“My name is Maximus Decimus Meridius, Commander of the Armies of the North, General of the Felix Legions.”
Begitulah kalimat ikonik yang dilontarkan oleh Maximus (diperankan Russell Crowe) dalam film epik Gladiator (2000). Kisah jenderal gagah yang dikhianati dan dipaksa menjadi budak petarung di arena Romawi ini bukan sekadar fiksi. Ia mewakili gambaran paling dramatis tentang kehidupan seorang gladiator. Mereka adalah para ksatria yang dipaksa bertarung hingga mati demi kepuasan kaisar dan sorakan massa.
Film ini menancapkan citra betapa megah sekaligus brutalnya tontonan gladiator di Colosseum. Suatu arena kematian yang bisa menampung 50.000 penonton. Bagi kita di abad ke-21, pertarungan gladiator terlihat sangat biadab. Namun, di zaman Romawi Kuno, inilah hiburan paling populer, sebuah cerminan kekuatan dan kekayaan kekaisaran, yang pada akhirnya perlahan-lahan runtuh.
Gladiator berasal dari tradisi Etruria kuno. Awalnya sebagai bagian dari ritual pemakaman, di mana pertumpahan darah dipercaya dapat menghormati arwah bangsawan yang meninggal. Namun, seiring waktu, fungsi ini bergeser sepenuhnya menjadi tontonan publik yang disponsori oleh para elit politik. Tujuannya sederhana, yaitu menerapkan prinsip panem et circenses (roti dan sirkus). Memberi makan rakyat miskin (panem) dan memuaskan mereka dengan hiburan spektakuler (circenses) agar teralihkan dari masalah politik atau ekonomi yang melanda kekaisaran.
Para gladiator sendiri datang dari berbagai latar belakang. Ada budak, tawanan perang, atau kriminal yang dihukum mati. Mereka dilatih di sekolah khusus dengan disiplin keras sehingga menjadi aset berharga bagi pemiliknya. Ada berbagai kelas gladiator dengan senjata khas, seperti Retiarius dengan jaring dan trisula atau Murmillo dengan helm berbentuk ikan. Meskipun status sosial mereka rendah dan nyawa mereka sering di ujung pedang, para gladiator yang sukses bisa menjadi superstar.
