Di balik peralatan elektronik yang sering kita pergunakan sehari-hari, ternyata ada peluh keringat dan tetes darah ribuan penambang di Afrika, terutama di Kongo. Telepon pintar, laptop, komputer, DVD player, kamera digital termasuk di antaranya. Beberapa produk elektronik menggunakan logam tantalum, yang merupakan hasil pengolahan dari biji coltan. Logam tersebut memiliki kekuatan untuk menahan panas, menahan karat, dan menahan kekuatan listrik tingkat tinggi. Pertambangan coltan terdapat di Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Ethiopia, Mozambique, dan Kongo. Diperkirakan 80 persen dari produksi coltan di dunia dihasilkan di Kongo.
Demikian vitalnya coltan mengakibatkan harganya membumbung tinggi, konon dua sampai tiga kali lipat dari harga emas. Ironisnya, hal tersebut tak sebanding dengan pendapatan para penambang. Upah per hari mereka USD 5 dengan bekerja rata-rata 12 jam setiap hari di bawah tekanan dan kondisi berbahaya. Coltan ditambang melalui proses yang cukup primitif, manual, dan sederhana. Di Kongo, banyak tempat pertambangan yang dikontrol oleh pemberontak selama bertahun-tahun. Hasilnya digunakan membeli senjata untuk berperang. Sekitar 6,9 juta jiwa menjadi korban perang sejak tahun 1998 akibat konflik di Kongo.
Penguasaan tempat pertambangan untuk pembelian senjata digambarkan di dalam film besutan Edward Zwick, berjudul Blood Diamond. Sutradara The Last Samurai ini menyuguhkan cerita tentang pencarian berlian merah muda yang berukuran lebih besar dari lainnya dengan latar kisah nyata konflik etnis yang mengakibatkan terjadinya perang saudara di Sierra Leone, salah satu negara benua hitam Afrika. Di film yang diaktori oleh Leonardo Dicaprio ini kita disuguhi kisah pilu, tentang pembunuhan warga sipil, perbudakan di tambang berlian, dan penculikan para bocah untuk dijadikan tentara pemberontak.
Film lain tentang konflik tambang adalah Fire Down Below yang dibintangi oleh Steven Seagel sebagai Jack Taggart yang merupakan agen EPA. EPA adalah Environmental Protection Agency, sebuah lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Taggart menyamar sebagai relawan pada gereja setempat di kota Jackson, Kentucky untuk menyelidiki dugaan pencemaran yang dilakukan perusahaan pertambangan. Masyarakat tidak banyak memberikan keterangan karena didera ketakutan. Gereja tempatnya bekerja dibakar, pendetanya dibunuh. Taggart sendiri beberapa kali mendapat ancaman fisik pembunuhan. Namun berkat keahlian bela dirinya, ia selamat. Aparat keamanan dan pejabat lokal yang seharusnya melindungi kotanya dari kerusakan, tragisnya bersekongkol dengan pemilik tambang yang dikawal preman.
Fire Down Below memang film fiksi, tetapi di Indonesia seolah menemukan realitanya. Sabtu pagi, 26 September 2015, Desa Selok Awar-awar yang terletak di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur geger. Salim Kancil diambil paksa dari rumahnya oleh segerombolan orang. Dengan tangan diikat dan tubuh dihajar sepanjang jalan, dia diseret menuju balai desa yang berjarak sekitar 2 kilometer. Sesampai di balai desa penyiksaan tidak berhenti, termasuk dengan setruman. Ironisnya, banyak anak-anak menyaksikan karena lokasi balai desa berdekatan dengan sekolah. Salim kancil pun tewas. Ia tak sendiri. Thosan, temannya ikut pula diculik dan dianiaya, namun nyawanya masih selamat.
Salim Kancil dan Thosan adalah tokoh anti penambangan pasir. Sudah lama konflik antara masyarakat pro dan anti tambang berlangsung. Penambangan liar yang dilakukan di kawasan pesisir ini membuat kerusakan lingkungan terutama sawah yang digarap oleh petani setempat. Protes atas penambangan tidak dihiraukan oleh penguasa desa. Kepala desa malah memanfaatkan penambangan untuk mengeruk uang dalam jumlah yang besar. Untuk meredam protes, kepala desa menggunakan kekerasan sebagai salah satu caranya. Pengeroyok Salim Kancil dan Thosan adalah para pengawal kepala desa yang disebut sebagai Tim 12.
Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Salim Kancil bukanlah orang pertama yang diduga jadi korban pembunuhan akibat menolak penambangan pasir di Kabupaten Lumajang. Ada 3 korban lain yang berjatuhan dari desa yang berbeda. Salim Kancil yang keempat. Salim Kancil sendiri dan kelompoknya sempat melapor ke kepolisian, beberapa hari sebelum tragedi kematiannya, atas teror yang diterimanya. Namun tak mendapat respon selayaknya. Orang menjadi curiga, aparat yang sejatinya melindungi rakyatnya, ikut bersekongkol. Setidaknya, sikap pembiaran merupakan sebuah kekeliruan.
Setiap orang tidak mengetahui kapan takdir kematian menghampiri. Tetapi bagi para aktivis anti penambangan di Selok Awar-awar, menurut Mohammad Ilham, telah diramalkan. Dalam opininya di Jawa Pos, wartawan tersebut menuliskan bahwa tragedi pembunuhan terhadap Salim Kancil ini mirip dengan sekelumit kisah dari buku berjudul Cronica de Una Muerte Anunciada karya peraih Nobel Sastra, Gabriel Garcia Marquez. Karya nonfiksi yang diartikan ke bahasa Indonesia sebagai Kronik Kematian yang Telah Diramalkan itu terinspirasi kisah nyata yang ada di kampung sastrawan asal Kolombia tersebut.
Semua orang di kota kecil Sucre, Kolombia, sudah tahu bahwa cepat atau lambat Santiago Nasar akan mati terbunuh. Di pasar, kedai-kedai, seluruh penjuru kota, semuanya sudah mendengar nubuat itu. Bahkan, wali kota, polisi, dan pendeta setempat juga tahu. Saudara kembar Pedro dan Pablo Vicario telah mengabarkannya kepada semua orang yang ditemui. Mereka mengasah pisaunya ke penjagal daging di pasar. Mereka menunggu waktu yang tepat di sebuah kedai minuman dekat gereja sembari meletakkan pisau di meja.
Semua orang mengabaikannya. Mereka sibuk mengurusi perayaan kedatangan uskup agung ke kota itu. Uskup yang memberkati pernikahan Angela Vicario dengan saudagar muda Bayardo San Roman.
Di hari kematiannya pada suatu Senin yang dingin di Februari 1951, Santiago terbangun pukul 05.30. Dia meninggalkan rumah pukul 06.05 menuju gereja dan sejam kemudian tergeletak tanpa nyawa di depan pintu rumah. Banyak saksi melihat, Pedro dan Pablo mengikuti Santiago pulang ke rumah.
Begitu bersua dengannya, Pedro menusuk lambung korban. ”Ibu,” pekik Santiago. Pablo menyusul dengan tikaman tiga kali di punggung. Mereka membunuh karena terdorong pengakuan saudarinya, Angela. Saudarinya diusir sang suami Bayardo karena ketahuan tidak perawan di malam pernikahan. Dan Santiago yang tertuduh. Meski belum valid benar, dia tetap diburu.
Hingga kematiannya, Santiago tidak benar-benar tahu mengapa dirinya dibunuh. Itu adalah gambaran betapa murahnya nyawa manusia dan betapa tidak pedulinya masyarakat. Hingga kini Kolombia masih merupakan salah satu negara dengan tingkat pembunuhan yang tinggi.
Dan, di Indonesia, yang semestinya negara hadir kembali untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, Salim Kancil meregang nyawa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya