Rasulullah saw bersabda, “….Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari).
Selain menyerang fisik penyakit juga menyerang hati, bahkan penyakit hati inilah yang amat berbahaya. Penyakit hati tidak diartikan sebagai sakit liver namun lebih pada kondisi hati yang merasa iri, dengki, sombong, dan sebagainya. Akibat penyakit hati bisa menimbulkan kesengsaraan di neraka secara abadi. Bahkan bisa menimbulkan kebinasaan di dunia sebelumnya. Perhatikan cerita di bawah ini.
Adalah dua orang tabib. Yang satu bernama Bejo, satunya lagi bernama Kampret. Mereka berdua bekerja pada seorang raja. Raja ini terkenal mudah tersinggung, tak segan menghukum kepada siapa saja yang membuat hatinya terluka. Agaknya raja lebih senang dengan pelayanan yang diberikan oleh Bejo, buktinya setiap kali ia atau anggota keluarganya sakit atau hendak memeriksa kondisi tubuhnya, yang kerap dipanggil adalah Bejo. Bejo, meskipun lebih yunior dibandingkan Kampret, sanggup mengatasi sakit raja dan keluarganya.
Bejo memang termasuk tabib yang cerdas. Ia tak berhenti untuk belajar. Di sela-sela waktunya untuk melakukan pengobatan, ia pun banyak melakukan percobaan membuat ramuan-ramuan obat terbaru. Tak heran akhirnya Raja pun menyenanginya. Penghasilannya bertambah banyak.
Tak Bisa Pensiun Dini
Sabtu, 28 Januari 2012
PP Nomor 48 Tahun 2005 mengatur tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS
Pasal 3 ayat (2) menjelaskan kriteria usia dan masa kerja agar tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS, yaitu sebagai berikut :
Selanjutnya bagi tenaga honorer yang telah bekerja kurang dari 20 tahun, pengangkatannya menjadi CPNS selain melalui seleksi administratif, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi, mereka juga diwajibkan mengisi/menjawab daftar pertanyaan
mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan yang baik antar sesama tenaga honorer yang pelaksanaannya dilakukan terpisah dari pelamar umum yang bukan tenaga honorer.
Ketentuan tersebut di atas kemudian dirubah dengan PP Nomor 43 Tahun 2007 sehingga
pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS didasarkan pada usia paling tinggi 46 tahun dan paling rendah 19 tahun dan masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 tahun secara terus menerus.
Pasal 3 ayat (2) menjelaskan kriteria usia dan masa kerja agar tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS, yaitu sebagai berikut :
- Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 tahun dan bekerja selama 10 tahun sampai dengan kurang dari 20 tahun secara terus menerus;
- Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 40 tahun dan bekerja selama 5 tahun sampai dengan kurang dari 10 tahun secara terus menerus;
- Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 35 tahun dan bekerja selama 1 tahun sampai dengan kurang dari 5 tahun secara terus menerus.
Selanjutnya bagi tenaga honorer yang telah bekerja kurang dari 20 tahun, pengangkatannya menjadi CPNS selain melalui seleksi administratif, disiplin, integritas, kesehatan, dan kompetensi, mereka juga diwajibkan mengisi/menjawab daftar pertanyaan
mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan yang baik antar sesama tenaga honorer yang pelaksanaannya dilakukan terpisah dari pelamar umum yang bukan tenaga honorer.
Ketentuan tersebut di atas kemudian dirubah dengan PP Nomor 43 Tahun 2007 sehingga
pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS didasarkan pada usia paling tinggi 46 tahun dan paling rendah 19 tahun dan masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 tahun secara terus menerus.
Inspirasi Dari Tulisan
Rabu, 25 Januari 2012
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (QS Al-Qalam 1)
Katakanlah: “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS Al-Kahf 109)
“Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS Luqman 27)
Saya kaget pada suatu kesempatan rapat staf, kepala kantor (sebut saja bos) bercerita kepada semua anak buah tentang gagasan beliau yang menjadi hasil keputusan para bos seprovinsi. Kebetulan juga gagasan itu disampaikan di hadapan utusan beberapa menteri. Yang membuat saya kaget ternyata gagasan itu persis dengan apa yang saya tulis di blog, jauh sebelumnya. Memang dalam rapat itu nama saya tidak disinggung sama sekali (saya tak berharap banyak, tapi sedikit hehehe... enggak kok nggak mikir sejauh itu, saking kagetnya). Namun demikian saya senang karena pikiran saya ternyata sama dengan gagasan bos yang bisa jadi menjadi keputusan nasional (ih GR deh...!).
Bisa jadi kan beliau membaca tulisan saya dan akhirnya terinspirasi. Tapi bisa juga memang itu hasil pikiran orisinalnya. Kalau dirunut secara kronologis saya lebih duluan lho (mudah-mudahan tidak dianggap sombong).
Suatu hari saya dipanggil salah satu pejabat di kantor yang masih bawahan bos, sebut saja sub bos. Ia baru saja diminta oleh bos untuk mengkaji beberapa hal tentang kepegawaian. Akhirnya kami berdiskusi tentang masalah itu. Kebetulan juga saya baru saja membuat beberapa tulisan dan semuanya saya terbitkan di blog. Saya sampaikan pikiran saya sesuai tulisan di blog dan saya berjanji akan segera mencetaknya. Singkat cerita tulisan-tulisan itu disampaikan kepada bos. Saya tak tahu bagaimana ceritanya hingga akhirnya saya mendengar dalam rapat staf tentang persamaan gagasan, beberapa bulan kemudian.
PNS Tak Pensiun
Minggu, 22 Januari 2012
Keistimewaan sekdes dibandingkan dengan
perangkat desa lain adalah ia bisa diangkat PNS karena jabatannya itu.
Keistimewaan sekdes dibandingkan dengan tenaga honorer adalah meskipun
sama-sama diangkat sebagai pegawai negeri tanpa tes, namun sekdes tak
harus melalui tahap percobaan. Namun demikian perjalanan sekdes dalam
meniti karirnya sebagai PNS tak mulus begitu saja. Entah disengaja atau
tidak, ada titik kerawanan saat mereka berhenti menjadi PNS, yakni tak
mendapkan hak pensiun.
Aturan pelaksanaan pengangkatan
sekdes menjadi PNS adalah PP Nomor 45 Tahun 2007. Sekdes yang diangkat
dengan sah sampai dengan 15 Oktober 2004 dan masih
melaksanakan
tugas sampai dengan berlakunya PP itu diangkat langsung menjadi PNS,
apabila memenuhi persyaratan (Pasal 2). Dengan demikian sekdes yang
diangkat setelah tanggal 15 Oktober 2004 tidak bisa diangkat langsung
menjadi PNS.
Pasal berikutnya mengatur persyaratan
untuk bisa diangkat menjadi PNS yakni bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Pemerintah, tidak
sedang menjalani hukuman karena melakukan tindak pidana berdasarkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sehat jasmani
dan rohani, memiliki ijazah paling rendah Sekolah Dasar atau yang
sederajat, dan berusia paling tinggi 51 tahun terhitung pada 15 Oktober
2006.
Persyaratan usia maksimal 51 tahun itulah yang
menjadi titik kerawanan dalam hal pensiun. Sekedar contoh saya berikan
ilustrasi.
Ajining Raga Saka Busana
Kamis, 19 Januari 2012
Bahasa Jawa memang kaya akan
ungkapan. Ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana, misalnya.
Kalimat pertama diartikan bahwa setiap orang itu dihargai dan dihormati
karena lidahnya, dalam artian bisa menjaga tutur kata dengan senantiasa
berbicara benar. Sedangkan kalimat kedua, ajining raga saka busana,
diartikan bahwa setiap orang dihargai dan dihormati dari
busana/pakaian/penampilan/atributnya.
Maka ketika
ramai-ramai para honda galau memulai tugas di awal tahun saya ingat
dengan ajining diri saka busana ini. Dan saya berusaha memahami
kegalauan mereka. Galau karena diberhentikan sebagai honda. Galau
karena statusnya dirubah menjadi maganger (kalau bekerja di instansi
pemerintah dengan mendapat honor disebut honorer, maka kalau bekerja
magang boleh dong disebut maganger). Galau karena harus rela tidak
dibayar. Galau karena kontrak kerjanya cuma setahun. Galau karena tak
boleh lagi bekerja dengan pakaian kebanggaan seperti selama ini, alias
berbaju putih bercelana hitam.
Galau yang terakhir
inilah yang tampaknya cocok dengan ajining raga saka busana. Bukan
bermaksud untuk meyakini bahwa ketinggian ilmu atau kemuliaan budi
ditentukan oleh jenis pakaiannya. Ini hanya untuk memberikan gambaran
di tengah-tengah masyarakat yang masih terpukau dengan simbol. Maka tak
heran banyak gadis dan orangtuanya tertipu dengan orang yang menyaru
anggota polisi atau tentara hanya karena mengenakan seragamnya.
Apa
yang ada di benak setelah bertahun-tahun mengenakan seragam selayaknya
pegawai negeri, tapi kini dilarang. Minder, kata sebagian orang. Tak
percaya diri, kata sebagian yang lain. Lho bukankah minder dan tak
percaya diri sama saja tho?! Memang kok, cuma biar tulisannya agak
panjang, :>
Proporsionalitas Perekrutan Honorer
Selasa, 17 Januari 2012
Tanggal 13 Desember 2011 Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Ngawi membuat surat yang diedarkan kepada seluruh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Ngawi. Surat bernomor 800/04.71/404.031/2011 ini merupakan penegasan larangan pengangkatan tenaga honorer atau sejenis berdasarkan PP Nomor 48 Tahun 2005. Sontak kebijakan ini membuat geger terutama kepada meeka yang langsung merasakan dampaknya, yakni para tenaga honorer.
Paling tidak ada dua hal mendasar dalam surat edaran itu. Pertama, terhitung akhir bulan Desember 2011 seluruh tenaga honorer yang bekerja di Pemkab Ngawi tidak diperpanjang kontraknya atau diberhentikan dengan alasan keberadaannya melanggar PP Nomor 48 Tahun 2005. Kedua, adanya pemberian kesempatan kepada masyarakat (termasuk tenaga honorer yang diberhentikan itu) berlatih kerja untuk mencari pengalaman dengan masa kerja 1 tahun tanpa perpanjangan, tanpa digaji dan tanpa ikatan apa pun, serta ijazah sesuai dengan kompetensi. Istilahnya bukan lagi honorer, tapi maganger (perlu dikaji lagi istilah ini dari segi bahasa) karena ia dianggap orang yang magang di kantor.
Mendasarkan larangan pengangkatan (dan mungkin juga perpanjangan kontrak) tenaga honorer pada PP Nomor 48 Tahun 2005 tentu saja menimbulkan perdebatan. Larangan dalam PP itu sendiri sebenarnya rawan digugat dengan alasan tiadanya sanksi, inkonsistensi kebijakan pemerintah sendiri, dan berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi. Silakan lihat di sini ulasannya: Pembangkangan Honorer.
Dalam sebuah kesempatan saya sempat membaca semacam pariwara dari Pemkab di sebuah media lokal yang menjelaskan tentang SE Sekda beberapa hari setelah beredarnya. Tertulis bahwa awal munculnya SE Sekda tidak begitu saja adanya. Sebelum ini telah ada SE Bupati pada tahun 2001, 2003, dan 2004 yang juga melarang pengangkatan honorer. Berarti jauh sebelum PP larangan lahir. Namun SE Bupati itu seolah tak bertuah, karena nyatanya masih banyak yang diangkat menjadi honorer. Lucunya, Bupati sendiri di tahun 2005 membuat SK pengangkatan honorer secara kolektif di lingkungan Dinas Pendidikan dengan honorarium dianggarkan pada APBD. Bahkan honorer yang bekerja di luar Pemkab (yakni di Depag) dan swasta pun turut tercantum dalam SK tersebut. Padahal di dalam peraturan mensyaratkan tenaga honorer yang diangkat menjadi CPNS harus bekerja di instansi pemerintah. Akhirnya SK itu menjadi salah satu dasar sebagian besar honorer Ngawi (termasuk yang bekerja di swasta) bisa diangkat menjadi CPNS.
Paling tidak ada dua hal mendasar dalam surat edaran itu. Pertama, terhitung akhir bulan Desember 2011 seluruh tenaga honorer yang bekerja di Pemkab Ngawi tidak diperpanjang kontraknya atau diberhentikan dengan alasan keberadaannya melanggar PP Nomor 48 Tahun 2005. Kedua, adanya pemberian kesempatan kepada masyarakat (termasuk tenaga honorer yang diberhentikan itu) berlatih kerja untuk mencari pengalaman dengan masa kerja 1 tahun tanpa perpanjangan, tanpa digaji dan tanpa ikatan apa pun, serta ijazah sesuai dengan kompetensi. Istilahnya bukan lagi honorer, tapi maganger (perlu dikaji lagi istilah ini dari segi bahasa) karena ia dianggap orang yang magang di kantor.
Mendasarkan larangan pengangkatan (dan mungkin juga perpanjangan kontrak) tenaga honorer pada PP Nomor 48 Tahun 2005 tentu saja menimbulkan perdebatan. Larangan dalam PP itu sendiri sebenarnya rawan digugat dengan alasan tiadanya sanksi, inkonsistensi kebijakan pemerintah sendiri, dan berbenturan dengan peraturan yang lebih tinggi. Silakan lihat di sini ulasannya: Pembangkangan Honorer.
Dalam sebuah kesempatan saya sempat membaca semacam pariwara dari Pemkab di sebuah media lokal yang menjelaskan tentang SE Sekda beberapa hari setelah beredarnya. Tertulis bahwa awal munculnya SE Sekda tidak begitu saja adanya. Sebelum ini telah ada SE Bupati pada tahun 2001, 2003, dan 2004 yang juga melarang pengangkatan honorer. Berarti jauh sebelum PP larangan lahir. Namun SE Bupati itu seolah tak bertuah, karena nyatanya masih banyak yang diangkat menjadi honorer. Lucunya, Bupati sendiri di tahun 2005 membuat SK pengangkatan honorer secara kolektif di lingkungan Dinas Pendidikan dengan honorarium dianggarkan pada APBD. Bahkan honorer yang bekerja di luar Pemkab (yakni di Depag) dan swasta pun turut tercantum dalam SK tersebut. Padahal di dalam peraturan mensyaratkan tenaga honorer yang diangkat menjadi CPNS harus bekerja di instansi pemerintah. Akhirnya SK itu menjadi salah satu dasar sebagian besar honorer Ngawi (termasuk yang bekerja di swasta) bisa diangkat menjadi CPNS.
Impian Mikro Dan Makro
Senin, 16 Januari 2012
Anda pernah mimpi indah? Pasti menyenangkan bukan. Tapi bagaimana perasaan Anda tatkala sedang asyik-asyiknya bermimpi tiba-tiba ada yang membangunkan Anda. Jengkel, mungkin. Marah, barangkali. Kecewa, bisa jadi. Sebagian ngomel-ngomel. Sebagian mungkin melampiaskan dengan umpatan.
Bermimpi indah, terutama yang jauh bahkan hampir tak terjangkau dalam realita kesehariannya, merupakan hiburan. Pemuda buruk rupa jelas senang tak kepalang tatkala dalam mimpinya berhasil meminang pemudi bak bidadari turun dari surga. Bangun tidur pun kadang-kadang masih terngiang akan kecantikannya hingga tak sadar tersenyum sendiri. Itu baru mimpi apalagi jika betulan.
Impian. Kata itulah yang paling tepat menggambarkan kenapa ribuan orang masih bertahan dalam statusnya sebagai tenaga honorer daerah (Honda). Anda tahu berapa gaji yang diterimanya saban bulan? Amat kecil, sebagian di antaranya malah di bawah UMR. Padahal tak sedikit di antara mereka telah berkeluarga dan mesti menyuapi sekian mulut anak dan istri. Kenapa sanggup bertahan? Sekali lagi impian. Impian untuk diangkat menjadi pegawai negeri, tentunya. Meski tak tahu hingga kapan mereka bermimpi, tetap saja ditunggunya masa itu. Sebut saja itu impian mikro (sori ya jangan protes itu perspektif saya sebagai pengamat hehehe...).
Awal tahun ini impian mikro para Honda di Ngawi buyar. Dibuyarkan oleh kebijakan pemerintah daerah setempat yang melarang perekrutan dan perpanjangan kontrak Honda di segenap instansi. Bupati Ngawi sendiri punya mimpi, sebut saja impian makro. Benar makro, sebab ia pun disambangi, diwaduli, dikeluhi tak hanya oleh para Honda, tapi segenab masyarakat.
Bermimpi indah, terutama yang jauh bahkan hampir tak terjangkau dalam realita kesehariannya, merupakan hiburan. Pemuda buruk rupa jelas senang tak kepalang tatkala dalam mimpinya berhasil meminang pemudi bak bidadari turun dari surga. Bangun tidur pun kadang-kadang masih terngiang akan kecantikannya hingga tak sadar tersenyum sendiri. Itu baru mimpi apalagi jika betulan.
Impian. Kata itulah yang paling tepat menggambarkan kenapa ribuan orang masih bertahan dalam statusnya sebagai tenaga honorer daerah (Honda). Anda tahu berapa gaji yang diterimanya saban bulan? Amat kecil, sebagian di antaranya malah di bawah UMR. Padahal tak sedikit di antara mereka telah berkeluarga dan mesti menyuapi sekian mulut anak dan istri. Kenapa sanggup bertahan? Sekali lagi impian. Impian untuk diangkat menjadi pegawai negeri, tentunya. Meski tak tahu hingga kapan mereka bermimpi, tetap saja ditunggunya masa itu. Sebut saja itu impian mikro (sori ya jangan protes itu perspektif saya sebagai pengamat hehehe...).
Awal tahun ini impian mikro para Honda di Ngawi buyar. Dibuyarkan oleh kebijakan pemerintah daerah setempat yang melarang perekrutan dan perpanjangan kontrak Honda di segenap instansi. Bupati Ngawi sendiri punya mimpi, sebut saja impian makro. Benar makro, sebab ia pun disambangi, diwaduli, dikeluhi tak hanya oleh para Honda, tapi segenab masyarakat.
Pembangkangan Honorer
Jumat, 13 Januari 2012
Sikap sejumlah pemerintah daerah (pemda) yang tetap menerima tenaga honorer hingga saat ini, membuat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi gerah. Yang lebih menjengkelkan, sejumlah instansi di pusat juga melakukan hal serupa. Mestinya, sejak 2005 tidak boleh lagi ada penerimaan tenaga honorer. "Saya tidak mengerti apakah aparatur di daerah dan pusat itu tidak tahu baca peraturan atau peraturannya kurang tegas," kata Deputi Menteri PAN&RB bidang SDM Aparatur, Ramli Naibaho kepada JPNN, kemarin (24/3). Kabag Humas Kementerian PAN&RB, FX Dandung Indratno menambahkan, meski pemda maupun pusat dilarang menerima honorer lagi terhitung 2005, namun fakta di lapangan tidak seperti itu. Baik pusat dan daerah masih menerima honorer sampai sekarang. Itu sebabnya jumlah honorer bukannya berkurang malah bertambah terus. Dikutip dari http://metronews.fajar.co.id
Aturan yang melarang pengangkatan tenaga honorer atau yang sejenis terdapat dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 yakni di Pasal 8. Dengan demikian semestinya sejak berlakunya PP itu yakni tanggal 11 Nopember 2005 para pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah tidak diperkenankan mengangkat lagi tenaga honorer. Lantas kenapa pada kenyataannya aturan tersebut seolah dianggap sebagai angin lalu saja.
Alasan pertama, larangan pengangkatan honorer tidak disertai sanksi bila ada pelanggaran. Sebagaimana kebiasaan sebagian orang Indonesia yang patuh dengan aturan karena takut dikenai hukuman, bukan karena kesadaran. Orang takut melanggar lampu lalu lintas karena ada polisi, bukan karena kesadaran yang hal itu akan membahayakan jiwa, misalnya. Hal ini tampaknya menghinggapi pula penyelengaraan pemerintahan, hampir di semua level. Maka jangan heran, ketika sebuah larangan tidak disertai dengan sanksi, mudah ditebak akan dilanggar.
Alasan kedua, tumpang tindihnya kebijakan pemerintah sendiri. Kadang-kadang pemerintah pusat melalui kementeriannya mempunyai program yang harus dilaksanakan di daerah. Daerah sebenarnya turut diuntungkan karena manfaatnya bisa dinikmati langsung oleh rakyat daerah. Dana yang tersedia pun diberikan oleh pusat kepada daerah. Namun keterbatasan PNS daerah untuk mengelola program ini membuat daerah mau tak mau mengangkat pegawai non PNS. Tak peduli dengan larangan, toh manfaatnya dirasakan rakyat daerah, apalagi tidak membebani keuangan daerah.
Aturan yang melarang pengangkatan tenaga honorer atau yang sejenis terdapat dalam PP Nomor 48 Tahun 2005 yakni di Pasal 8. Dengan demikian semestinya sejak berlakunya PP itu yakni tanggal 11 Nopember 2005 para pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah tidak diperkenankan mengangkat lagi tenaga honorer. Lantas kenapa pada kenyataannya aturan tersebut seolah dianggap sebagai angin lalu saja.
Alasan pertama, larangan pengangkatan honorer tidak disertai sanksi bila ada pelanggaran. Sebagaimana kebiasaan sebagian orang Indonesia yang patuh dengan aturan karena takut dikenai hukuman, bukan karena kesadaran. Orang takut melanggar lampu lalu lintas karena ada polisi, bukan karena kesadaran yang hal itu akan membahayakan jiwa, misalnya. Hal ini tampaknya menghinggapi pula penyelengaraan pemerintahan, hampir di semua level. Maka jangan heran, ketika sebuah larangan tidak disertai dengan sanksi, mudah ditebak akan dilanggar.
Alasan kedua, tumpang tindihnya kebijakan pemerintah sendiri. Kadang-kadang pemerintah pusat melalui kementeriannya mempunyai program yang harus dilaksanakan di daerah. Daerah sebenarnya turut diuntungkan karena manfaatnya bisa dinikmati langsung oleh rakyat daerah. Dana yang tersedia pun diberikan oleh pusat kepada daerah. Namun keterbatasan PNS daerah untuk mengelola program ini membuat daerah mau tak mau mengangkat pegawai non PNS. Tak peduli dengan larangan, toh manfaatnya dirasakan rakyat daerah, apalagi tidak membebani keuangan daerah.
Kompromi Dirumahkannya Honorer
Selasa, 10 Januari 2012
Di daerah saya semenjak adanya
surat edaran sekda (Sekretaris Daerah) yang terbit akhir tahun lalu,
maka tak ada lagi yang namanya tenaga honorer daerah (honda). Banyak
orang mengistilahkan dengan sebutan 'dirumahkan'. Awalnya saya kira arti
dari 'dirumahkan' itu adalah para honda akan diberi rumah oleh pemerintah.
Yup enak sekali dong, saya saja harus hutang baru bisa punya rumah.
Tapi ternyata arti 'dirumahan' itu adalah dikembalikannya honda ke rumah
masing-masing alias tidak diperkenankan bekerja di instansi pemerintah.
Bahasa lainnya adalah diberhentikan, diputus kontraknya, dan di-PHK.
Edaran tersebut
merupakan tindak lanjut peraturan pemerintah yang melarang adanya
pengangkatan honda sejak enam tahun lalu. Selama masa pelarangan
tersebut ternyata mayoritas (kepala) instansi melanggarnya. Akibatnya,
meskipun di atas kertas dilarang namun kenyataannya muncul ribuan
honda. Dan kenyataan pula tidak ada tindakan baik teguran maupun sanksi
atas pembangkangan ini.
Isi edaran antara lain bahwa
mulai akhir tahun 2011 sudah tidak ada lagi honda. Apabila ada
masyarakat yang ingin mencari pengalaman kerja di instansi pemerintah
maka disyaratkan untuk mengajukan lamaran dilampiri ijazah dan surat
bebas narkoba. Bagi yang diterima pun tidak lagi menyandang sebagai
honda namun tenaga magang atau wiyata bhakti. Masa magang itu selama
satu tahun tanpa ada perpanjangan. Di akhir magang ia akan diberi surat
keterangan pengalaman kerja, yang mungkin bisa berguna untuk melamar
pekerjaan di tempat lain. Satu lagi perubahan mendasar dalam sistem ini
adalah tidak adanya pemberian honor.
Edaran itu menurut saya sebagai bentuk kompromi. Apa komprominya. Ini analisis (prematur) saya.
5 Alasan PNS Muda Gendut (Rekeningnya)
Sabtu, 07 Januari 2012
Hingar bingar berita
dan perbincangan di media tentang pegawai pemerintah yang kaya raya.
Apalagi mereka masih muda, sebagai PNS dengan Golongan III. Gaji pokok
tiap bulan tak sampai 3 juta. Namun hebatnya uang di rekening mencapai
milyaran rupiah. Banyak yang menuding bahwa kekayaan itu didapatkan
dari cara yang tidak benar. Tak salah memang jika banyak orang curiga.
Kategori
yang saya baca hampir menyerempet diri saya. Saya juga PNS, bergolongan
III/b, usia masih muda. Tapi akhirnya nafas berhembus lega, yang
dicurigai yang punya rekening gendut, sedangkan saldo di rekening tak
sampai 5 juta. Rekening saya tergolong ramping, sekurus tubuh
pemiliknya. Namun demikian, entah yang gembrot, entah yang langsing,
ulah segelintir pegawai yang (mungkin) menyalahgunakan kepercayaan
membuat semua pegawai terkena getahnya.
Salahkah PNS
muda kaya raya? Sulit untuk menjawabnya, karena masyarakat sudah
tendesius terlebih dahulu dengan yang namanya PNS. Malas,
ongkang-ongkang kaki, jam kerja kayak karet, disiplin rendah, makan
gaji buta, tak ada pekerjaan di kantor, dan sebagainya menghinggapi
benak di hampir setiap orang tatkala menggambarkan PNS. Sudah begitu
kenapa bisa kaya ya.
Ada beberapa kemungkinan
bagaimana caranya PNS muda mendapatkan harta yang melimpah hingga
milyaran rupiah. Berikut ini jawabanya.
Peradaban Setor
Rabu, 04 Januari 2012
Kata teman saya ada beberapa jenis pekerjaan yang mensyaratkan adanya barang atau uang sebagai jaminan. Barang itu bisa berwujud sertifikat rumah/tanah, BPKB motor/mobil, ijazah, dan lain-lain. Tentu saja barang jaminan itu asli sehingga nilainya amat berharga. Amat berharga karena dengan meninggalkan barang jaminan kepada penguasaan orang lain, pekerja menjadi terikat dengan syarat dan ketentuan dari orang yang memberikan pekerjaan itu.
Selain barang, yang bisa dijadikan jaminan adalah uang. Misalnya sebagai syarat diterima bekerja pada sebuah unit usaha, pelamar harus menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik unit usaha (majikan). Uang ini tidak berubah menjadi hak milik majikan meskipun berada dalam penguasaannya. Fungsinya sebagai jaminan agar pekerja tidak main-main dalam bekerja, atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh pekerja, atau alasan lain. Konon jika si pekerja memutuskan keluar dari pekerjaannya maka uang itu dikembalikan, meskipun mungkin tidak utuh 100%. Demikian juga barang-barang lain yang dijaminkan.
Bekerja dengan memberikan jaminan seperti di atas mungkin saja terjadi pada sektor swasta dan bisa dibenarkan. Hal ini tergantung pada kebijakan pemilik perusahaan. Tapi bagaimanakah kalau terjadi di pemerintahan. Layakkah pemerintah menarik uang kepada masyarakat sebagai jaminan penerimaan pegawai. Mestinya tidak. Kalau ini terjadi akan menimbulkan diskriminasi, karena semakin besar jaminan yang diberikan tentunya semakin besar pula peluang diterima menjadi pegawai. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjadi pegawai pemerintah, tak peduli pintar atau bodoh. Dan imbasnya, masyarakat juga yang ikut menanggung karena pajak yang kita bayarkan kepada negara dipergunakan untuk gaji mereka.
Saya sering mendengar isu adanya setoran sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri, baik itu untuk menjadi polisi, tentara, maupun PNS. Tapi terus terang saya tidak pernah melihat langsung. Orang yang melakukannya pun mestinya enggan untuk bercerita, bahkan cenderung menutup-nutupinya. Meski begitu suara yang berkembang di masyarakat gencar terdengar adanya setoran uang. Konon kabarnya pula, jumlah setoran itu bervariasi, tergantung seberapa tinggi pangkat yang akan disandangnya nanti.
Selain barang, yang bisa dijadikan jaminan adalah uang. Misalnya sebagai syarat diterima bekerja pada sebuah unit usaha, pelamar harus menyetorkan sejumlah uang kepada pemilik unit usaha (majikan). Uang ini tidak berubah menjadi hak milik majikan meskipun berada dalam penguasaannya. Fungsinya sebagai jaminan agar pekerja tidak main-main dalam bekerja, atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh pekerja, atau alasan lain. Konon jika si pekerja memutuskan keluar dari pekerjaannya maka uang itu dikembalikan, meskipun mungkin tidak utuh 100%. Demikian juga barang-barang lain yang dijaminkan.
Bekerja dengan memberikan jaminan seperti di atas mungkin saja terjadi pada sektor swasta dan bisa dibenarkan. Hal ini tergantung pada kebijakan pemilik perusahaan. Tapi bagaimanakah kalau terjadi di pemerintahan. Layakkah pemerintah menarik uang kepada masyarakat sebagai jaminan penerimaan pegawai. Mestinya tidak. Kalau ini terjadi akan menimbulkan diskriminasi, karena semakin besar jaminan yang diberikan tentunya semakin besar pula peluang diterima menjadi pegawai. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menjadi pegawai pemerintah, tak peduli pintar atau bodoh. Dan imbasnya, masyarakat juga yang ikut menanggung karena pajak yang kita bayarkan kepada negara dipergunakan untuk gaji mereka.
Saya sering mendengar isu adanya setoran sejumlah uang untuk menjadi pegawai negeri, baik itu untuk menjadi polisi, tentara, maupun PNS. Tapi terus terang saya tidak pernah melihat langsung. Orang yang melakukannya pun mestinya enggan untuk bercerita, bahkan cenderung menutup-nutupinya. Meski begitu suara yang berkembang di masyarakat gencar terdengar adanya setoran uang. Konon kabarnya pula, jumlah setoran itu bervariasi, tergantung seberapa tinggi pangkat yang akan disandangnya nanti.
Wakil Bupati Kalah Sama Kepala TK
Minggu, 01 Januari 2012
Tuntas sudah keinginan Dicky
Candra untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Bupati Garut. Surat
Keputusan pemberhentiannya telah diteken, resmi pula pengunduran
dirinya. Artis yang maju dalam pilkada dengan baju non partai (calon
independen) ini enggan menyelesaikan masa periode yang masih beberapa
tahun. Alasan yang sering diungkapankan adalah ketidakcocokan dengan
sang bupati. Selain itu merasa jabatan sebagai wakil tak terlalu
efektif.
Tak jauh dari daerah saya, beberapa hari lalu
saya membaca di koran, Bupati Ponorogo dikritik oleh ketua partai
setempat. Gara-garanya Bupati tak segera mengisi jabatan Sekretaris
Daerah yang berbulan-bulan kosong ditinggal pejabatnya yang telah
pensiun. Ada yang aneh? Jelas aneh, karena ketua partai itu notabene
adalah wakil bupatinya sendiri. Kalau dalam pilkada bupati dan wabup
adalah satu paket, maka sorotan dia terhadap kosongnya jabatan Sekda
sekaligus menampar muka sendiri. Secara tak langsung mengindikasikan
menjadi wabup tak bisa berbuat apa-apa di hadapan bupatinya.
Jauh
sebelum itu wakil bupati Sragen tak pernah menjalankan tugasnya. Selama
masa periode itu pula, bertahun-tahun jarang atau hampir tak pernah ia
berkantor sebagai wabup. Alasan yang diungkapkan senada dengan kasus di
Garut. Jabatan sebagai wabup tak efektif. Namun demikian jalannya roda
pemerintahan di Sragen tetap berjalan. Bahkan Pemkab Sragen sering
menjadi contoh pengelolaan pemerintahan yang baik. Kini wakil bupati
itu menjadi bupati setelah menang dalam pilkada beberapa saat lalu.
Namanya wakil, maka sebagaimana ungkapan (paribasan) Jawa, “Timun wungkuk jaga imbuh”. Mung kanggo geneb-geneb wae, hanya
sebagai pelengkap belaka. Benarkah demikian. Padahal jabatan wakil
bupati secara jelas dan tegas tercantum dalam UU, yakni UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Langganan:
Postingan (Atom)