Jayanagara adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah di kala masih berusia belia. Ayahnya, Raden Wijaya, merupakan pendiri kerajaan sekaligus raja pertamanya. Pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan atau kudeta, misalnya yang dilakukan oleh Juru Demung, Gajah Biru, Nambi, dan Ra Kuti. Bahkan Ra Kuti sempat berhasil menduduki istana sebelum akhirnya upaya kudetanya digagalkan oleh Gajah Mada, komandan Bayangkara, pengawal khusus raja. Nama terakhir ini di kemudian hari menjadi mahapatih Kerajaan Majapahit. Dan beratus tahun kemudian namanya diabadikan menjadi sebuah perguruan tinggi yang salah satu produknya saat ini menjadi tuan presiden.
Kisah tentang Jayanagara ini dulu banyak didengar oleh generasi tahun 1990-an yang konon kabarnya diklaim sebagai generasi yang amat menyenangkan. Pada era tersebut muncul sandiwara radio berjudul Mahkota Mayangkara yang berarti sebuah kekuasaan semu atau bersifat sementara yang dicapai dengan penuh angkara dan pertumpahan darah. Mahkota Mayangkara merupakan sekuel dari Tutur Tinular, sebuah sandirawa radio legendaris karya S. Tidjab yang menceritakan perjalanan hidup ksatria Arya Kamandanu dengan latar belakang sejarah berdirinya kerajaan Majapahit. Sedangkan Mahkota Mayangkara sendiri berkisah tentang sejarah Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Jayanagara.
Dalam sandirawa tersebut Jayanagara dikisahkan sebagai raja yang dipenuhi perilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul di masanya. Ia juga dilanda rasa takut kehilangan tahta. Kedua adik perempuan dari lain ibu ia larang untuk menikah, bahkan hendak ia nikahi sendiri. Dalam kitab Pararaton nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemet. Nama tersebut bernada ejekan, karena Kalagemet bermakna jahat dan lemah, mungkin juga suka bermain perempuan. Ia terkena penyakit kelamin. Kehidupannya berakhir tragis. Seorang tabib istana, Ra Tanca, yang istrinya diganggu, akhirnya membunuh sang raja dengan cara ditikam saat mengobati sakit bisul.
Bermain api dengan perempuan, di jaman modern pun dilakoni oleh sebagian pemimpin negara. Bill Clinton salah satunya. Presiden Amerika Serikat ke-42 ini tersandung skandal dengan seorang perempuan bernama Monica Lewinsky, pekerja magang di Gedung Putih dan Pentagon. Akibat kejadian ini sang presiden musti terseok-seok dan hampir dipecat dari jabatannya (pemakzulan). Ternyata di negara seperti Amerika Serikat, hal seperti ini bisa membuat seorang pemimpin negara menjadi perhatian publik dan nyaris berakhir karirnya. Negara yang terkenal dengan seks bebasnya, namun tak rela jika presidennya menjalin hubungan terlarang dengan perempuan yang bukan istrinya. Sekali lagi urusan moral membawa peran penting.
Di sebuah negara, seorang yang namanya berbau-bau “moral” sedang naik tahta. Entahlah, apakah ada persamaan arti antara moral dengan morales. Nyatanya, seorang Morales dalam pemilu mempecundangi mantan ibu negara Guatemala, negara kecil berpenduduk 16 juta jiwa di belahan Amerika Tengah. Jimmy Morales baru saja terpilih menjadi presiden. Ia tidak berawal dari dunia politik, jalan lumrah yang sering dilalui. Ia seorang pelawak. Ia seorang aktor jenaka dan tokoh televisi. Terpilihnya Morales disebabkan kemarahan sebagian besar rakyat terhadap elit politik atas serangkaian skandal korupsi. Bahkan presiden sebelumnya dipenjara, beberapa hari sebelum pemilu putaran pertama.
“Selama 20 tahun, saya membuat Anda tertawa. Saya berjanji jika menjadi presiden, saya tidak akan membuat Anda menangis”. Kata-kata Morales tersebut menjadi mantra di masa kampanye. Ia juga menyerukan slogan “Tidak korupsi maupun mencuri” . Mirip slogan kampanye pilkada di Indonesia, “Ora korupsi, ora ngapusi”. Dalam kampanyenya ia mendukung hukuman mati dan menolak aborsi. Karena berprofesi sebagai komedian, awalnya Morales ditertawakan. Namun kini, ia yang tertawa menuju istana kepresidenan, meskipun tetap saja was-was. Selain minim pengalaman dalam pemerintahan, partai pengusungnya hanya memiliki 11 di antara 158 kursi di parlemen.
Kolom “Jati Diri” Jawa Pos pernah menurunkan tulisan tentang presiden pelawak ini. “Jati Diri” merupakan kolom dalam surat kabar Jawa Pos yang merupakan pandangan redaksi terhadap peristiwa yang sedang menjadi pembicaraan. Sama dengan “Tajuk Rencana” di Kompas atau “Editorial” di Media Indonesia. Disebutkan jika sejarah panggung komedi Morales memang lucu, tapi kadang kasar. Misalnya ia dan saudaranya, Sammy bicara tentang bagaimana cara masuk ke perbatasan Amerika Serikat. Keduanya sepakat menyamar dengan memakai pakaian sapi. Alhasil, mereka harus terbirit-birit karena dikejar sapi beneran yang sedang bernafsu.
Pelajaran yang dapat dipetik dari isi “Jati Diri” adalah keberhasilan Morales memikat rakyat Guatemala dalam pemilu dengan slogan untuk tidak menipu. Pemilu, termasuk pemilu kita, memang tak selalu melahirkan tokoh dengan “moralejas” (moral) yang melegakan rakyat. Karena dari kalangan seperti itu pula upaya pembunuhan terhadap lembaga anti korupsi dilancarkan. Entah itu pejabat publik maupun wakil rakyat. Entah itu kalangan eksekutif maupun anggota parlemen.
Namun sejatinya tidak saja isi “Jati Diri” hari itu yang menarik. Masih dalam halaman yang sama, sedikit bergeser ke kanan, di bagian paling atas. Tertayang gambar pesawat terbang bertuliskan Republik Indonesia bersanding dengan lambang negara. Di bagian ekor jelas nyata bendera dua warna. Anda boleh saja menafsirkan jika pesawat tersebut adalah pesawat kepresidenan republik yang wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke, apalagi bila menyimak dialog yang ditampilkan. “Syukurlah kabut asap sudah hilang, legaaaa rasanya…” Kemudian ada yang menimpali, “Jelas Pak, lha wong ini di Amerika, lupa ya?”
Bagi saya karikatur ini sedang menyindir tuan presiden. Di saat terjadi bencana asap yang telah berbulan lamanya tiada henti, beliau melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat. Karikatur, sebagaimana sifatnya mengandung ciri satire. Satire diartikan sebagai tragedi komedi, kita bisa menertawakan, sekaligus memprihatinkan. Tapi terserahlah, itu urusan surat kabar yang memang fungsinya sebagai pengontrol, termasuk menyindir, termasuk mengritik penguasa. Sebagian pencinta tuan presiden boleh saja menvonis penggambarnya sebagai bagian generasi wacana seperti yang pernah dituturkan Reinald Kasali. Siapa tahu kurang piknik. Yang berbahaya kalau petugas kepolisian bertafsir jika karikatur itu bagian dari penyebaran kebencian. Kapolri baru saja membuat edarannya.
Tuan presiden memang bukanlah pelawak seperti presiden Guatemala. Namun sesekali beliau memiliki selera humor juga. Kota Solo, kota asal tuan presiden memang terkenal dengan gudang pelawak. Grub lawak legendaris, Srimulat lahir di sini yang entahlah apakah turut mempengaruhi sisi humor beliau. Dulu saat menjadi kepala daerah (gubernur) di DKI Jaya beliau berujar bahwa akan menjadi mudah mengatasi banjir Jakarta jika dirinya menjadi presiden. Mestinya hal yang sama diujarkannya ketika sebagian daerah sedang tertimpa bencana asap. Kini menjadi presiden. Melebihi janji 2 minggu mudah mengatasi bencana asap, ternyata berbulan lamanya bencana asap tak kunjung tuntas. Dan beliau berujar bahwa tanggung jawab dan peran besar seharusnya berada di kepala daerah.
Lelucon, bisa membuat orang tertawa, bisa pula membuat orang menertawakan. Silakan Anda mengambil peran yang mana. Mengurus negeri sebesar Indonesia memang tidak mudah. Semoga tuan presiden diberi kekuatan dan kesehatan, menyelesaikan segenab persoalan yang mendera. Mengatasi masalah tanpa masalah, kata orang pegadaian. Demikian. Salam dua minggu, eh...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya