ngobrolpanas.blogspot.com |
Saat momentum peringatan hari besar nasional atau terkait dengan sejarah bangsa, TVRI biasanya berbaik hati menayangkan film-film yang bertema perjuangan yang kebanyakan bergenre peperangan. Sebut saja Kereta Api Terakhir, Pasukan Berani Mati, Serangan Fajar, Bandung Lautan Api, Surabaya ‘45, Nagabonar, Pengkhianatan G 30 S/PKI, Operasi Trisula. Film-film tersebut bisa dinikmati saban malam minggu jam setengah 11 malam (kalau nggak salah) dalam program andalan Cerita Akhir Pekan.
Salah satu film yang masih saya ingat adalah Janur Kuning. Film ini menggambarkan serangan umum pada tanggal 1 Maret 1949 yang dilakukan oleh TNI terhadap kedudukan tentara Belanja di kota Jogja. Jogja merupakan ibukota RI saat itu yang dikuasai oleh Belanda. Serangan tersebut dilakukan pada jam 6 pagi secara serentak sehingga dinamakan serangan umum. Sebagai identitas, pasukan TNI mengenakan janur atau daun kelapa yang berwarna kuning.
Kota Jogja dibagi dalam berbagai sektor, dan masing-masing sektor melakukan serangan secara mendadak. Jogja berhasil dikuasasi selama 6 jam. Berita ini tersebar di dunia. Diklaim serangan secara militer memperkuat serangan diplomasi yang juga digencarkan oleh para pejuang bangsa. Alhasil Negara Indonesia yang baru lahir pun diakui.
Tokoh sentral dalam film Janur Kuning adalah Letkol Soeharto, yang beberapa belas tahun kemudian menjadi orang nomor satu di negeri ini. Dari awal sampai akhir film, kita bisa melihat betapa besar peran beliau, meskipun terdapat juga peran dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sang raja Yogyakarta. Tak heran, jika saat Bapak Soeharto berkuasa sebagai presiden, film tersebut beberapa kali ditayangkan di TVRI, hal yang saat ini hampir mustahil ditayangkan ulang, mengingat kejatuhan beliau ditambah dengan penghujatan dan pelupaan atas jasanya.
Era reformasi menghapus jaman orde baru setelah 32 tahun Presiden Soeharto berkuasa. Tak luput fim-film yang bertema perjuangan pun seolah disingkirkan dari layar kaca. Tak peduli siapa penguasanya. TVRI tak lagi sendiri mengudara. Puluhan stasiun swasta bermunculan, namun tetap saja cerita perjuangan pahlawan kalah gemuruh dengan cerita sinetron.
Bulan Maret 2015, ini adalah bulan Maret pertama bagi Presiden Joko Widodo. Saya tidak tahu apakah ada (semacam) peringatan dari jajaran pemerintah terhadap peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Yang saya tahu pada bulan Maret ini, negeri ini diserang bertubi-tubi, oleh pemimpinnya sendiri, oleh penguasanya sendiri. Keputusan Presiden tentang pengangkatan Kapolri berujung konflik Polri versus KPK, yang sepertinya belum berakhir. Harga beras naik. Tarif kereta api naik. Iuran BPJS dan tarif daftar listrik bakal naik. Harga BBM naik juga, eh salah ding, dinaikkan, dalam kesenyapan. Sunyi. Sesunyi partai berlambang banteng yang dulu sruduk sana sruduk sini di era sebelumnya jika ada rencana kenaikan BBM. Saat berganti menguasa? Mingkem.
Sebagian orang mengatakan, ah kenaikan tidak besar-besar amat, beli rokok sehari sebungkus saja sanggup kok. Namun mohon diperhatikan, yang saya pahami, kenaikan harga BBM membawa efek domino. Harga-harga barang lain turut naik. Namun anehnya jika harga BBM diturunkan, harga barang-barang lain yang terlajur naik seolah enggan turun kembali. Pemerintah menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia sedang turun.
Oh ya, satu lagi, dolar kayaknya sudah tembus 13.000 rupiah tuh. Satu hal yang mestinya tidak terjadi di era Presiden Jokowi, merujuk ramalan pengamat di masa kampanye pilpres.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya