Mengapa Ada Pertarungan?

Jumat, 26 Desember 2025

 “My name is Maximus Decimus Meridius, Commander of the Armies of the North, General of the Felix Legions.”


Begitulah kalimat ikonik yang dilontarkan oleh Maximus (diperankan Russell Crowe) dalam film epik Gladiator (2000). Kisah jenderal gagah yang dikhianati dan dipaksa menjadi budak petarung di arena Romawi ini bukan sekadar fiksi. Ia mewakili gambaran paling dramatis tentang kehidupan seorang gladiator. Mereka adalah para ksatria yang dipaksa bertarung hingga mati demi kepuasan kaisar dan sorakan massa.


Film ini menancapkan citra betapa megah sekaligus brutalnya tontonan gladiator di Colosseum. Suatu arena kematian yang bisa menampung 50.000 penonton. Bagi kita di abad ke-21, pertarungan gladiator terlihat sangat biadab. Namun, di zaman Romawi Kuno, inilah hiburan paling populer, sebuah cerminan kekuatan dan kekayaan kekaisaran, yang pada akhirnya perlahan-lahan runtuh.


Gladiator berasal dari tradisi Etruria kuno. Awalnya sebagai bagian dari ritual pemakaman, di mana pertumpahan darah dipercaya dapat menghormati arwah bangsawan yang meninggal. Namun, seiring waktu, fungsi ini bergeser sepenuhnya menjadi tontonan publik yang disponsori oleh para elit politik. Tujuannya sederhana, yaitu menerapkan prinsip panem et circenses (roti dan sirkus). Memberi makan rakyat miskin (panem) dan memuaskan mereka dengan hiburan spektakuler (circenses) agar teralihkan dari masalah politik atau ekonomi yang melanda kekaisaran.


Para gladiator sendiri datang dari berbagai latar belakang. Ada budak, tawanan perang, atau kriminal yang dihukum mati. Mereka dilatih di sekolah khusus dengan disiplin keras sehingga menjadi aset berharga bagi pemiliknya. Ada berbagai kelas gladiator dengan senjata khas, seperti Retiarius dengan jaring dan trisula atau Murmillo dengan helm berbentuk ikan. Meskipun status sosial mereka rendah dan nyawa mereka sering di ujung pedang, para gladiator yang sukses bisa menjadi superstar.

Jimat: Antara Baju Perang, Senjata Bambu, dan Meja Diplomasi

Kamis, 25 Desember 2025

Di negeri kita, kisah tentang jimat—benda bertuah yang dipercaya memiliki kekuatan gaib—bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah sepotong mozaik sejarah, perpaduan antara spiritualitas, harapan, dan siasat bertahan hidup yang telah diwariskan turun-temurun. Dari medan perang yang berlumur darah hingga meja perundingan yang penuh intrik, jimat hadir sebagai simbol, penguat mental, bahkan—dalam beberapa kasus—sebagai ujian filosofis. 


Ketika Indonesia merdeka pada 1945, perjuangan tak berhenti. Peluru Belanda berseliweran, sementara senjata di tangan para pejuang seringkali hanya berupa bambu runcing. Dalam kondisi serba terbatas ini, harapan tak jarang disandarkan pada hal-hal yang melampaui logika. Mayoritas masyarakat grass-root yang ikut berjuang kala itu sangat percaya pada hal-hal mistik.


Letnan Jenderal (Purn.) Soegih Arto, dalam otobiografinya, mengakui fenomena ini. Banyak pemuda pejuang di masa revolusi yang getol mencari jimat—benda bertuah yang diikatkan di leher, kepala, atau dijadikan sabuk—dengan harapan dapat menjadi kebal dari tembakan peluru atau sabetan bayonet. Mereka berusaha bertahan dengan cara apa pun, termasuk cara yang berbau klenik, dan Soegih Arto menilai, “Dapatkah mereka dipersalahkan? Saya rasa tidak. Mereka berjuang dengan kemampuan dan keyakinan mereka sendiri”.


Pusat “amunisi” spiritual terkenal pada masa itu salah satunya adalah Kyai Haji Subkhi dari Parakan, Temanggung, yang masyhur dengan julukan Kyai Bambu Runcing. Kyai kharismatik ini, yang usianya sudah lebih dari 80 tahun saat revolusi, menjadi tumpuan harapan. Ia tidak hanya mengajar agama, tetapi juga memperkuat mental para pejuang dengan cara yang unik.

Skandal di Pusaran Kekuasaan

Rabu, 24 Desember 2025

Skandal perselingkuhan, terutama yang melibatkan pejabat publik, adalah item berita yang tak pernah basi. Ia memiliki daya pikat yang kuat. Ia perpaduan antara kekuasaan, moralitas yang dipertanyakan, dan kisah cinta terlarang yang selalu menarik untuk dikupas. Di balik citra formal, jas rapi, dan jabatan tinggi, tersembunyi drama-drama pribadi. Entah itu terjadi di istana Mataram kuno, di markas Nazi Jerman, atau di gedung pemerintahan modern Indonesia.


Skandal ini bukan sekadar urusan ranjang. Melainkan cerminan dari kompleksitas kekuasaan, yang seringkali menjadi pemicu utama timbulnya rasa. Rasa bahwa status tinggi membebaskan seseorang dari aturan moral biasa.


Jika kita mundur jauh ke belakang, skandal perselingkuhan di lingkungan pejabat atau bangsawan bukanlah hal baru. Di Kesultanan Mataram, kisah-kisah asmara terlarang seringkali berujung tragis, bahkan memicu konflik internal. Salah satu kisah yang paling menggemparkan adalah yang melibatkan Putra Mahkota Mataram, yaitu Pangeran Adipati Anom (kelak menjadi Amangkurat II) di masa pemerintahan ayahnya (Amangkurat I), sekitar tahun 1671. Ia dikenal sebagai sosok yang sering tergila-gila pada wanita.


Suatu malam yang berdarah, terjadi insiden yang menimpa Raden Dobras, salah satu kerabat keraton. Konon, Raden Dobras dibunuh dan mayatnya ditemukan di sumur. Dalam persidangan yang digelar, Pangeran Adipati Anom menuduh adiknya, Pangeran Singasari, sebagai pembunuh. Pangeran Singasari membantah. Ia mengaku hanya membunuh seorang pencuri yang masuk rumahnya tanpa mengenal pencuri tersebut.

Ketika Nalar “Di-Reset” Paksa

Selasa, 23 Desember 2025

Sebuah ironi pahit terjadi di Desa Gunungsari, Kabupaten Madiun, pada 20 Desember 2025. Sebuah diskusi dan bedah buku berjudul “#Reset Indonesia” dibubarkan oleh aparat. Kejadian ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan cermin retak demokrasi kita yang seolah sedang berjalan mundur, menjauh dari cita-cita literasi dan kebebasan berpendapat. 


Bayangkan, di sebuah tempat yang seharusnya menjadi ruang tumbuh bagi gagasan, sekelompok orang berkumpul bukan untuk merencanakan makar atau menikmati musik ala sound horeg, melainkan untuk mengupas isi buku. Namun, kehadiran mereka justru disambut oleh barisan aparat yang meminta acara dihentikan. Alasannya klasik, tidak ada izin. Padahal, jika kita menilik lebih dalam, tindakan ini bukan hanya mencederai semangat literasi, tapi juga menabrak norma hukum.


Melihat pembubaran diskusi buku di Madiun membawa ingatan kita pada era kelam di mana buku dianggap lebih berbahaya daripada senjata. Indonesia punya sejarah panjang tentang fobia terhadap kertas dan tinta.


Dahulu, para pendiri bangsa kita adalah para kutu buku. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir merupakan sosok yang hidup di antara tumpukan literatur. Bagi mereka, buku sebagai jendela untuk merancang Indonesia yang merdeka. Namun, ironinya, setelah merdeka, ketakutan terhadap pikiran yang berbeda justru sering muncul. Kita ingat bagaimana karya Pramoedya Ananta Toer, “Bumi Manusia”, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung di era Orde Baru dengan tuduhan menyebarkan paham terlarang. Lucunya, di balik pelarangan resmi itu, dikabarkan istri Presiden Soeharto (Ibu Tien) sendiri mengagumi karya tersebut.

Keadilan yang Tercecer

Di sudut-sudut sejarah hukum Indonesia, ada cerita yang selalu membuat kita menahan napas dan merenung. Kisah Sengkon dan Karta. Dua petani sederhana asal Bekasi, yang pada tahun 1970-an harus merasakan dinginnya lantai penjara karena dituduh melakukan perampokan dan pembunuhan. Kisah mereka bukan hanya tentang salah tangkap, tetapi tentang kelemahan fundamental sistem hukum yang kadang tergesa-gesa, abai, dan rentan salah dalam menempatkan kebenaran.


Kisah pilu ini bermula pada tahun 1974, ketika sebuah perampokan disertai pembunuhan terjadi di Desa Gabus, Bekasi. Kepolisian segera bertindak. Dan, entah berdasarkan petunjuk apa, menetapkan Sengkon dan Karta sebagai tersangka utama. Kedua petani ini, dengan segala keterbatasan pendidikan dan daya tawar, segera diproses.


Apa yang terjadi selanjutnya adalah proses hukum yang penuh dengan kejanggalan. Sengkon dan Karta disiksa selama interogasi agar mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Di bawah tekanan dan ancaman, Karta akhirnya membuat pengakuan palsu. Pengakuan ini, yang seharusnya diperlakukan skeptis oleh hakim, justru menjadi dasar kuat bagi jaksa untuk menuntut.


Dalam persidangan, meskipun Karta mencabut pengakuannya dan bersikeras bahwa ia dan Sengkon tidak bersalah, pengadilan tidak bergeming. Pengadilan Negeri Bekasi menjatuhkan vonis berat. Sengkon dihukum 7 tahun sedangkan Karta 12 tahun penjara. Alasannya klise namun mengerikan. Keyakinan hakim lebih didasarkan pada BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang diperoleh di bawah tekanan daripada fakta dan alibi yang disampaikan dalam persidangan.

Hati Ibu yang Tak Terbatas

Senin, 22 Desember 2025

“Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku anakmu...”

Petikan lirik lagu “Ibu” karya Iwan Fals di atas selalu berhasil menyentuh relung hati terdalam siapa pun yang mendengarnya. Suara parau Iwan Fals seolah mewakili deru napas seorang ibu yang tak pernah lelah berjalan demi masa depan buah hatinya. Lagu ini bukan sekadar melodi, melainkan sebuah potret tentang pengorbanan. Di sana, kita melihat sosok yang rela menjadi pijakan agar anaknya bisa memetik bintang. Hati seorang ibu ibarat sebuah semesta yang luas. Ia menyimpan duka dengan rapi dan membagikan bahagia dengan cuma-cuma.

Namun, di Indonesia, makna “Ibu” memiliki dimensi yang jauh lebih besar daripada sekadar urusan domestik atau kasih sayang di meja makan. Jika kita menilik sejarah, Hari Ibu yang kita rayakan setiap tanggal 22 Desember memiliki akar perjuangan yang sangat kuat. Banyak yang mengira Hari Ibu di Indonesia sama dengan Mother’s Day di Barat. Padahal, sejarah mencatat bahwa Hari Ibu lahir dari semangat emansipasi dan politik. 

Pada 22-25 Desember 1928, untuk pertama kalinya digelar Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Kala itu, para ibu dari berbagai organisasi berkumpul bukan untuk membahas resep masakan atau arisan rutin bulanan, melainkan untuk membicarakan nasib bangsa, pendidikan bagi perempuan, dan hak-hak dalam perkawinan. Mereka sadar bahwa ibu adalah fondasi peradaban. Jika ibunya cerdas dan berdaya, maka bangsa ini akan merdeka dengan kepala tegak. Itulah mengapa perayaan Hari Ibu di Indonesia sebenarnya perayaan atas kekuatan intelektual dan semangat juang perempuan.

Semangat dari tahun 1928 itu tidak pernah padam. Ia terus mengalir dalam nadi perempuan-perempuan hebat masa kini yang membawa perubahan nyata bagi masyarakat.

Kisah Pilu Sang Air Bah

Minggu, 21 Desember 2025

Pulau Sumatera. Mendengar namanya saja, yang terbayang adalah hamparan hijau tak bertepi, gunung-gunung perkasa, dan lautan yang menyimpan sejuta pesona. Ia adalah permata Indonesia. Namun, di balik pesona itu, Sumatera menyimpan kisah duka yang rutin berulang, sebuah pertunjukan kolosal antara manusia dan kekuatan alam yang dinamakan banjir. Khususnya, banjir bandang atau yang akrab disebut galodo di Ranah Minang. Bukan hanya isapan jempol, tapi warisan bencana yang sudah tercatat sejak zaman baheula.


Coba kita tengok ke satu lokasi ikonik: Lembah Anai, Sumatera Barat. Saya belum berkesempatan berkunjung ke sana, tapi kita bisa melihat keindahannya di platform media sosial. Kawasan cagar alam yang dilalui jalan raya utama Padang-Bukittinggi ini terkenal dengan air terjunnya yang memesona. Ia seperti bingkai lukisan alam yang indah, namun sayangnya, bingkai ini menyimpan memori air bah yang mengerikan.


Anda mungkin mengira bencana alam hebat yang memutus jalur transportasi dan menghanyutkan apa saja di Lembah Anai baru terjadi belakangan ini. Eits, jangan salah! Merujuk pada catatan sejarah, Lembah Anai sudah jadi langganan amukan sungai sejak era kolonial Belanda. Bayangkan, jauh sebelum kita lahir, pada tahun 1892 dan kembali lagi di 1904, Lembah Anai sudah pernah dilanda banjir besar.


Dulu, Lembah Anai adalah jalur urat nadi modernisasi. Jalan raya dan jalur kereta api, yang dibangun dengan susah payah oleh pemerintah Kolonial, melewati ngarai yang eksotis ini. Tapi, apa yang terjadi? Air bah yang datang dari luapan Sungai Anai dan Singgalang, diperparah oleh hujan deras, menghancurkan segalanya.

Jerat Hukum

Sabtu, 20 Desember 2025

Kita hidup di zaman yang serba ironis. Di satu sisi, semua orang bicara tentang investasi, pertumbuhan ekonomi, dan birokrasi yang ramping. Di sisi lain, para pengambil keputusan, mulai dari pejabat daerah hingga direktur BUMN, merasa seolah-olah sedang berjalan di ladang ranjau. Salah ambil keputusan, ujungnya bukan untung, melainkan borgol.


Inilah inti dari perbincangan menarik antara Profesor Rhenald Kasali dengan Alex Marwata, mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga seorang mantan Hakim. Acara siniar Rhenald Kasali di kanal YouTube pada 14 Desember 2025 ini menyimpulkan satu hal, yaitu Indonesia sedang menghadapi darurat penegakan hukum, di mana nalar bisnis dan administrasi sering kali keliru diterjemahkan menjadi pasal pidana korupsi.


Masalah utama ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Intinya, pasal-pasal ini menjerat siapa pun yang melakukan perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, dan memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang kemudian dianggap merugikan negara.


Dalam setiap urusan bisnis—apalagi pengadaan barang dan jasa—adalah hal yang mutlak bahwa kedua belah pihak harus untung. Inilah yang disebut prinsip win-win. Kalau perusahaan swasta (vendor) menyediakan barang atau jasa untuk pemerintah, mustahil mereka tidak mengambil untung. Jika vendor untung 10% dan itu wajar dalam standar bisnis, apakah keuntungan tersebut otomatis berarti negara dirugikan?

 

Label

kepegawaian (173) coretan (165) serba-serbi (86) saat kuliah (71) oase (68) hukum (62) pustaka (62) keluarga (59) tentang ngawi (58) peraturan (46) tentang madiun (38) album (26) konsultasi (20) tentang jogja (17)