Anda pernah mimpi indah? Pasti menyenangkan bukan. Tapi bagaimana perasaan Anda tatkala sedang asyik-asyiknya bermimpi tiba-tiba ada yang membangunkan Anda. Jengkel, mungkin. Marah, barangkali. Kecewa, bisa jadi. Sebagian ngomel-ngomel. Sebagian mungkin melampiaskan dengan umpatan.
Bermimpi indah, terutama yang jauh bahkan hampir tak terjangkau dalam realita kesehariannya, merupakan hiburan. Pemuda buruk rupa jelas senang tak kepalang tatkala dalam mimpinya berhasil meminang pemudi bak bidadari turun dari surga. Bangun tidur pun kadang-kadang masih terngiang akan kecantikannya hingga tak sadar tersenyum sendiri. Itu baru mimpi apalagi jika betulan.
Impian. Kata itulah yang paling tepat menggambarkan kenapa ribuan orang masih bertahan dalam statusnya sebagai tenaga honorer daerah (Honda). Anda tahu berapa gaji yang diterimanya saban bulan? Amat kecil, sebagian di antaranya malah di bawah UMR. Padahal tak sedikit di antara mereka telah berkeluarga dan mesti menyuapi sekian mulut anak dan istri. Kenapa sanggup bertahan? Sekali lagi impian. Impian untuk diangkat menjadi pegawai negeri, tentunya. Meski tak tahu hingga kapan mereka bermimpi, tetap saja ditunggunya masa itu. Sebut saja itu impian mikro (sori ya jangan protes itu perspektif saya sebagai pengamat hehehe...).
Awal tahun ini impian mikro para Honda di Ngawi buyar. Dibuyarkan oleh kebijakan pemerintah daerah setempat yang melarang perekrutan dan perpanjangan kontrak Honda di segenap instansi. Bupati Ngawi sendiri punya mimpi, sebut saja impian makro. Benar makro, sebab ia pun disambangi, diwaduli, dikeluhi tak hanya oleh para Honda, tapi segenab masyarakat.
Maka bupati pun menjelaskan latar belakangnya. SMP dan SMA di Ngawi kelebihan guru PNS sejumlah ratusan orang. Sedangkan SD malah kekurangan, juga sejumlah ratusan orang. Jika kekurangan Guru SD itu dicukupi dari Guru SMP dan SMA, maka tetap saja masih ada kelebihan guru PNS. Di sisi lain terjadi pula kelebihan jumlah PNS secara umum, kecuali tenaga medis. Total PNS Ngawi ada 14 ribu. Selain itu jumlah tenaga honorer kategori 1 dan 2 mencapai 800 orang. Mereka menunggu regulasi dari pemerintah pusat untuk diangkat otomatis menjadi CPNS. Lalu, berapa jumlah tenaga honorer non kategori? Paling tidak ada 3-4 ribu orang. Mereka juga sama berharap diangkat menjadi CPNS.
Pegawai (baca: PNS) bekerja tentu saja butuh digaji. Berapa besar anggaran yang dibutuhkan untuk menggaji mereka (PNS dan jika seluruh honorer yang tersisa akhirnya diangkat menjadi CPNS/PNS semua). Angkanya mencengangkan, 1,1 trilyun rupiah dalam setahun. Itu untuk gaji saja. Sedangkan DAU Kabupaten Ngawi kurang dari 800 milyar rupiah. Apa artinya? Besar pasak daripada tiang. Bakal tak ada anggaran selain hanya untuk membiayai pegawai, itu pun harus utang. Tak ada anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan, pemberdayaan masyarakat, bantuan sosial, penanggulangan bencana alam. Intinya bakal tak ada anggaran untuk rakyat kebanyakan, padahal jumlah mereka mungkin 90% (setelah dikurangi jumlah pegawai) dari keseluruhan penduduk.
Karena itulah impian makro Bupati ingin memberi porsi tidak hanya untuk para pegawai saja. Maka mau tak mau memang harus ada yang diprioritaskan. Sedangkan para Honda melihat prioritas itu sebagai dikorbankannya mereka. Dan jadilah benturan antara impian mikro Honda dan impian makro Bupati.
Paling tidak itulah gambaran yang saya tangkap tatkala audiensi antara Bupati dan Honda. Ibarat buah simalakama. Jika dimakan matilah bapak, namun jika tak dimakan matilah ibu. Teman saya yang politisi malah bilang, gampang itu, berikan saja pada monyet kalau dimakannya kan bapaknya monyet yang mati. Selesai perkara. Tapi teman saya yang pebisnis berujar, wah peluang itu, itu berarti buah langka, tak sembarang orang punya, kalau dibudidayakan dan diekspor bisa mendatangkan uang. Hehehe....emang kayak apa sih buah simalakama itu.
Kalau boleh menilai, saya mengibaratkan Honda itu mirip dengan PKL. Sama-sama mencari nafkah meski dengan hasil yang tak seberapa. PKL (sering) dianggap melanggar aturan. Demikian juga Honda, karena keberadaannya kini melanggar peraturan pemerintah.
Ingat PKL maka saya teringat dengan Pak Jokowi, walikota Solo yang beberapa waktu lalu menggemparkan dunia otomotif dengan mobil Esemka-nya (bahkan hingga kini pun masih menjadi perbincangan hangat).
Berdasarkan survey kebanyakan masyarakat Solo menginginkan PKL yang ada di pinggir jalan dan taman kota ditertibkan. Namun para walikota sebelumnya tak pernah berhasil melakukannya. PKL sempat mengancam akan membumihanguskan balaikota. Di Solo gertakan seperti ini tak main-main karena tahun 1998 dan 1999 pernah ada aksi bakar-bakar gedung. Saya sempat menyaksikan puing-puing terbakarnya sebuah gedung pertokoan besar dan salah satu kenalan saya menjadi korban yang tak pernah ditemukan sampai sekarang.
Sebagai pengusaha mebel selama 18 tahun, Joko memiliki pengalaman dalam melakukan lobby dan negosiasi bisnis yang disebutnya “lobi meja makan”. Strategi ini kemudian dilakukan sebagai bentuk komunikasi politiknya. Targetnya sudah jelas, yakni para PKL di daerah Banjarsari, kawasan elite di Solo. Di sana terdapat 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban. Kemudian Joko Widodo mengundang dan mengajak makan para koordinator paguyuban di Loji Gandrung, rumah dinas Walikota. Namun pada pertemuan pertama ini tidak ada pembicaraan mengenai relokasi. Joko sama sekali tidak menyinggungnya. Dia beranggapan, hal itu belum waktunya disampaikan. Makan bersama seperti itu berlanjut hingga pertemuan yang ke 53, dimana Joko hanya makan bersama dan bersilaturahmi kepada para PKL. Baru pada jamuan ke-54, dimana saat itu semua PKL yang hendak dipindahkan hadir, Joko mengutarakan niatnya untuk merelokasi mereka. Dan memang waktu yang tepat.
Ketika Joko Widodo mengungkapkan hal itu, tidak ada satu pedagang pun yang menolak. Mereka setuju dengan kebijakan yang diambil Joko Widodo, sepanjang mereka mendapatkan tempat yang baru untuk berdagang. Joko berjanji akan memberikan lokasi baru. Dan nantinya, para pedagang hanya akan membayar biaya retribusi sebesar Rp 2.600 perhari di tempat baru yang suasananya lebih bagus dari tempat para PKL berdagang sebelumnya. Dengan retribusi sebesar itu, modal pemerintah sebesar Rp 9,8 miliar untuk membangun lokasi baru itu diperkirakan dapat kembali pada kurun 9 tahun. Bukan hanya itu, Joko juga akan mempromosikan tempat berdagang baru itu selama empat bulan di media lokal. Joko juga memperluas jalan menuju pasar dan membuat satu trayek angkutan kota baru. Hasilnya, Joko berhasil menata ulang pasar di antaranya Pasar Klitikan Notoharjo, Pasar Nusukan, Pasar Kembalang, Pasar Sidodadi, Pasar Gading, pusat jajanan malam Langen Bogan, serta pasar malam Ngarsapura.
Saat relokasi dilakukan, Joko Widodo menggelar arak-arakan sepanjang jalan menuju Pasar Klitikan dengan iringan musik “kleningan” khas Solo. Joko juga menghadirkan Prajurit Keraton agar timbul rasa kebanggaan pada diri para PKL. Faktanya, para PKL sangat legowo saat pindah lokasi ke tempat yang baru. Bahkan konsumsi dan perlengkapan arak-arakan mereka biayai sendiri. Ini jarang terjadi di daerah lain yang biasanya relokasi selalu bersinggungan dengan kekerasan. Sebanyak 989 PKL dipindah tanpa gejolak, bahkan secara antusias para PKL itu mendukung program pemerintah dengan suka cita. Ini merupakan sebuah terobosan yang mengagumkan. (Sumber Kaskus).
Ehm...ehm...ehm...saat audiensi tadi siang itu pun pikiran tentang Pak Jokowi muncul. Boleh dong ditiru. Strateginya unik dan lain dari yang lain. Mbah Kung Kanang (julukan Bupati Ngawi) sepertinya memberikan apresiasi ketika sebagian perwakilan honda tersadar akan mimpinya selama ini yang membuaikan. Karena persoalan mereka sebenarnya sama dengan yang dialami oleh ribuan bahkan jutaan orang di negeri ini. Apa? Minimnya lapangan kerja.
Penghentian tenaga honda tidak berhenti di tanda titik. Di belakangnya masih ada tanda koma. Artinya pemerintah mesti memikirkan nasib mereka. Saya tertarik ketika sebagian perwakilan Honda mengungkapkan kata-kata: ternak kambing, bimbingan belajar, kursus bahasa Inggris, usaha katering. Intinya mimpi mereka kini dialihkan, tak lagi berharap muluk-muluk menjadi PNS tapi berwirausaha.
Mbah Kung sendiri menjanjikan,”Mending saya keluar uang 5 milyar untuk memberikan pelatihan dan modal usaha kepada kalian selama satu tahun, dan hasilnya kalian bisa mandiri dan menciptakan lapangan kerja, daripada keluar uang 1,1 trilyun tiap tahun tapi tak ada pembangunan masyarakat sama sekali, karena habis untuk menggaji pegawai.”
Audiensi tadi hanya diikuti oleh perwakilan yang jumlahnya sekitar 20-an. Bisa jadi sebagian telah mengubah impian semula. Bisa jadi malah tidak sama sekali. Dan di luar sana ratusan pendemo berpanas-panas menunggu impian. Dan banyak lagi yang tak berdemo yang masih dengan impiannya itu-itu juga. Akankah mereka mengubah impian mereka. Agaknya Mbah Kung perlu menjelaskan impian makronya.
Oh ya nyuwun pangapunten Mbah Kung, istilah impian makro itu saya karang-karang saja. Kira-kira begitu yang saya tangkap dari penjelasan panjenengan. Mudah-mudahan di Bumi Ngawi banyak lahir wirausahawan yang menciptakan lapangan kerja. Tak sekedar lokal tapi interlokal kalau perlu internasional nggak pakai roaming.
NB: Trims mAs-Y atas jepretannya dan oM-g atas modelnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
memang solusi kadang menyakitkan bagi beberapa pihak..
http://nananghimawan.wordpress.com/2011/12/07/honorer-status-hukum-bagian-2/
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya