Masa kecil saya lewati di Madiun, daerah yang terkenal dengan pecel, juga terkenal dengan pemberontakan PKI di tahun 1948 silam. Rumah saya terbilang masuk perkotaan, namun bukan kawasan elit. Hanya perkampungan biasa yang padat penduduk. Bahkan rumah saya masuk gang sempit, yang mobil pun tak bisa masuk. Karena sempitnya gang, tak jarang pinggir jalan menjadi salah satu alternatif tempat bermain, meskipun dengan resiko tertabrak kendaraan. Saya termasuk salah satu korbannya. Kepala pernah bocor terseret sebuah motor yang kebetulan dikendarai polisi.
Di dekat rumah ada sebuah tanah lapang. Tak terlalu luas memang, kira-kira seluas lapangan badminton, lebih luas sedikit. Orang-orang menyebutnya len. Mungkin menyebutkan lapangan dalam bahasa Inggris, land. Lapangan itulah yang menjadi tempat favorit kami, para bocah, bermain. Dari bermain bola, main layang-layang, lompat tali, gobag sodor. Biasanya kami yang anak-anak bermain pada saat siang, seusai pulang sekolah. Saat sore gantian para remaja, seusia kakak saya yang waktu itu duduk di bangku SMA yang bermain bulutangkis.
Lapangan yang tanpa rumput tersebut nyaris tak pernah sepi. Selain anak-anak dan pemuda, jika Minggu pagi gantian para orang tua memanfaatkannya untuk Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) yang dilanjutkan dengan main bulutangkis. Saat malam, gantian para pemuda yang cangkruk main gitar di pinggir jalan dekat lapangan. Kadangkala para pemuda dan remaja yang tergabung dalam Karang Taruna mengadakan layar tancap bekerja sama dengan perusahaan bumbu masak. Saat peringatan hari kemerdekaan diadakan panggung gembira.
Seingat saya, suasana tersebut berjalan dengan menyenangkan. Mulai saya balita sampai menginjak usia SD. Hingga pada akhirnya datanglah “malapetaka” itu. Hehehe... terlalu membesar-besarkan deh. Saya sebut malapetaka karena adanya perasaan masa kanak-kanak saya (dan kawan-kawan) yang terenggut.
Rumah yang persis di samping lapangan kedatangan penghuni baru. Rumah tersebut memanjang, sepanjang lapangan. Saya kurang tahu persis apakah lapangan tersebut masih menjadi bagian dari pemilik rumah. Selama ini kami tidak peduli. Dan selama ini tidak pernah ada larangan, terutama untuk anak-anak bermain di dalamnya.
Kami menyebut penghuni baru itu Om Siu. Ia tinggal bertiga dengan istri dan ibunya yang saya tak tahu namanya, namun herannya mereka tahu nama saya (ehm GR, terkenal nih). Keduanya bukan penduduk asli RT kami. Dan kebetulan beretnis berbeda dengan kebanyakan kami. Sebenarnya bukan perbedaan etnis itu yang menjadi malapetaka bagi kami. Orang tua kami tak pernah mengajarkan membenci etnis atau agama orang lain. Tapi sikapnya itu lho.
Sejak kedatangannya, Om Siu dan keluarganya, terutama ibunya memarahi kami yang masih anak-anak saat bermain di lapangan. Awalnya kami cuek saja. Jika dimarahi, kami membubarkan diri (sementara). Setelah ia masuk rumah, kami kembali bermain. Lha gimana lagi, itulah tempat favorit kami selama bertahun-tahun menikmati masa anak-anak. Jika jengkel Om Siu atau ibunya akan mengejar kami hingga kami benar-benar membubarkan diri.
Bola sepak kami yang terbuat dari plastik pernah dibakar olehnya. Termasuk pula bola sepak saya yang kebetulah berharga mahal hasil menabung, berhasil disita olehnya. Sedih rasanya. Tapi apalah daya, saya dan kawan-kawan masihlah anak-anak. Paling-paling kami hanya menggerutu di belakang. Kesimpulannya, keluarga itu tak mau ketenangannya terusik oleh keramaian kami, anak-anak kampung.
Yang paling fatal adalah apa yang dilakukan para pemuda. Mereka yang biasanya cangkruk di dekat lapangan juga sering menjadi sasaran omelan dan kemarahan. Hingga suatu malam, karena tidak dapat menahan emosi, salah satu pemuda memukul Om Siu. Yah, panjanglah urusannya hingga berujung ke markas tentara.
Akhirnya para sesepuh dan pengurus RT menasihati kami, anak-anak, remaja, dan pemuda untuk menahan diri untuk tidak lagi menggunakan lapangan untuk aktivitas. Sedih sekali rasanya. Kami kehilangan tempat untuk bermain bola, bermain gobag sodor, bermain bulutangkis, berkejaran, berlarian. Kami pun mencari alternatif tempat bermain lain. Lapangan jadi sepi.
Saat saya SMP dan SMA, lapangan tersebut masih saja sepi. Anak-anak SD di bawah usia saya telah kami wanti-wanti untuk tidak lagi bermain di lapangan bila tidak ingin mendapat masalah. Biarlah kami mengalah.
Saat saya kuliah di luar kota, Om Siu dan keluarganya sudah tak lagi tinggal di sana. Rumah sudah berganti pemilik. Lapangan itu kini sudah ditumbuhi rumah berlantai tiga. Menjulang tinggi. Entah siapa penghuninya, karena tak pernah menampakkan batang hidungnya. Konon, rumah sengaja dibangun tinggi untuk menampung walet yang ingin membuat sarang. Harga sarang burung walet bisa mencapai jutaan rupiah.
Lapangan itu, meninggalkan kenangan di masa kecil, bahwa di sana kami pernah bermain, berhujan-hujan, berpeluh, berkelahi, tertawa, bercengkerama dengan tetangga. Kadang miris juga, lahan semakin berkurang untuk sekadar tempat bermain anak. Jadilah saya ingat lagu Bang Iwan Fals, “Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana, demi serakahnya kota. Terlihat murung wajah pribumi. Terdengar langkah hewan bernyanyi”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya