan lupa.
Pernah dengar cerita suami yang lupa meninggalkan istrinya di jalan? Cerita ini pernah saya baca di Jayabaya, sebuah majalah berbahasa Jawa. Mungkin kejadiannya pada tahun 1980-an. Begini ceritanya sob, eng ing eng. Kebiasaan orang dulu kalau berboncengan sepeda, di bagjo saat berhenti karena lampu merah sedang menyala, orang yang dibonceng di belakang (lha iya masak dibonceng di depan) pasti turun. Jika lampu menyala hijau, yang dibonceng segera naik ke peraduan, eh boncengan, si pengendara pun kembali mengayuh pedalnya. Kamu boleh cek kepada ayah ibu kamu kebenaran kebiasaan ini. Saya yang mengalami menjadi bocah di tahun 1980-an masih sempat menyaksikan kebiasaan tersebut.
Nah, suatu hari ada suami istri yang berboncengan sepeda motor. Suami di depan. Si istri di belakang duduk menyamping. Tiba di perempatan, lampu bangjo menyala merah. Si suami menghentikan motor. Karena kebiasaan, si istri pun turun. Ketika lampu menyala hijau, seketika si suami melajukan motor. Ia tak menyadari kalau istrinya belum sempat naik ke boncengan. Ia tersadar karena sepanjang perjalanan itu tiap kali mengobrol tak ada yang menanggapi. Begitu menengok ke belakang, eh ladhalah, istrinya tak ada. Saat kembali ke tempat bagjo tadi di dapatinya si istri duduk di pinggir trotoar termenung sembari bersenandung ala Nia Daniati, “Pulangkan saja, aku pada ibuku, atau ayahkuuuuuu. Uwo-uwo.” Nggak, yang terakhir itu ngarang bebas.
Saya punya kakak yang termasuk pelupa. Pernah kami berdua menuju ke masjid untuk sholat dhuhur berjamaah. Berboncengan motor, ia di depan, saya belakang. Usai sholat ia tampak kebingungan. Rogoh kantong baju. Rogoh kantong celana. Samping kiri, samping kanan. Gelandang kiri, gelandang kanan. Depan, striker. Kunci motor tak ada di sekujur tubuhnya. Segera saja saya lari keluar menuju parkiran motor, takut jangan-jangan motor turut raib. Tuh kan, kunci motor masih menancap di sana. Ternyata ia lupa tak mencabut kunci setelah memarkir motor. Untunglah tak ada penjahat yang berniat mencurinya. Kata bang Napi, kejahatan muncul karena ada niat dan kesempatan. Padahal lho, masjid tersebut berada di area pasar yang pada siang hari begitu padat dengan banyaknya orang beraneka ragam.
Pernah pula kakak saya mau balik ke Surabaya setelah libur lebaran usai. Waktu itu masih kuliah di Unair. Biasanya kalau pulang dari Madiun ke Surabaya naiknya bis. Kalau nggak Sumber Kencono ya Mira Lesmana, hehehe... Kebetulan ada tetangga yang kerja di Sidoarjo dan menawari pulang bareng naik motor, karena masih satu arah, apalagi Sidoarjo kan tetangga dekat Surabaya. Tentu saja tawaran itu disambut dengan riang gembira. Namanya pula anak kuliah yang ngekos. Pengiritan, bro, katanya padaku (tentu saja istilah bro itu saya tambah-tambah sendiri, jamannya masih jadul). Dua jam sejak berpamitan sama orang-orang rumah, lha kok dia balik lagi. Kenapa mas? Tanya saya. Lupa, kunci kamar kos ketinggalan, katanya. Ealah. Ceritanya tuh sudah sampai Caruban, baru sadar jika tak membawa kunci kosan. Ya masih untunglah, baru nyampe Caruban, coba kalau sudah nyampe Surabaya. Apa mau tidur di emperan.
Banyak kejadian geli yang kami jumpai saat kami masih bersama di rumah Madiun. Terutama terkait dengan lupanya. Bagaimana ia teriak-teriak dari kamar mandi minta tolong saya, setelah berbasah kuyup, ternyata handuk masih nangkring di jemuran luar rumah. Bagaimana ia pulang jalan kaki dari mushola, padahal perasaan tadi berangkatnya bawa sepeda. Lupa yang paling fatal, adalah saat ia menaruh tas ketika sholat subuh di pelabuhan Ketapang waktu mau nyebrang ke Bali. Alhasil seluruh baju, uang, termasuk ijazah raib tak tentu rimbanya.
Senyum saya mengembang membaca tulisan kocak Bang Arham Rasyid, kartunis Kendari itu tentang penyakit lupa alias linglung. Pernah ia habis muter-muter kota, pas pulang ke rumah baru nyadar sekantung sampah yang seharusnya dibuang di bak sampah kompleks eeh masih nangkring manis di gantungan motor. Ini belum seberapa, karena sebelumnya dia pernah hampir menenteng sampah titipan istri masuk hingga ke ruang kantor, lupa dibuang. Pernah juga gak nyadar memakaikan anak pampers tanpa membuka celananya terlebih dulu. Alamak.
Ada malah yang lebih parah, dialami abangnya. Saat itu abangnya naik angkot, pas sampe di tempat tujuan, bukannya teriak "kiri..!", malah teriak " assalamu'alaikum..!". Sudah gitu kenceng banget lagi. Suasana angkot hening. Penumpang gak ketawa, cuma pada menghela nafas, tampak kasian dan prihatin. Mungkin disangka orang stress. Ada lagi. Istrinya pernah nyaris mencium tangan tukang ojek setelah diantar di tempat tujuan, saking kebiasaan nyium tangan suami setiap diantar ke kantor. Untung insiden penciuman itu gak sempat terjadi. Weka weka weka.
Kenapa saya tulis tentang lupa. Tak lain karena terinspirasi kejadian heboh tadi pagi. Kunci motor lupa ditaruh di mana sama istri. Terakhir dia yang pakai. Biasanya kalau saya yang pakai saya letakkan di gantungan samping lemari di dalam kamar. Dan pagi saat mau saya pakai ke kantor kunci itu tak ada. Seisi rumah bahu-membahu mencari. Hampir saja saya menyuruh istri sholat. Katanya ada teori (ngawur) kalau lupa meletakkan suatu barang maka sholatlah, maka ingatlah engkau akan barang tersebut. Tapi tak saya lakukan. Akhirnya setelah lebih setengah jam ketemulah di sekitar rak buku.
Meskipun sering lupa meletakkan barang, istri saya punya ingatan kuat tentang arah suatu lokasi yang pernah disinggahinya. Ini cocok dengan hasil penelitian yang mengatakan bahwa wanita lebih mudah mengingat rute jalan dibandingkan pria. Ini beda dengan saya. Saya mudah lupa dengan rute. Waktu nikahan dulu, pas resepsi di rumah istri di Ngawi (lebih tepatnya rumah orang tua istri), saya sampai lupa di mana letak rumahnya. Saya dan rombongan yang dari Madiun sampai kebablasan.
Lalu apa sih sari pati tulisan ini. Intinya adalah lupa itu manusiawi. Menjadi tua itu pasti, menjadi pelupa itu pilihan. Hehehe... gak nyambung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya