Kata
teman saya ada beberapa jenis pekerjaan yang mensyaratkan adanya barang
atau uang sebagai jaminan. Barang itu bisa berwujud sertifikat
rumah/tanah, BPKB motor/mobil, ijazah, dan lain-lain. Tentu saja barang
jaminan itu asli sehingga nilainya amat berharga. Amat berharga karena
dengan meninggalkan barang jaminan kepada penguasaan orang lain, pekerja
menjadi terikat dengan syarat dan ketentuan dari orang yang memberikan
pekerjaan itu.
Selain
barang, yang bisa dijadikan jaminan adalah uang. Misalnya sebagai
syarat diterima bekerja pada sebuah unit usaha, pelamar harus
menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik unit usaha (majikan). Uang ini
tidak berubah menjadi hak milik majikan meskipun berada dalam
penguasaannya. Fungsinya sebagai jaminan agar pekerja tidak main-main
dalam bekerja, atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh pekerja,
atau alasan lain. Konon jika si pekerja memutuskan keluar dari
pekerjaannya maka uang itu dikembalikan, meskipun mungkin tidak utuh
100%. Demikian juga barang-barang lain yang dijaminkan.
Bekerja
dengan memberikan jaminan seperti di atas mungkin saja terjadi pada
sektor swasta dan bisa dibenarkan. Hal ini tergantung pada kebijakan
pemilik perusahaan. Tapi bagaimanakah kalau terjadi di pemerintahan.
Layakkah pemerintah menarik uang kepada masyarakat sebagai jaminan
penerimaan pegawai. Mestinya tidak. Kalau ini terjadi akan menimbulkan
diskriminasi, karena semakin besar jaminan yang diberikan tentunya
semakin besar pula peluang diterima menjadi pegawai. Hanya orang-orang
kaya saja yang dapat menjadi pegawai pemerintah, tak peduli pintar atau
bodoh. Dan imbasnya, masyarakat juga yang ikut menanggung karena pajak
yang kita bayarkan kepada negara dipergunakan untuk gaji mereka.
Saya
sering mendengar isu adanya setoran sejumlah uang untuk menjadi pegawai
negeri, baik itu untuk menjadi polisi, tentara, maupun PNS. Tapi terus
terang saya tidak pernah melihat langsung. Orang yang melakukannya pun
mestinya enggan untuk bercerita, bahkan cenderung menutup-nutupinya.
Meski begitu suara yang berkembang di masyarakat gencar terdengar adanya
setoran uang. Konon kabarnya pula, jumlah setoran itu bervariasi,
tergantung seberapa tinggi pangkat yang akan disandangnya nanti.
Mulai
kapankah kebiasaan ini lahir. Sejak Indonesia merdeka-kah. Atau sejak
jaman penjajahan. Atau mungkin sejak jaman kerajaan. Jangan-jangan sejak
kelahiran manusia di bumi Indonesia ini. Bila sebuah kebiasaan
dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, dan dilakukan secara
massal, bukankah ini telah menjadi kebudayaan. Bisa jadi kebudayaan itu
memuncak menjadi peradaban. Relakah Anda?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya