Seorang
Ramadhan Pohan pernah mencatat rekor di MURI sebagai anggota dewan yang
pertama kali mengelola website sebagai ruang komunikasi dan informasi
dengan konstituen. Wakil rakyat dari Partai Demokrat ini dulu memang
berprofesi sebagai wartawan, jadi urusan jurnalistik sudah tidak begitu
asing lagi. Pak AM Fatwa, saat menjadi anggota DPR dari PAN juga pernah
menorehkan prestasi, yakni penulis buku terbanyak selama berkiprah di
Senayan.
Anggota
dewan seperti Pak Ramadan dan Pak Fatwa pasti juga punya kebiasaan
banyak bicara. Ini sebagai konsekuensi menjadi wakil rakyat. Wakil
rakyat kan penyambung lidah rakyat, apa jadinya jika diam membisu. Maka,
seharusnya wakil rakyat juga menuangkan apa yang mereka suarakan dalam
bentuk tulisan. Mereka harus menulis. Dengan tulisan ide-ide yang
dikeluarkan akan lebih abadi. Jangkauannya pun meluas. Paling tidak bila
dibandingkan dengan berbicara yang seketika gaungnya hilang. Kecuali
bila direkam.
Orang
dikenang karena tulisannya. Orang dikecam juga karena tulisannya.
Banyak manfaat dari menulis. Selain menyalurkan hobi, menjadikan sebagai
profesi, juga sebagai saluran komunikasi. Tapi jarang sekali orang mau
menulis. Kalaupun ada yang mau, tak jarang mereka merasa tak mampu.
Berapa
banyak anggota dewan yang telah menerbitkan buku. Atau berapa banyak
anggota dewan yang rutin menulis. Berapa yang di pusat. Berapa yang di
daerah. Berapa yang di Ngawi. Saya mau menyoroti Ngawi saja, karena dulu
terlanjur memberikan suara di kota ini.
Kalau
berbicara, mungkin saja anggota dewan sangat pintar. Merekalah ahli
bersilat lidah. Inheren dengan tugasnya. Tapi saya membayangkan betapa
indahnya jika mereka secara rutin mengisi kolom di media massa. Selain
untuk mengetahui ide dan gagasan mereka, sekaligus agar isi media lokal
tak melulu berisi berita kriminal dan advetorial. Tapi sayangnya hal ini
tampaknya masih belum menjadi perhatian utama anggota dewan.
Tidak
adanya saluran komunikasi dan informasi dari dewan membuat kesulitan
masyarakat mengakses kiprah mereka. Baik itu secara online maupun
offline (maksudnya media cetak). DPRD sendiri belum memiliki majalah
atau sekadar buletin. DPRD tidak memiliki situs yang memudahkan publik
melihat prestasi-prestasinya, hasil pengawasannya terhadap kinerja
eksekutif, apa yang akan, sedang, dan telah dikerjakan. Bahkan,
sekretariat dewan yang merupakan institusi pemerintah yang bertugas
”ngopeni” wakil rakyat pun tak memilikinya. Padahal rekan-rekannya yang
lain di segenab SKPD mulai berlomba-lomba membuat situs sebagai tuntutan
jaman di era teknologi. Pemkab sendiri telah memiliki situs resmi yang
memungkinkan masyarakat mengakses informasi.
Bila
secara institusi memang tidak memungkinkan sebenarnya anggota dewan tak
perlu berpangku tangan. Buat saja situs personal. Penghasilan anggota
dewan yang berlipat dibandingkan pedagang kaki lima itu bisa digunakan
untuk membuat dan mengelola. Kalau sayang dengan duitnya ya bikin saja
blog yang gratisan. Intinya kan ada media.
Seperti
biasa, saya coba menelusuri dengan mbah Google kira-kira siapa saja
anggota dewan Ngawi yang memiliki situs pribadi atau blog, tapi belum
berhasil. Sementara masih nihil. Kalau facebook mungkin ada. Oke, kalau
personel belum ada saya coba telusuri dari partainya. Saya pikir mereka
duduk di dewan merupakan kepanjangan partai. So, telusuri saja
partai-partai di Ngawi yang berkesempatan menempatkan orangnya di DPRD.
Saya hanya melihat di halaman pertama mbah Google.
Ada
10 partai. Saya ketik nama partai politik plus kata Ngawi, enter,
muncul hasilnya. Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, PKB,
PPP, dan PKPB tidak ada sama sekali. PDI Perjuangan ada tapi situsnya
milik provinsi, bukan milik daerah (Ngawi). Partai Gerindra juga sama,
situsnya milik pusat, yang daerah tidak ada. PAN lebih mending, ada,
bentuknya blog, yakni http://www.panngawi.blogspot.com.
Tapi sepertinya kurang terawat. Hanya segelintir informasi dan tidak
ada posting lagi selain tahun lalu (ada 5 berita dan posting-an terakhir
September 2011). Yang paling baik, maksudnya situsnya di daerah ada dan
terawat hanya PK Sejahtera, yakni http://www.pksngawi.org.
Di situ terpampang pula foto anggota dewan serta pikiran-pikirannya
tentang Ngawi, namun semuanya tidak memiliki situs tersendiri. Selain
itu, informasi yang ada juga up to date. Tak heran PKS mampu merawat
situsnya karena ia telah menasbihkan sebagai partai modern yang muncul
dari kalangan kampus.
Kenapa
anggota dewan enggan menulis di media atau dengan kata lain kenapa
mereka enggan mengelola media sebagai wahana menyampaikan informasi
kepada khalayak atau menampung aspirasi dari publik. Beragam alasan bisa
dikemukakan: mungkin kurang dana, tidak ada waktu, malas menulis,
kurang ada manfaat langsung. Sebaliknya, bisa jadi masyarakat tak peduli
dengan ide-ide wakil rakyatnya. Bahkan yang lebih fatal, apatis.
Baginya, wujuduhu ka’adamihi, ada dan tiadanya sama saja, tak terlalu berpengaruh.
Anggota
dewan pun orang-orang yang cerdas. Dengan kondisi masyarakat yang
seperti ini mereka harus pintar-pintar memutar otak membikin simpati.
Paling tidak ada dua hal yang harus dilakukan, menunaikan amanah dan
merawat kepercayaan. Dua hal ini merupakan sesuatu yang fundamental,
kebutuhan dasar, tidak bisa tidak, terutama bagi yang ingin maju lagi
dalam pemilu periode berikutnya.
Namun
kebanyakan anggota dewan yang akan menjago lagi baru bersiap menjelang
pemilu. Pikirannya masih jangka pendek dan taktis. Menulis, mengelola
media, membuka ruang dialektika dengan publik merupakan bagian
pendidikan politik untuk rakyat. Investasinya jangka panjang dan
seringkali bukan yang bersangkutan yang memanen hasil. Energi yang
dicurahkan juga mungkin lebih besar untuk merawat konstituen. Padahal di
sisi lain ada cara lain yang lebih familier selama ini. Waktunya pun
lebih pendek, memanfaatkan daya memori rakyat yang sering lupa. Apa itu?
Lihat
saja fenomena kampanye menjelang pemilu. Arak-arakan konvoi, pentas
musik dangdut dan campursari, pemasangan baliho dengan citra diri bak
pahlawan, bagi-bagi sembako, bhakti sosial, dan jangan lupa: politik
uang! Masyarakat pun membuka peluang. Dengan kebutuhan hidup yang
semakin berat, iming-iming duit sekian ribu pun mempengaruhi pilihan.
Inga’ inga’ ting.
Catatan: tulisan di atas sebenarnya sudah pernah saya posting pada tanggal 25 Juni 2012. Kali ini saya posting ulang karena saya mau mencoba bagaimana caranya postingan di blog bisa otomatis terposting juga di facebook.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya